Wednesday, March 22, 2023

Derita rakyat kecil

 





Kontribusi konsumsi rumah tangga sebesar 55% terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (PDB). Apa saja konsumsi rumah tangga itu ? termasuk sandang, perumahan, bahan bakar, dan sebagainya. Artinya kalau konsumsi rumah tangga meningkat, maka tentu pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat. Dari angka 55% itu, peningkatan konsumsi rumah tangga harus lebih tinggi daripada pertumbuhan PDB. Nah sejak tahun 2012 sampai sekarang pertumbuhan konsumsi rumah tangga selalu dibawah angka pertumbuhan ekonomi. Istilah nya declining welfare. Artinya setiap tahun bukannya terjadi peningkatan kesejahteraan tapi malah menurun.  Kita engga maju, malah mundur. Mengapa ?


Menurut Center of Economic and Law Studies, diperkirakan bahwa inflasi di Indonesia dapat mencapai 7-7,5% hingga akhir tahun. Padahal, rata-rata kenaikan upah minimum hanya 1% di tahun ini. Jadi, jika penghasilan yang dimiliki masyarakat tidak sejalan dengan inflasi, daya beli rumah tangga rentan minus hingga 6%. 


Sebenarnya tanpa melihat data formal, kita bisa melihat fakta lapangan. Dari sejak tahun 2012 tren nya semakin sepi dan sepi. Kini sebagian besar Mall di Indonsia sudah seperti gudang kosong. Sepi pembeli. Walau memang terjadi perubahan tren belanja ke online, terutama kalangan middle income. Namun perubahan penurunan daya beli rakyat kecil sangat significant dibandingkan dengan peningkatan belanja online, yang meningkat 20%/ tahun. Nyatanya kini tren belanja online juga turun.


Apa artinya ? APBN dari tahun ke tahun terus naik jumlahnya. Itu karena adanya pertumbuhan ekonomi. Tapi pertumbuhan ekonomi lebih banyak dipicu oleh investasi swasta maupun pemerintah yang tidak terkait langsung dengan peningkatan pendapatan rumah tangga. Atau pertumbuhan ekonomi lebih banyak karena faktor investasi yang non tradable seperti real estate,  pertambangan dan infrastruktur ekonomi, business rente.


Disamping itu memang pertumbuhan ekonomi tidak efisien. Bisa karena korupsi dan ketidak mampuan Aparat pemerintah mengelola APBN/D. Sehingga waktu habis, tapi tidak efektif. Ini disebut dengan rasio ICOR ( Incremental Capital Output Ratio). Semakin tinggi ICOR semakin tidak efisien. Tahun 2016 ICOR tercatat sebesar 6,73%, 2017 (6,95%) 2018 (6,72%), 2019 ( 6,88%), 2020 turun hingga -15,09%, kemudian pada 2021 kembali meningkat di kisaran 8%, dan pada 2022 sebesar 6,2%. Artinya misal ICOR 8%, maka setiap 1% PDB meningkat, diperlukan investasi 8%.  Benar benar tidak efisien. Harusnya PDB naik 1%, investasi juga 1%. Yang mirisnya adalah Rasio ICOR yang tinggi itu mengindikasikan terjadinya moral hazard. Antara eksekutif, yudikatif, legislatif bersinergi dengan pengusaha. Mereka menjalankan skema korupsi grey area. 


Jumlahnya korupsi jenis ini lebih besar daripada korupsi sekedar sunat APBN/D atau terima suap. Ia membuka peluang mark up proyek infrastruktur lewat skema KPBU, sehingga waktu BOT semakin lama. Bailout utang BUMN lewat PMN. Mengalirkan dana pensiun ke saham gorengan. Maraknya  ilegal mining, transfer pricing, tax avoidance dan tax evasion. Dana idel masyakat  menguap lewat Investasi bodong, money game dan judi online.  Uang itu tidak mengalir ke sektor real yang menampung angkatan kerja dan tentu tidak meningkatkan pasar domestik. Uang digelapkan lewat pasar modal, pasar uang, di safety box bank dan di property. Ya modus tindak pidana pencucian uang. Itu lebih buruk dari korupsi.

Sementara karena lemah daya saing, buruknya struktur industri domestik, produksi  tidak efisien dan harga jual mahal. Apalagi dipicu oleh inflasi. Sudah sulit dijangkau kelas menengah dan bawah. Kalau daya beli menurun, bukan berarti kebutuhan menurun. Kebutuhan tetap ada. Rakyat kelas bawah memenuhi kebutuhan akan sandang dari thrifting yang harganya murah dan kualitas bagus. Dan juga memberi peluang bagi pedagang kecil jualan thrifting untuk bertahan hidup. Namun solusi itu dinyatakan melanggar hukum, sementara pemerintah sendiri engga ada solusi. Rakyat memang by design ditindas. Mau gimana lagi. Sabar aja. 

Friday, March 17, 2023

Jokowi tidak grasa grusu


 


"Kami cermati bahwa tata pemerintahan saat ini tidak berjalan dengan baik. Banyak program pemerintah yang dilakukan, grasa-grusu, terburu-buru dan kurang perhitungan," ujar AHY dalam pidato politiknya di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Selasa (14/3). Kesan AHY bahwa Pak Jokowi  grasa grusu itu tidak 100% benar. Karena semua  perencanaan sudah dipersiapkan dan dipikirkan dengan baik oleh era SBY. Kan engga mungkin Jokowi terus mikir untuk perbaiki program SBY. Engga mungkin pula buat program baru. Waktu kita bisa habis dengan omong kosong. Kapan lagi membangun.  Nah apa saja program SBY itu?


MP3EI merupakan arahan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode 15 (lima belas). Dari 2011 sampai dengan tahun 2025. Ini bagian dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 - 2025. Nah Jokowi tinggal eksekusi program MP3EI itu. Bergeraklah mesin pembangunan infrastruktur ekonomi dari sabang sampai marauke. Begitu juga program pendulum nusantara atau toll laut. Itu dieksekusi Jokowi juga. Rencana Reforma Agraria juga dieksekusi, dan lain lain.


Kalau dalam pelaksanaannya ada kekurangan disana sini ya wajar. Kesalahan dan kekurangan itu kan hanya ada pada orang yang berbuat. Orang cuma mikir dan ngomong doang, engga mungkin ada kesalahan.  Kesuksesan Jokowi juga adalah sukses Pak SBY yang sudah dengan disiplin membuat rencana detail lengkap dengan payung hukumnya. Paham ya Pak AHY.


Diakhir kekuasaan SBY, berhasil  mengangkat PDB 350%  dibandingkan tahun awal kekuasaanya. Tapi harus juga dicatat. Itu bisa berhasil karena SBY tidak lagi dibebani masalah moneter, kasus BLBI.  Sehingga terbuka peluang APBN di leverage. Gus Dur dan Megawati sudah menyediakan landasan pacu yang mulus untuk SBY terbang. Apa artinya? sistem negara kita membangun secara berkelanjutan. Setiap presiden punya program yang jelas dan mereka mencatat sejarah atas kehebatan mereka melewati masa kepemimpinannya.


Yang namanya membangun itu bergerak ke depan. Di depan itu kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi. Kita hanya menduga duga saja. Itu sebabnya perlu perencanaan secara akademis. Nah era Jokowi tahun 2021 sudah ada RPJMN Hijau Melalui Indonesia Vision 2050. Tugas presiden berikutnya adalah melaksanakan program itu, dengan icon IKN. Jangan pula diubah dengan buat rencana baru. Habis waktu nanti.Focus aja melaksanakan itu. Gimana dengan perubahan?  Perubahan itu bukan mengubah rencana yang sudah dibuat presiden sebelumnya, tetapi perubahan pada sikap mental kita dalam melaksanakan program itu. Apa itu ?


Bagaimana kita belajar dari kesalahan masalalu agar diperbaiki untuk kini dan besok. Kalau tadinya banyak korup ya dikurangi. Kalau tadinya banyak ragu, ya beranilah berbuat.  Kalau tadinya populis, ya realistis lah. Kalau tadinya tergantung asing ya perkuat visi kolaborasi. Win to win atau B2B. Kalau tadinya visi kebangsaan hanya retorika, ya ubahlah lewat gagasan yang berorientasi kepada  inovasi dan kreatifitas. Jangan ada lagi visi cebong dan kampret. Dah gitu aja.

Sunday, March 12, 2023

Korupsi dan politik machiavellian

 



Berawal dari kasus FS yang membunuh ajudannya. Seakan FS kunci pembuka kotak Pandora. Dari sana bergulir kepada kasus Narkoba petinggi POLRI. Melengkapi data PPATK yang menyebut angka Rp. 150 T transaksi mencurigakan yang ada dilingkaran POLRI. Kasus ini diiringi dengan suara uang menguap dari kasus Asuransi dan investasi bodong pengelola Koperasi simpan pinjam, yang diduga mencapai Rp. 500 triliun. Dan menjadikan salah satu hakim agung kena OTT KPK karena terima suap membebaskan pengelola koperasi KSP.


Kemudian berlanjut dengan kasus kekerasaan putra pejabat DJP. Menkeu yang dianggap bersih ternyata pejabat eselon 3 punya uang tunai ratusan miliar di beberapa rekening di bank dan juga di safe deposit box bank. Pejabat Bea cukai di Yogyakarta hidup hedonis. Menjadi mantap setelah Kantor Menko Polkam mengumumkan ada transaksi mencurigakan Rp. 300 triliun di lingkungan kementerian keuangan. Ini jelas bukan korupsi. Sama dengan Judi online. Tapi TPPU. SMI menyikapinya dengan menggandeng Kantor Menko Polkam dan PPATK untuk membersihkan Kementerian Keuangan. 


Kasus terus berdengung. Menteri BUMN, melaporkan beberapa Dapen BUMN tersangkut saham gorengan Emiten, yang terindikasi merugikan negara Rp. 9,8 triliun. Belum selesai sampai disitu. Tanpa jeda, Etho kerjasama dengan kejaksaan agung membongkar kasus korupsi BUMN. Dijawab oleh Jaksa agung, dalam waktu dekat ini akan ada dua kasus besar korupsi BUMN. Angkanya mungkin gigantik. Sebagian besar Bandara yang dibangun berkelas international jatuh grade menjadi bandara domestik. Kasus lack management. Benarkah ? KPK mengatakan bahwa sebagian besar jalan Toll dibangun terindikasi korup. Mereka memanfaatkan dana talangan pembebasan lahan dari APBN, dan sebagian besar pemilik konsesi yang sudah selesai jalan tollnya, belum mengembalikan  dana talangan itu ke APBN. Semakin membuktikan bahwa pembangunan infrastruktur era Jokowi tidak punya tata kelola yang baik.


Terakhir LBP mengatakan bahwa ada 7,5 juta hektar lahan sawit tidak masuk hitungan bayar pajak. Karena hasil audit, data yang dilaporkan beda dengan data yang sebenarnya. Kasus ini mungkin ini akan bergulir tentang angka uang yang berputar dan mencurigakan dilingkungan kementrian pertanian dan perindustrian, juga kementerian keuangan.  


Saya melihat kasus ini terbuka karena Media massa yang membongkarnya, dan diviralkan oleh nitizen lewat sosial media. Apakah mungkin tahun politik, sehingga media massa terus tiada henti membahasnya dan terus viral di media sosial. Lucunya kasus yang cukup besar nyerempat petinggi Nasdem di proyek BTS tidak begitu viral, apalagi kasus Tower transmisi PLN yang melibatkan keluarga JK. Sementara Kasus kebakaran DEPO BBM Pertamina di Plumpang dijadikan amunisi menjatuhkan Anies. Tetapi dengan cepat dianuliir sendiri oleh Jokowi dan Ma’ruf Amin agar relokasi DEPO itu ke Lahan Pelindo. Dan ditegaskan oleh Meneg BUMN. Setuju relokasi. Apalagi Etho menyalahkan direksi  dan komisaris Pertamina yang tidak melaksanakan perintahnya dua tahun lalu agar benahi Depo Pertamina.  Anies juga yang menang.


Jangan kaget kasus ini semua menciptakan persepsi pentingnya arus perubahan.  Dan itu memang jargon nya Koalisi Perubahan yang mengusung Anies. Kalau kasus demi kasus terus bergulir dan viral, akan sampai pada titik “ Pilih capres asal bukan dari partai koallisi pemerintah.” Nah kan. Itu target akhir yang mudah dibaca. Akan jadi gerakan apokalipso kalau ditunggangi agama. Saya tidak sedang bicara soal teori konspirasi dibalik viralnya berita yang menjatuhkan akuntabilitas dan kredibilitas pemerintahan Jokowi. Saya hanya mempertanyakan. Mengapa berita itu cepat sekali viral? Wajar ditanya. Karena peniup kasus ini paling kencang justru adalah anggota kabinet Jokowi sendiri dan orang dekat Jokowi seperti Etho, LBP dan Mahfud MD. Lucunya dari ring kekuasaan Jokowi, relawan, influencer, elite politik partai koalisi pemerintah, memilih diam saja. Padahal reputasi Jokowi juga adalah reputasi partai koalisi yang mendukung pemerintahan Jokowi. 


Saya jadi ingat kala Trumps mencalonkan diri sebagai Capres AS. “ Kasus konspirasi yang membeli kekuasaan di AS bukan lagi rahasia, tetapi tidak bisa dibuktikan. Namun faktanya ekonomi AS terus menurun kekuataannya. Kalau Trumps punya data soal konspirasi menyangkut dana triliunan dollar, itu biasa saja. Engga hebat amat. Yang hebat, dengan kekuatan media massa dia bisa menggiring wartawan kepoan terhadap pejabat negara. Sekali pejabat salah omong, jadilah berita dan lewat program IT algoritma hit and  access berita itu mudah diviralkan oleh media sosial. Saat viral politisi menangguk di air keruh. Semakin viral lah.” Kata teman.


Saya tidak melarang hak demokrasi Anies mencalonkan dan dicalonkan sebagai Capres. Yang saya tidak suka adalah kalau proses politik itu menggunakan cara yang tidak sehat. Benar, masalah korupsi di pemerintahan itu sangat menjengkelkan rakyat. Benar rakyat marah. Tapi korupsi itu bukan hal baru. Sudah terjadi sejak era Soeharto. Belum ada satupun presiden terpilih bisa memenangkan perang terhadap korupsi. Sama halnya belum ada presiden yang sukses memenangkan perang menghapus kemiskinan. Kalau alasan korupsi perlunya perubahan, itu tak ubahnya dengan politik machiavellian. Melakukan segala cara untuk menang. Tapi apa mau dikata. Itulah demokrasi. 


Thursday, March 9, 2023

Anomali ekonomi Indonesia.


 

Kalau berdasarkan  Produk Domestik Bruto (PDB) yang mencapai US$ 1,06 triliun pada 2020. Kita negara terkaya nomor 16 dunia. Tapi yang miris, SMI mengatakan, rasio pajak alias tax ratio  (terhadap PDB) Indonesia paling rendah di antara negara-negara G20 dan Asean. Tercatat rasio pajak Indonesia sebesar 9,11 persen pada akhir 2021. Angka ini naik dari realisasi 2020 yang sebesar 8,33 persen. Tahun 2022 naik 10,5%.


Makanya jangan kaget. Walau kita negara terkaya nomor 16 di dunia dari segi PDB namun di ASEAN kita urutan nomor lima soal pendapatan perkapita (Rp 59,29 juta/tahun). Negara terkaya adalah Singapore (Rp 935,37 juta/tahun) berkat industri utamanya seperti elektronik, petrokimia, dan minyak bumi. Apa artinya?. Begitu besar sumber daya kita namun sebagian besar useless. Begitu besar jumlah penduduk, tetapi tidak menjadi kekuatan demographi.


Mengapa itu terjadi ?  Karena kita membangun tidak berbasis riset.  Gross domestic expenditure on R&D-GERD) dibawah 1% dari PDB. Dari sejak era Soeharto sampai sekarang kita masih tergantung kepada SDA. “ Bisnis mengandalkan SDA itu bukan bisnis. Itu cara berpikir ekonomi yang terbelakang. Males dan otak dungu namun kemauan gede untuk hidup makmur. Makanya yang terjadi adalah rebutan SDA ala preman. Bercampur otak reptil saling serobot, bar bar menguasai sumber daya. Maka jadilah yang segelintir orang menikmati begitu besar sumber daya, dan sebagian besar rakyat terpuruk dalam kemiskinan dan hidup pas pasan.” kata teman.


Masalah diatas tidak sulit untuk diketahui akar masalahnya. Apa itu? sistem pendidikan kita tidak berorientasi kepada kreatifitas dan inovasi. Kita terperangkap dengan sistem pendidikan stadarisasi yang berorientasi  jongos untuk memenuhi lapangan kerja dan memuaskan para pemodal. Survey terkait peringkat 20 sistem pendidikan terbaik di dunia dari 209 negara yang dilakukan World Top 20 Education Poll. Indonesia menempati peringkat pendidikan ke-67. Berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.Jadi walau kita masuk 16 negara terkaya di dunia tetapi sistem pendidikan kita low grade.


Sistem hukum kita lemah. Berdasarkan data World Justrice Project, Indeks Negara Hukum (Rule of Law Index/RLI) Indonesia tercatat sebesar 0,53 poin pada 2022. Selama 7 tahun Jokowi berkuasa, RLI hanya naik tipis 0,01 poin dibandingkan pada awal dia berkuasa yang sebesar 0,52 poin. Jadi walau kita masuk anggota G20 dan negara terkaya nomor 16 di dunia, namun Skor RLI Indonesia berada di posisi 64 dari 140 negara secara global.


Kesimpulan: Sejak era Soeharto sampai sekarang, tidak terjadi transformasi ekonomi. Tetap mengandalkan SDA. Kita memang tidak punya visi besar dalam membangun. Entah apa niat elite politik negeri ini berkuasa. Saya engga paham. Karena saya hanya tamatan SMA, tidak termasuk 4,6% penduduk Indonesia yang mendapatkan kesempatan jadi sarjana.

Tuesday, March 7, 2023

Lahan kawasan Tanah Merah Plumpang.

 




Tanah Merah adalah nama kawasan untuk daerah yang meliputi tiga kelurahan, yaitu Rawa Badak Selatan, Tugu Selatan, dan Kelapa Gading Barat, total luas 163,5 hektare. Sengketa lahan sudah ada sejak era Soeharto. Warga yang digusur pada tahun 1990-an, melakukan gugatan ke PN Jakarta Pusat dan dimenangkan. Lalu terjadi banding ke Pengadilan Tinggi oleh pihak tergugat dan akhirnya kasasi ke MA yang memutuskan bahwa lahan tersebut adalah lahan negara yang dicadangkan. Mengapa ? Pertamina sendiri tak bisa menunjukkan bukti kepemilikan yang sah terhadap Tanah Merah. 


Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) tidak ada istilah tanah milik Negara, yang ada adalah tanah yang dikuasai Negara.  Pasal 2 UUPA memungkinkan pemerintah memberikan KTP kepada warga yang tinggal di lahan itu, seperti yang dilakukan oleh Jokowi saat Gubernur DKI. Itu juga dasarnya terbitnya PERDA DKI No. 7/2010 tentang Bangun Gedung untuk dasar gubernur memberikan IMB kawasan. Bahkan  memungkinkan juga mendapatkan sertifikat asalkan memenuhi prosedur “Permen Argaria 9/1999”. 


Apa artinya ? rakyat yang tinggal diatas lahan yang dikuasai negara  itu sah. Bagaimana dengan Pertamina? itu juga legal. Yang tercatat sebagai HGB Pertamina adalah 14 hektare yang terbangun menjadi Depo yang awalnya hanya 3,5 hektare. Ya sama sama legal. Tentu tidak bisa salah satu merasa berkuasa. Toh bagaimanapun itu lahan yang dikuasai negara. Lantas masalahnya apa? Masalahnya ada pada peruntukan lahan itu yang tidak jelas. 


Mengapa saya katakan tidak jelas? Dari sejarah pembebasan lahan itu tahun 1960an, memang peruntukannya untuk DEPO Pertamina.   Tidak untuk tempat hunian. Ingat dulu Pertamina bukan Persero tapi Badan Negara yang melaksanakan penugasan pemerintah. Tapi setelah reformasi status Pertamina berubah jadi Persero, lembaran negara atas peruntukan lahan itu tidak ada.  Lahan itu tidak masuk aset negara (PMN) yang di transfer ke Pertamina. Makanya pengadilan mengatakan itu lahan yang dikuasai negara bukan dikuasai PT. Pertamina. Atas dasas status tanah itu, saya tidak yakin Pertamina punya izin HO ( UU Gangguan), yang mewajibkan Pertamina membuat jarak aman dengan tempat hunian dan kewajiban warga harus menjauh dari kawasan DEPO.


Sementara entah gimana ceritanya, setelah reformasi di sekitar kawasan tersebut tidak hanya berdiri permukiman warga. Melainkan juga ada hunian mewah Gading Kirana, Villa Permata Gading, Koramil, serta banyak bangunan lain yang statusnya sama dengan hunian warga saat ini. Kalau mau diusut, saya yakin ini akan jadi benang kusut. Kasus yang tak berujung. Karena mafia tanah bersama birokrat dan elite politik ikut bermain diatas status lahan ini. Yang lucunya, yang disalahkan rakyat jelantah. Sementara warga kelas menengah yang kuasai mayoritas lahan ini aman saja dan tidak disebut penyerobot tanah negara.? Tetapi kepada rakyat kecil disebut penyerobot tanah negara? 


Tapi, oklah. Itu masalah sudah terlanjur yang engga perlu dibahas apalagi sampai dipolitisir. Saya kagum dengan sikap Jokowi  dan Ma’ruf Amin yang menyarankan agar DEPO BBM Pertamina di relokasi segera. Menteri BUMN Erick Thohir (Etho) telah memutuskan. Bahwa, Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina Plumpang, Jakarta Utara dipindahkan ke lahan milik PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Pembangunan depo BBM baru itu diperkirakan mulai akhir 2024. 
Lagian apa kata dunia, Indonesia masuk G20 tapi Depo BBM ada di ibukota.  Singapore aja Bunker nya di pulau reklamasi. Kalau kebakaran tinggal siram pakai air dari kapal. Tidak perlu ada korban sia sia. Sudah saatnya kita membangun secara modern dan memanusiakan manusia.

Bagaimana dengan warga ? sebaiknya warga tanah merah yang jadi korban kebakaran DEPO Pertamina, dibuatkan RUSUN, dan kawasan yang kumuh ditata agar bersih dan sehat. Jangan pula setelah Depo di relokasi ke lahan reklamasi Pelindo, mereka yang sudah tinggal puluhan tahun digusur dengan alasan relokasi pula. Kemudian lahan dikuasai developer. Janganlah. Rakus itu engga baek. Ingat, bahwa tanah itu berfungsi sosial, bukan melulu komersial. Apalagi lahan yang dikuasai negara. 

Monday, February 27, 2023

Amanah Reformasi dikudeta oligarki

 




Sebenarnya sejak di amandemen UUD 45 tahun 2003, kita sudah menerapkan idiologi terbuka dan demokrasi terbuka. Ini semua keinginan dari pejuang reformasi yang berhasil menjatuhkan Soeharto. Tapi tidak banyak orang paham. Bahwa itu bukan sekedar reformasi, tetapi adalah juga revolusi politik. Dari sistem totaliterian ala Orba,  menjadi demokrasi terbuka. Itu sangat drastis perubahannya. Tapi perubahan itu dalam perjalananya dikudeta oleh partai dan elite. Mengapa? mari saya jelaskan secara sederhana.


Pertama, kita tidak punya lagi GBHN. Jadi setiap calon presiden harus punya agenda jangka pendek dan menengah yang bisa dijual kepada publik. Capres harus punya kemampuan menterjemahkan agendanya dalam narasi politik yang bisa dimengerti orang awam. Itu disampaikan setahun sebelum pemilu,  melalui media massa dan sosial media. Nah seharusnya survey Elektabilitas didasarkan pada questionary yang berkaitan dengan agendanya. Jadi ukurannya bukan popularitas tetapi elektabiltas atas dasar kualitas gagasan. Dengan demikian lembaga survey sudah ikut mencerdaskan rakyat. 


Kedua, kita menganut Pemilu langsung. Presiden dipilih langsung. Legitimasi kekuasaan presiden sangat kuat. Termasuk memilih anggota kabinet. Seharusnya dalam menyampaikan gagasannya, capres menyebutkan siapa saja calon anggota kabinetnya. Publik pun dapat menilai gagasan itu secara utuh. Yang dinilai bukan hanya idenya tetapi juga, apakah anggota kabinet yang ditawarkan capres itu qualified atau tidak. Artinya publik bisa menilai antara gagasan dan team yang akan membantu tugas presiden ada korelasinya. Alias nyambung. Nah seharusnya lembaga survey menentukan Elektabilitas atas dasar anggota kabinet dari capres.


Ketiga, kita menganut sistem  proporsional terbuka. Anggota DPR bukan lagi diplih oleh partai tetapi dipilih langsung oleh rakyat. Pemilih melihat photo caleg ( DPR) dan asal partainya. Seharusnya anggota DPR tidak bisa diberhentikan kecuali oleh pengadilan akibat perbuatan pidana, dan tidak bisa partai menggantikannya dengan kader lain. Dengan demikian ada pertanggungan jawab dan hubungan emosional antara caleg dengan DAPIL nya. Tapi karena UU memungkinkan Partai memberhentikan Anggota DPR, maka setelah caleg terpilih, mereka tidak peduli dengan rakyat memilihnya. Mereka focus melaksanakan agenda partai. Jadi elektabilitas partai tinggi tidak menjamin partai itu hebat. Caleg hebat tidak menjamin caleg itu akan amanah kepada rakyat.


Sistem konvensi.

Seharusnya setiap partai mengadakan konvensi calon Presiden. Pesertanya bukan hanya kader partai tetapi juga umum. Partai bukan saja mencetak kader pemimpin tetapi juga membukan peluang  siapapun anak bangsa bisa menjadi president.  Mereka disaring lewat panitia seleksi. Siapa yang berkualitas, maka dia akan masuk putaran kompetisi lewat konvensi. Disitu publik melihat mereka berdebat di TV dan media massa, media sosial. Nah disini peran lembaga survey menentukan untuk melakukan pooling siapa yang terbaik, akan mendapatkan tingkat elektabilitas tinggi. Yang tertinggi akan diadu dengan capres dari partai lain lewat Pemilu.


Dewan Perwakilan Rakyat dan DPD

Seharusnya Caleg anggota DPR itu sebagian besar berasal dari anggota DPD yang sudah sukses memperjuangkan Daerah yang diwakilinya di tingkat nasional. Jadi apabila mereka jadi anggota DPR, pemahaman tekhnis mereka berkaitan dengan kepentingan lokal sudah mumpuni. Tentu UU yang berkaitan dengan kebijakan nasional dibergai sektor pasti berbasis kepentingan lokal namun berspektrum nasional. Tapi yang terjadi dalam praktek, Caleg DPR dipilih karena popularitasnya. Makanya jangan kaget bila kita punya anggota DPR dan DPD tidak semua berkualitas negarawan. Kemampuan riset mandiri mereka rendah sekali, dan itu karena miskin literasi.


Kesimpulan.

Apa yang terjadi pada sistem demokrasi kita? sebenarnya bukanlah demokrasi dalam arti dari rakyat untuk rakyat. Bukan. Demokrasi kita dikudeta oleh sistem oligarki partai. Mereka membuat aturan dengan simbol demokrasi tetapi esensinya adalah tiran, dalam bentuk group oligarchi atau meminjam kata kata Prof Jeffrey Winters, demokrasi indonesia menjelma menjadi “ untamed ruling oligarchy’ ( oligarki penguasa yang liar’.).” Lucunya rakyat yang tingkat literasinya rendah, mau saja masuk dalam drama yang dicreate oleh untamed ruling oligarchy, yang didukung oleh lembaga survey, influencer, media massa, cukong. Maka jadilah lembaga survey Capres seperti kontes Indonesia idol. Orang banyak dipaksa berkiblat kepada tokoh dan memujanya secara bigot. Hilang akal sehat, pastinya.




Politik menari diatas bara.

 



Politik dari hari ke hari semakin dinamis. PDIP inginkan Sistem pemilu proporsional terbuka. Sementara 8 fraksi tidak mendukung. Bahkan Wakil Presiden dan presiden menyatakan mendukung sistem pemilu proporsional terbuka. Sebenarnya sistem terbuka maupun tertutup, itu sama saja. Sama sama ada kekurangan dan kelebihannya. Namun secara politik ini membuktikan agenda politik PDIP sebagai rulling party tidak sepenuhnya didukung koalisi dan presiden tidak sepenuhnya loyal dengan idiologi PDIP.


Menurut saya, terlepas soal agenda politik dibalik sistem terbuka atau tertutup. Kedua sistem itu bagus dan tidak ada yang salah. Yang salah itu kalau sistem dalam pelaksanaannya tidak dijalankan secara kosisten. Misal cara terbuka. Kita pilih caleg yang kita kenal.  Itu bagus. Ada hubungan emosional antara kita dan caleg. Tapi apakah setelah dia jadi anggota DPR, kita berhak menuntut dia bertanggung jawab atas pilihan kita? Faktanya tidak. Secara UU anggota DPR bertanggung jawab kepada Partai. Buktinya anggota DPR bisa diberhentikan (PAW) kapan saja oleh Partai.


Sistem tertutup juga bagus. Asalkan sistem diterapkan secara konsisten. Seperti misalnya, Partai harus bisa menjaring orang orang berkualitas duduk di DPR. Tidak harus dia kader partai. Bisa saja profesional atau tokoh masyarakat. Yang pasti mereka bukan orang loyal kepada partai tetapi loyal kepada kebenaran. Itu bagus dan ideal untuk sistem tertutup. Masalahnya apa iya partai akan mengutamakan kualitas anggota DPR daripada loyalitas ? Kalau perolehan suara pileg hanya bagi bagi kursi untuk kader partai, ya sama saja boong. Lantas apa gunanya pemilihan langsung dan terbuka, kalau toh pada akhirnya yang menentukan kinerja dia bukan rakyat tetapi partai.


Partai koalisi pemerintah juga main main dengan belum disahkannya Perppu Cipta kerja oleh DPR. Apakah ini hanya sekedar molor agenda rapat Paripurna DPR atau ada sesuatu yang lain?. Menurut saya, setelah Perppu itu diteken presiden, DPR harus segera bersidang untuk mensahkan Perppu itu. Karena semua aspek atas UU Cipta kerja udah dibahas sebelumnya, dan PERPPU itu tidak mengubah ensensi dari UU itu sendiri. Tapi memang ada masalah di Elite. Bukan hanya soal PERPPU Cipta Kerja, ada juga agenda Jokowi untuk  merevisi UU IKN. Ini juga akan jadi bargain bagi elite partai berhadapan dengan Presiden. Kalau tidak ada perubahan UU, sangat sulit bagi Badan Otoritas IKN  deal dengan investor. Karena dibatasi wewenangnya soal ketentuan tanah.


Sepertinya Perppu Cipta kerja dan Revisi UU IKN dijadikan bargain oleh partai koalisi pemerintah dan oposisi. PDIP dan Jokowi saling berhadapan akibat ulah intrik politik. Karena kalau digabung dengan Koalisi perubahan, suara PDIP kalah di DPR. Dampaknya Agenda perubahan Sistem Pileg Terbuka atau tertutup, agenda Perppu Cipta Kerja dan RUU IKN terancam kandas. Ini sangat buruk terhadap reputasi pemerintahan Jokowi, termasuk PDIP yang mengusung Jokowi. Untuk apa mereka bargain? Ya untuk menggolkan capres yang mereka usung. Setidaknya bacapres mereka tidak dikasuskan, Maklum, tidak ada bacapres yang engga terkait kasus hukum. Apalagi dengan kepelesetnya lidah Megawati yang mempertanyakan majelis taqlim ibu ibu. In akan berdampak perseteruan luas antara nasionalis sekular dengan golongan islam. Merugikan PDIP, menguntungkan partai lain, terutama oposisi.


Jadi singkatnya, saat sekarang terjadi negosiasi secara luas lintas koalisi dan partai dan tentu golongan. Apa penyebabnya? inilah dampak dari politik pragmatis. Masing masing partai itu berangkat dari agenda berbeda, tetapi bukan untuk kepentingan nasional. Tetapi kepentingan pragmatis. Lebih buruk lagi kepentingan sahwat soal kekuasaan dan kerakusan. Mungkin perseteruan dan intrik itu kalau tidak bisa berdamai diantara mereka, akan terjadi proses lahirnya invisible hand Tuhan. Maka yang terjadi, terjadilah…


Derita rakyat kecil

  Kontribusi  konsumsi rumah tangga sebesar 55% terhadap  Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (PDB). Apa saja konsumsi rumah tangga itu ? termasuk...