Sunday, June 28, 2020

Pembakaran bendera PDIP


Saya bisa merasakan suasana hati Megawati ketika mengetahui orang membakar benderanya. Sangat maklum sikap kader yang tidak bisa menerima pembakaran bendera PDIP. Dan saya juga sangat salut sikap PDIP bersama kader marhaen yang tidak terpancing membalas dengan aksi yang sama. Mereka lebih memilih menempuh jalur hukum. Yang saya bingung mengapa kebencian begitu besar kepada PDIP?. Kalaulah berbeda pendapat dan disampaikan secara egaliter tentu tidak ada masalah. Karena itulah demokrasi yang kita pahami. Tetapi kalau sampai membakar, itu sudah penghinaan. Bagi PDIP kehormatan itu tidak didapat dengan mudah. Mereka memperjuangkannya bukan hanya berkeringat tetapi berdarah darah.

Era Soeharto ketika semua kekuatan politik dan ormas keagamaan tunduk kepada Soeharto, hanya PDIP dan Prodem yang berani melawan rezim Soeharto. Saat rezim Soeharto, Din Samsudin sangat mencintai Soeharto, bahkan dia kader Golkar dari Pemuda Muhamamdiah. Banyak juga santri NU yang jadi kader Golkar. Semua mereka itu menikmati euforia pesta di bawah kekuasaan Soeharto. Kalau mau jujur, keberadaan FPI juga bagian dari program ex tentara Orba yang ingin menandingi kekuatan massa islam dari kedua ormas besar ketika awal reformasi.

Sementara PDIP harus berperang secara hukum dengan rezim Soeharto lewat pengadilan di seluruh Indonesia. Tidak sedikit kader PDIP yang diculik dan mati tanpa batu nisan. Nah ketika Soeharto tumbang, PDIP yang sudah jelas pemenang pemilu dikalahkan oleh aliansi partai islam di MPR sehingga Megawati gagal jadi presiden. Yang terpilih dalam voting MPR adalah Gus Dur. Tetapi Gus Dur pun  dijatuhkan oleh kekuatan politik islam di senayan. Megawati hanya jadi presiden 2,5 tahun menggantikan Gus Dur yang lengser. Setelah itu dia kalah dalam Pemilu 2004. PDIP harus jadi oposisi selama 10 tahun. Sementara semua partai islam berkolaborasi dengan SBY. Ormas islam tumbuh dan berkembang pesat era SBY. Semua menikmati dan euforial kecuali PDIP.

Barulah tahun 2014 PDIP bisa mengantarkan kadernya jadi Presiden. Itupun bukan elite partai. Jokowi hanya pengurus PDIP tingkat kota, bukan provinsi apalagi nasional. Baru dua setengah tahun Jokowi jadi presiden, sudah digoyang oleh aksi massa kolosal yang disebut dengan aksi 411 dan 212. Ahok yang didukung PDIP dalam PilGub dikalahkan oleh politisasi agama. Mega hanya bersabar. Tak ada perintah Mega minta massa marhaen turun ke Jakarta. 10 tahun SBY berkuasa, tak ada sekalipun massa marhaen datang ke jakarta untuk menjatuhkan SBY. Apakah Megawati dendam dengan Islam? tidak. Bahkan rasa hormat dan cintanya kepada ulama, membuat dia nekat berbeda dengan Jokowi yang memilih Mahfud sebagai wapres. Megawati sebagai pimpinan partai dan sekaligus pengusung capres berhak menentukan sendiri siapa pasangan Wapres Jokowi. Pilihan jatuh kepada Ma’ruf Amin. Tokoh NU dan juga ketua MUI. 

Politik PDIP adalah politik persatuan. Jadi tidak mungkin PDIP membenci Islam dan apalagi membenci ulama. Terlepas soal persepsi negatif terhadap PDIP, saya bertanya kepada penentang dan pembenci PDIP, apakah kalian tidak bisa bersabar sampai 2024. Daripada sibuk menyerang PDIP dan Jokowi, mengapa tidak gunakan waktu yang ada untuk konsolidasi lewat program sosial dan ekonomi, agar kelak pemilu bisa jadi pemenang. Setidaknya tidak sampai sujud palsu atau nangis bombai. Harus dicatat, bahwa PDIP itu partai idiologi. Karenanya para pemilih PDIP tidak akan mungkin pindah ke partai lain. Apapun situasi dan kondisinya. Yakinlah, semakin kalian membenci PDIP semakin solid kader PDIP dan semakin luas panetrasi pemilihnya. Karena mereka engga gede omong tetapi kerja nyata dalam senyap. 


No comments:

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...