Walau saya bukan pemilih Prabowo namun saya harus akui bahwa Prabowo itu cerdas. Cerdas dalam arti bukan licik. Tetapi cerdas yang didukung literasi yang cukup serta kemandirian membuat keputusan. Dia tahu bahwa sumber masalah negeri ini ada pada system birokrasi. Itu terkait dengan tatakelola yang feodalisme. Tidak meritokrasi. Sejak awal reformasi sampai era Jokowi, hal yang tidak pernah bisa dibenahi adalah birokrasi. Reformasi tidak menyentuh birokrasi dalam arti sesungguhnya.
Jarak antara politisi dan birokrasi itu memang jauh sekali. Apalagi kompetensi menteri dan Gubernur /bupati rendah. Jarak ini menimbulkan disparitas antara realisasi dan rencana. Misal, APBN itu adalah politik anggaran Pemerintah yang berkuasa. Para politisi di DPR yang merupakan wakil dari partai dan Dapil duduk bersama membahas agenda politk sesuai dengan visi nasional : UUD 45, Pancasila, NKRI. Nah oleh pemerintah pada level birokrasi diterjemahkan lewat narasi APBN ekspansif. Ya, karena sifatnya ekspansif tentu yang muncul adalah belanja macem macem.
Hashim Djoyohadikusumo, yang juga adik dari Prabowo mengatakan bahwa banyak anggaran negara yang tidak dibelanjakan untuk program strategis. Bahkan, dia menyebut banyak program yang 'konyol'. Apa yang dikatakan Hashim itu membuktikan bahwa birokrasi itu memang brengsek. Namun itu ditepis oleh birokrasi dengan ukuran kinerja Kementrian/ Lembaga/PEMDA dalam bentuk realisasi APBN. Semakin besar realisasi APBN/D semakin baik kinerja pemerintah.
Padahal sudah ada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur penggunaan sistem penganggaran berbasis kinerja (ABK). Kemudian UU Nomor 1 Tahun 2022 juga memperkuat sistem perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja di daerah. Yang tujuannya, meningkatkan kualitas belanja, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan efisiensi, meningkatkan fleksibilitas dan akuntabilitas unit kerja. Mungkin hanya Ahok saat gubernur DKI menerapkan UU itu dengan konsisten. Namun dia dibenci oleh birokrasi DKI sendiri.
Prabowo belajar dari pemerintahan sebelumnya. Di era SBY, narasinya adalah money follow function. Anggaran disesuaikan dengan fungsi dari Lembaga atau unit kerja. Tujuannya adalah efisiensi. Untuk memastikan waskat atas money follow function itu, SBY memberikan kuasa kepada Bangar DPR untuk membahas APBN sampai ke level 3 anggaran. Apa yang terjadi ? program kerja tidak jalan. Beberapa proyek malah mangkrak. Yang terjadi malah konspirasi antara Lembaga/kementrian dengan Bangar DPR. Terbukti beberapa Menteri, anggota DPR masuk bui.
Era Jokowi, narasi money follow functon diubah menjadi Money follow program. Kinerja berdasarkan program prioritas. Nah karena sifatnya prioritas, perencanaannya menjadi semacam crash program. Kualitas perencanaan belanja sangat rendah. Ya, terkesan terburu buru seperti proyek Infrastruktur ekonomi, IKN, swasembanda pangan dan lain lain. Harus cepat diselesaikan dan diresmikan oleh president. Dari situasi inilah terjadi moral hazard. Itu bisa dilihat dari tinggi nya ICOR dan memburuknya indek korupsi.
Prabowo membaca situasi itu semua. Tentu dia tidak mau menjadi bagian dari masalah dari presiden sebelumnya. Ya dia tidak mau terjebak dengan narasi money follow program atau money follow function. Dia gunakan narasi MSB sebagai anti tesis dari narasi tersebut. Dengar aja pidatonya di Brazil “ 25% anak anak Indonesia kelaparan setiap hari”. Anak anak adalah symbol masa depan bangsa. Dia tidak ingin mengulang kesalahan masa lalu itu
Sebenarnya esensinya bukan MSB yang hendak dia capai. Tetapi readjustment budget yang pro rakyat miskin dan focus kepada perubahan mindset birokrat dari project based ke program based. Walau Inpres Nomor 1 Tahun 2025 memangkas anggaran belanja kementrian/Lembaga dan alokasi dana transfer ke daerah. Itu tidak akan mengganggu fostur APBN yang sudah ditetapkan. Karena yang dikurangi adalah anggaran birokrasi. Ya intangible cost atau yang tidak terkait langsung dengan program itulah yang dipangkas seperti Alat tulis kantor, perjalanan dinas, biaya konsultan dan biaya studi dan lain lain.
Lebih Rp 300 triliun anggaran dipangkas atau sekitar 10% dari APBN. Kalau Menteri dan ketua Lembaga, Pemda masih terjebak dengan feodalisme, apalagi inginkan pencitraan. Ya pemotongan anggaran birokrasi itu sangat tidak nyaman. Karena engga ada lagi anggaran upacara atau seremonial untuk jadi media darling. Engga ada lagi anggaran buzzer.
Tetapi kalau Birokrat mau mengubah mindset nya menjadi meritokrasi, Indonesia akan bergerak maju kedepan. Itu bisa lihat contoh Argentina. Sekian decade terpuruk karena hutang dan hiperinflasi, Tapi hanya setahun dibawah Javier Milei, APBN bisa surplus, dari kontrasi ke growth. Semoga.