Saturday, November 29, 2014

Investasi Asing...

Waktu kunjungan ke Pyongyang, saya didampingi oleh teman yang juga pejabat China. Pejabat Korea utara dengan bangganya menceritakan bahwa Korut adalah negara berdaulat dimana semua sumber daya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk seluas luasnya bagi kesejahteraan rakyat. Kami menutup diri dari dunia luar. Tidak ada orang asing menguasai SDA seperti di Korea selatan, katanya. Dari kendaraan yang melaju ke Hotel, saya meliat dipinggir jalan orang berjalan dengan wajah tanpa harapan. Nampak miskin dengan senyum dipaksakan sambil membungkuk ketika kendaran dengan plat nomor penguasa melintas. Usai kunjungan dan kembali ke Beijing ,teman saya meminta kesan saya terhadap Pyongyang. Saya hanya mengatakan singkat bahwa di negeri itu tidak ada peradaban.Teman saya tersenyum. Menurutnya kesalahan terbesar dari Korea Utara adalah menjadikan satu gerombolan berkuasa penuh menentukan apa saja demi tegaknya sebuah kekuasaan termasuk menempatkan seseorang sebagai diktator, untuk itu mereka menggunakan komunisme sebagai Idiologi. China pernah mengalami kesalahan seperti itu ketika era Mao. Untuk membangun peradaban ada dua prinsip yang harus disadari bahwa pertama, Bumi ini milik Tuhan, katanya. Kita berbeda dan terpecah belah karena adanya paham nasionalisme. Alangkah buruknya bila karena sebuah pemikiran imajiner tentang nasionalisme membuat kita tertutup dari dunia luar. Kemitraan dengan dunia luar itu mutlak. Itu sebabnya Era Deng, China membuka diri dengan dunia luar. Saat itulah kita meyakinkan pada diri kita bahwa kita bagian dari dunia luar. Banyak hal yang china miliki tapi juga banyak yang tidak dimiliki.Kemitraan dengan asing adalah saling melengkapi agar setiap bangsa bisa mendapatkan kemakmuran dari keterbatasannya.

Prinsip kedua adalah memastikan pembangunan itu karena adanya emansipasi dari rakyat. Proses pembangunan juga adalah proses emansipasi. Tugas negara menjaga proses emansipasi itu dengan cara yang benar dimana kebaikan diutamakan dan keadilan  tegak. Itu sebabnya China memilih jalan industrialiasasi sebagai visi. Semua sumber daya alam harus diolah didalam negeri. Tidak semua SDA itu dikelola oleh Negara , ada banyak yang dikelola oleh Private lokal maupun asing namun dipastikan negara berkuasa atas kebijakan bagaimana SDA itu dikelola. Kebijakan dasarnya adalah memastikan transfer technology terjadi dan distribusi kesempatan meluas. Karenanya pemerintah China membangun infrastruktur ekonomi, jalan, pelabuhan, bandara, dan lain lain agar koneksitas antara wilayah dapat melahirkan sinergi dibidang ekonomi. Dalam perkembangan berikutnya, pemerintah juga tidak melarang bila karena pertumbuhan ekonomi itu, swasta lokal maupun asing ingin mendapatkan keuntungan dari peluang pengadaan sarana umum dengan skema  Public Private Partnership (PPP) seperti Jalan Toll, Kereta Api ekspress, bandara, dll. Namun negara membatasi konsesi bisnis PPP itu dengan aturan yang jelas dan tegas. Sehingga ada kepastian hukum bagi investor dan juga bagi public yang diwajibkan membayar atas sarana umum itu. Jadi membangun itu bukan masalah apakah harus negara menguasai semua dan mengelolanya kemudian dibagikan kepada rakyat seperti ala sosialis komunis. Bukan pula menyerahkan semua sumber daya kepada dunia usaha seperti ala kapitalis liberalisme. Bukan begitu!. Kita perlu kapitalisme demi terlaksananya emansipasi rakyat membangun  namun kita butuh sosialisme agar negara hadir disetiap ruang itu demi tegaknya keadilan sosial. Jadi ya seperti sosial demokrat.

Apa yang dilakukan oleh china dalam membangun tidak jauh berbeda dengan Malaysia, yaitu visi industrialisasi. Sebagai ngara agraris, malaysia mengelola Perkebunan Sawit menerapkan tekhnologi dan padat modal. Hubungan antara petani dengan pengusaha besar diatur dalam sinergi yang kokoh.Sebagian besar perkebunan sawit dimiliki dan dikelola oleh petani dan negara bersama pengusaha besar sebagai pembina untuk tersedianya tekhnologi tanam yang mampu meningkatkan produksi dan kemudian membangun industri hulu untuk mengolah  CPO menjadi ethyl ester, Fatty acid, dan glycerine. 70% dari CPO ini diolah didalam negeri. Dari industri hulu CPO ini mengakibatkan terjadi arus investasi dari dalam  dan luar negeri untuk membangun industri yang membutuhkan bahan baku ethyl ester, Fatty acid, dan glycerine,seperti industri pangan (minyak goreng dan margarin), industry sabun (bahan penghasil busa), industri baja (bahan pelumas), industri tekstil, kosmetik, dan sebagai bahan bakar alternatif (biodisel). Karena visinya industri , walau Indonesia memiliki lahan sawit terbesar didunia, yaitu mencapai kurang lebih 18 juta hektar. Sementara Malaysia hanya 6 juta hektar.Tapi jumlah produksi kelapa sawit yang dihasilkan Malaysia per tahunnya, ternyata hampir dua kali lipat lebih besar dari Indonesia. Tapi Malaysia hanya menjual 30% saja dari total produksi CPO nya sementara Indonesia mengeksport 70% lebih CPO nya. Ketika harga export CPO jatuh , indonesia meradang nestapa namun malaysia tetap melaju karena 70% CPO diolah didalam negeri untuk menghasilkan produk bernilai tambah.

Sebetulnya Indonesia mempunyai banyak sekali peluang untuk tumbuhnya industrialisasi. Zaman Soeharto , kekuasaan dikelola dengan cara totaliter dan  semua SDA dikuasai negara. Namun tidak ada keadilan terhadap distribusi barang dan modal. Penguasaan ekonomi lebih kepada kroni penguasa yang bersenggama dengan asing. Industri tumbuh tapi hanya sebagai tukang jahit yang memanfaatkan upah murah. Pihak asing mendapatkan keistimewaan dari negara untuk mengelola SDA namun dieksport tanpa diolah didalam negeri. Ketika reformasi,kekuasaan dikelola dengan demokratis namun juga tidak ada keadilan distribusi barang dan modal. Penguasaan ekonomi dikuasai oleh pasar sementara rakyat banyak hanya jadi konsumen yang dijejali barang import. Terjadilah deindustrialiasi. Saat sekarang itu ingin dirubah oleh Jokowi. Di Forum APEC Dalam investment expose dihadapan CEO APEC, jokowi menawarkan investasi di Indonesia bukan karena pengurasan SDA untuk diangkut keluar tapi diolah didalam negeri dalam visi industrialisasi. Dengan prinsip negara akan menjadi leading untuk terjaminnya ketersediaan bahan baku, sumber daya manusia yang berkualitas, dan infrastrutur ekonomi yang meluas. Hanya dengan cara itu Indonesia bisa mengeskalasi pertumbuhan ekonominya yang setiap tahun berpacu dengan pertumbuhan angka kelahiran 3,5 juta, 1 juta angkatan kerja baru, harus membayar kesalahan rezim sebelumnya dengan angsuran hutang dan bunga sebesar Rp 154 trilun! setiap tahunnya. Ini bukan kerja mudah seperti mimpi sosialis dimana negara menguasai semua namun akhirnya negara ( elite ) mengambil semua dengan membagi secuil kepada rakyat. 

Ya, betul kata teman itu bahwa kita butuh pemimpin yang mengerti kapitalisme namun mempunyai hati sosialis. Bukan soal pilihan apa yang tepat sebagai idiologi tapi siapa pemimpin dibalik idiologi itu. Baik buruknya peradaban tergantung dari akhlak pemimpin yang kita pilih. Semoga Jokowi adalah pilihan yang tepat. Kepada Allah kita berserah diri...

Wednesday, November 19, 2014

Dibalik Subsidi dan APBN

Dari sejak era Soeharto sampai dengan tahun 2000 kita menerapkan sistem neraca berimbang (Debit dan kredit ). Dalam sistem ini sumber penerimaan adalah yang real diterima oleh pemerintah. Apabila penerimaan lebih kecil dari pengeluaran maka pemerintah akan berhutang dan itu akan berada disisi penerimaan. Sehingga tidak ada istilah defisit. Itu sebabnya harga BBM di APBN menggunakan acuan biaya pokok+fee. Jadi actual price, bukan market price. Benar benar negara sebagai logistik nasional dibidang migas untuk mendistribusikan BBM kepada rakyat. Tentu ini sesuai dengan amanah UUD 45 pasal 33. Pemahaman seperti ini masih melekat dikepala banyak orang sampai sekarang.Bahkan banyak pengamat yang terjebak dengan pahaman seperti itu dan ikut memprovokasi orang awam.Padahal sejak tahun 2000 sistem neraca berimbang digantikan dengan neraca “vertikal”. Ini standard Government Finance Statistic. Sistem ini sama dengan neraca perusahaan. Sebagai kelanjutan dari ketaatan SGFS,  tahun 2003 keluar UU migas. Harga BBM di APBN menggunakan acuan MOPS + Alpha+pajak. Artinya harga pasar. Berapa MOPS tergantung harga rata rata minyak di pasar singapore atau biasanya Indonesia Crude Price yang selalu lebih mahal USD 5 sampai dengan USD 10. Alpha adalah biaya refinery, penyimpanan, distribusi, lost product yang ditetapkan 10% dari harga MOPS. Pajak ditetapkan 15% dari MOPS + ALPHA.

Ya selalu harga pengadaan crude diatas USD 5-10 harga MOPS. BIla diilustrasikan harga BBM sekarang adalah harga oktober (penyerahan s/d desember) USD 87 + 10 = USD 97. Tapi karena perhitungan APBN menggunakan everage tahun berjalan maka harga crude yang dihitung menjadi 104,7 atau hanya USD 4 selisih dari ketentuan harga pada APBN 2014 yang USD 108. Mengapa everage ? Karena penetapan besaran subsidi itu diawal tahun anggaran, sementara harga crude setiap bulan naik turun. Perhitungannya jadi 104,7 + 10% x 104,7 = USD 115,17 + 15% pajak x 115,17 = USD 132,45 per Barrel. BIla kurs rupiah Rp12300 maka harta per barre USD 132,45 x Rp. 12.300 = Rp.1.629.079 per barrel. Bila 1Barel adalah 158,9 liter maka harga per liter Rp. 1.629.079/158,9 liter adalah  Rp. 10.252 perliter atau berkisar Rp.10.000 per liter untuk harga perolehan premium per liter. Untuk RON 88 harga perolehannya adalah Rp. 9200 per liter dan bila dijual Rp. 8500 perliter maka masih ada subsidi sebesar Rp.700 perliter. Dari acuan MOPS + Alpha maka kita tidak tahu berapa pastinya “alpha” itu. Yang penting harga minyak dunia naik, maka alpha juga naik sebaliknya bila harga minyak dunia turun maka Alpha juga turun. Walau nyatanya gaji direksi dan karyawan Pertamina tidak terpengaruh harga minyak. Nah karena dibeli dengan harga pasar crude international maka seharusnya juga dijual dengan harga BBM international. Tapi harga minyak dalam negeri tetap berpatokan dengan acuan MOPS+ Alpha. Selisih harga yang ditetapkan dengan acuan pengadaan BBM ( MOPS+alpha ) ini disebut dengan subsidi. Jadi sebetulnya wajar kalau dipertanyakan betulkah harga subsidi itu? bila Alpha ditentukan harga pasar. Mengapa harga BBM impor bisa saja lebih murah dibandingkan harga perolehan BBM berdasarkan acuan MOPS+alpha. Ya karena "alpha"nya sebagai sumber masalah.

Dalam sistem akuntasi sekarang , Pemerintah bukan lagi provider minyak tapi service provider yang mendapatkan sharing and fee ( Pajak). Penerimaan pajak penjualan juga akan mengikuti trend pengadaan minyak berdasarkan acuan MOPS +Alpha. Bagaimana dengan pendapatan negara berupa bagi hasil MIGAS?. Itu akan masuk dipos penerimaan negara atau PNBP yang nilainya pada APBN ditentukan berdasarkan asumsi kurs rupiah rata rata dengan harga pasar per kwartal. Subsidi masuk dalam pos belanja negara. Jadi dalam sistem neraca ini tidak ada hubungan langsung antara penerimaan MIGAS dengan SUBSIDI. Sisi penerimaan negara berhubungan dengan semua belanja negara termasuk subsidi BBM. Contoh bila penerimaan sektor migas 100 dan pengeluaran subsidi 110 maka tetap subsidi 110 bukan 10 ( 100-110). Dengan sistem ini maka semua transference sehingga pasar bisa menilai dengan cepat financial ratio APBN kita. Hal ini sangat penting. Mengapa? Karena apabila terjadi difisit anggaran dan pemerintah perlu menarik pinjaman/hutang maka pemerintah bisa menerbitkan surat Hutang/Obligasi atau melakukan instant loan dengan lembaga multilateral seperti ADB, World bank, dan lain lain. Bunga Obligasi atau yield obligasi ditentukan oleh financial ratio dari APBN. Kondisi rupiah ditentukan dari financial ratio APBN atau istilahnya Fundamental ekonomi. Jadi skema penetapan harga BBM itu karena keharusan mengikuti SGFS sebagai compliance untuk menarik hutang.

Karena skema penetapan harga inilah makanya pemerintah sebelumnya terbuai mempertahankan subsidi BBM di APBN. Kalaupun subsidi BBM dikurangi namun dilakukan bertahap. Mengapa? ini bukan takut kepada rakyat yang marah karena BBM naik tapi takut kepada pihak asing yang berada dibalik skema ini,dan juga kepada pengusaha yang selama ini ada dibalik terpilihnya dia sebagai Presiden. Suka tidak suka pihak asing juga adalah undertaker atas hutang pemerintah.  Dengan skema ini maka ada konspirasi dimana minyak Indonsia ( ICP) yang dikenal dengan minyak kualitas 1 dengan harga paling tinggi didunia, dijual ke luar negeri sementara untuk memenuhi kilang minyak dalam negeri , Pertamina melalui Petral mengimpor crude dari negara yang kualitasnya rendah  dan harga murah seperti Iran, Irak,Rusia. Kekurangan produksi kilang, kita mengimpor BBM. Bayangkanlah,  harga BBM kita di APBN berdasarkan harga minyak Indonesia ( ICP) sementara yang kita terima adalah kualitas rendah dan murah.  Jadi siapa yang menikmati selisih harga pada APBN ini?siapa yang mendapatkan untung dari skema ini?  Selisih harga dinikmati oleh Trader yang dapat jatah beli dan jual Crude. Yang dapat keuntungan dari skema ini adalah para pengusaha yang mendapatkan hak mengimpor BBM. Mereka beli murah dan jual dengan harga tinggi ( harga APBN) ke Pemerintah. Disamping itu para pihak lain juga bermain dengan jatah BBM subsidi, mereka selundupkan keluar bila harga minyak intentional tinggi. Semua skema ini di back up dengan UU dan Peraturan pemerintah. Legitimate.!

Karena  skema inilah maka sejak zaman Soehato jatuh sampai dengan sekarang tidak pernah ada kilang minyak baru dibangun. Lobi pengusaha kepada elite politik di senayan sangat hebat untuk memastikan Pemerintah gagal membangun kilang minyak baru. Karena kalau sampai kita swasembada BBM maka baik trader maupun pengusaha tidak mendapatkan untung.  Karena skema ini pula lifting minyak Indonesia turun terus sampai akhirnya jatuh dibawah 1 juta barel. Mengapa? karena para importir ingin mendulang laba dari ketergantungan pemerintah akan impor BBM . Padahal lifting minyak kita bisa diatas 1 juta barrel karena resource nya tersedia. Nah, semua permainan ini didukung oleh pendanaan yang tidak kecil. Ingat bahwa trading minyak adalah trading uang. Hanya yang punya uang yang bisa akses ke bisnis ini. minimal harus didukung oleh dana USD 100 juta. Siapa yang mampu ? tentu mereka yang didukung oleh lembaga keuangan kelas dunia dan mereka inilah dibalik financial resource RI menarik hutang luar negeri. Jadi yang menginginkan skema  subsidi BBM ini dipertahankan adalah pengusaha monyet dan politisi monyet, serta lembaga keuangan monyet.  Yang hanya goyang goyang kaki menikmati laba tak terbilang, sementara rakyat konsumen dibodohi dengan retorika pengurangan subsidi menyengsarakan rakyat. Padahal pengurangan subsidi atau penghapusan subsidi membuat laba mereka berkurang atau hilang.

Bagaimana seharusnya ?Tentu kita tidak mungkin kembali kepada sistem Orba karena itu sistem  yang tidak transfarance dan cenderung korup.Kita tetap menggunakan sistem yang telah ada sekarang namun khusus subsidi BBM dikeluarkan dari APBN. Apakah ini akan memberatkan rakyat ? dalam jangka pendek ya konsumen ( rakyat ) akan terasa mahal namun dalam jangka panjang akan murah. Karena dana subsidi itu akan digunakan untuk sektor produksi termasuk membangun kilang minyak berkapasitas 2x 500.000 barel.Apabila kilang selesai dibangun maka harga pokok BBM akan turun. Selisih kualitas minyak kita dengan minyak luar sudah bisa menutupi ongkos produksi. Pada waktu bersamaaan alangkah baiknya bila team Reformasi Tata Niaga Migas dapat merekomendasikan kepada pemerintah untuk  merevisi ketentuan mengenai acuan harga MOPS+ Alpha agar lebih tranfarance dan adil.  Merevisi Contract revenue sharing dari 85/15 gross atau belum termasuk cost recovery ,dirubah menjadi 40/60 Net.Pemerintah mendapatkan 40% dari lifting secara netto. Kalau ini dirubah maka keadilan sumber daya akan kita rasakan sebagaimana rakyat Bolivia dan Venezuela telah rasakan. Saya tahu bahwa reformasi MIGAS ini tidaklah mudah. Karena yang dihadapi oleh pemerintah Jokowi bukan hanya rakyat bodoh yang terprovokasi menolak pengurangan subsidi tapi juga pengusaha monyet, potisi monyet, lembaga keuangan monyet yang terancam bisnisnya. Selama ini mereka menikmati rente ekonomi akibat kebodohan rakyat dan ketamakan penguasa. 

Sunday, November 16, 2014

Solusi...

Suatu saat saya pernah diminta advice secara pribadi oleh teman tentang keadaan perusahaannya yang bergerak dibidang mining. Dengan data yang ada , saya sampaikan kepada dia bahwa selama ini dia tidak menjalankan perusahaan secara sehat. Perusahaan tumbuh karena ilusi. Asset meningkat bukan karena laba atau surplus tapi karena hutang. Dari setiap 100 perjualan , 40 habis  untuk membayar hutang. Padahal laba yang didapat tidak bisa lebih dari 10%. Jadi perusahaan sudah rugi ketika dia menjual. Sementara itu biaya tetap untuk gaji karyawan dan operasioanal mencapai 90% dari total biaya yang setiap tahunnya meningkat. Peningkatan biaya ini tidak dibiayai dari laba  tapi diambil dari modal. Lambat laun modal tunai sudah habis terpakai maka asset yang didapat dari hutang tidak lagi digunakan untuk produksi meningkatkan value perusahaan tapi disewakan kepada pihak luar untuk mendapatkan fee. Lambat laun tidak ada lagi sumber daya yang didapat dari hutang diolah sendiri tapi disewakan kepada orang lain untuk mendapatkan fee, ada juga yang dijual sebagian. Tentu bagaimanapun fee ini tidak akan membuat perusahaan surplus tapi defisit. Mengapa? karena penerimaannya hanya berdasarkan fee. Perusahaan kehilangan nilai strategisnya sebagai pencipta nilai tambah. Perusahaan tak ubahnya penampungan sosial bagi mereka yang malas.

Lantas bagaimana solusinya ? tanyanya. Dengan tersenyum saya katakan bahwa solusi itu ada pada dirinya sendiri. Apakah dia mau melihat kenyataan  dan bersikap untuk masa depan yang lebih baik.  Apa yang dimaksud dengan kenyataan? Tanyanya lagi. Bahwa kenyataan itu adalah perusahaan tidak akan bisa melaksanakan fungsi sosialnya bila dia tidak tumbuh karena surplus atau laba.  Tidak ada pertumbuhan karena utang tapi juga tidak bisa dihindari untuk tumbuh butuh hutang. Hutang harus bisa menciptakan laba agar mampu membayar hutang dan bukan menciptakan hutang baru lagi untuk membayar hutang. Teman itu dapat memahami advice saya. Jadi yang harus dilakukan adalah memotong anggaran biaya gaji dan operasional. Tidak ada lagi tunjangan sosial.Tidak ada lagi cuti liburan bagi manager, staf dan direksi. Diharapkan sedikitnya 20% anggaran operasional bisa dihemat. Penghematan ini digunakan untuk memperbaiki sarana produksi agar efisien dan investasi mesin untuk meningkatkan volume produksi. Disamping itu karena difisit begitu besarnya maka dia harus menggandeng investor dari luar untuk melakukan kerjasama perluasan pengolahan mining nya. Ini lebih tepat daripada dia berhutang untuk menutupi difisit.

Jadi ada tiga hal yang harus dilakukan oleh teman itu ,yaitu pertama restruktur biaya. Kedua, realokasi anggaran dari biaya sosial ke sektor produksi. Ketiga, memperluas produksi agar semakin besar potensi penerimaan. Apabila dia tidak melakukan hal yang pertama maka dia tidak akan bisa melakukan hal yang kedua. Dampaknya penjualannya akan terus tersedot sebesar 40% untuk bayar hutang. Apabila dia tidak bisa melakukan yang kedua maka tidak mungkin dia bisa menarik mitra investor karena tidak ada orang yang mau bermitra bila insfrastruktur miningnya buruk dan tidak efisien. Walau usulan ini saya sampaikan dengan tidak resmi namun dia mendengar dengan baik. Saya cepat mengambil kesimpulan karena saya mengenal teman ini cukup lama dan tentu saya paham bisnis dia. Memang berat baginya membuat keputusan yang pertama karena ini perusahaan keluarga dan hampir semua anggota keluarga bekerja di perusahaan. Mereka sudah terbiasa manja dan hidup serba mudah karena semua fasilitas tersedia walau itu semua didapat dari hutang. Namun akhirnya dia beranikan membuat keputusan. Benarlah dia dimusuhi oleh anggota keluarganya dan karyawan demo. Namun itu semua tidak merubah keputusannya. Hanya butuh waktu lima tahun setelah keputusan pahit dibuat, perusahaan berhasil bangkit dan surplus.

Ilustrasi diatas tak ubahnya dengan keadaan negara kita sekarang. Harap dimaklumi keadaan APBN sudah lampu merah karena melambatnya pertumbuhan ekonomi global yang berdampak kepada turunnya permintaan komoditas andalan Indonesia serta harga export yang terus melemah. Tentu hal ini berdampak buruk terhadap makro ekonomi dengan terjadinya gabungan difisit : perdagangan, investasi, APBN. Akibatnya nilai tukar rupiah terhadap valas sepanjang tahun 2014 melemah. Pelemahan rupiah itu membuat beban subsidi naik , beban bayar bunga dan cicilan hutang juga naik fantastik. Bahwa setiap USD 100 penerimaan devisa eksport , USD 40 habis untuk bayar hutang. 85% total anggaran habis untuk biaya rutin termasuk gaji PNS,TNI dan Polri.  Hanya menyisakan sebesar 15% untuk ekspansi perluasan investasi. Jumlah 15% ini tidak cukup untuk menghasilkan pertumbuhan. Apalagi beban hutang yang begitu besar dan difisit yang besar. Apa yang harus dilakukan Jokowi adalah tindakan rasional. Bahwa dia harus lakukan restruktur biaya. Ia harus kurangi anggaran pegawai dan anggaran subsidi. Alihkan kesektor produksi. Ini dulu yang harus dilakukan. Jangan terjebak dengan retorika politik. Jangan percaya kata pengamat bahwa banyak hal yang bisa dilakukan selain mengurangi subsidi. Itu hanyalah retorika yang sifatnya “akan” yang butuh waktu untuk dilakukan sementara kenyataannya setiap hari negara harus bayar bunga hutang Rp.300 miliar. Ini tidak termasuk cucilan. Ini tidak bisa ditunda. Bila tidak ada restruktur biaya maka terpaksa harus berhutang lagi untuk menutupi hutang.

Apabila anggaran rutin bisa dipangkas sampai 20% maka ada tersedia ruang fiskal 30% dari APBN atau sekitar Rp.600 Triliun. Ini yang disebut dengan restruktur anggaran.Anggaran tidak berkurang hanya alokasinya dirubah. Tahap kedua, penghematan  dana sebesar 30% di investasikan untuk perluasan infastruktur ekonomi ,meningkatkan modal BUMN agar semakin besar berproduksi dan semakin besar memberikan deviden kepada negara. Tahap ketiga ,dengan tersedianya infrastruktur ekonomi yang luas maka akan mendorong arus investasi lokal maupun asing disektor produksi. Pada tahap ketiga inilah penerimaan negara berupa pajak ,PNBP, Hibah akan meningkat sehingga bisa surplus untuk membayar hutang serta memperluas kemampuan nagara melaksanakan tanggung jawab sosialnya khususnya untuk membantu mereka yang duafa dan perbaikan lingkungan. Jadi, sudah saatnya kita harus punya tekad bahwa kita hanya akan menikmati tangung jawab sosial negara secara luas apabila negara surplus. Itu tugas kita untuk membuatnya surplus.Kalau kita tidak ingin asing menguasai peluang investasi di Indonesia maka kita harus didik anak kita agar mau menjadi pengusaha. Para pengusaha harus hemat dan ulet untuk mengembangkan usaha agar berkelas dunia sehingga mampu bersaing dengan asing.

Selagi budaya wiraswasta tidak tumbuh berkembang, selagi pengusaha lebih suka menjadi broker  maka jangan salahkan bila asing akhirnya menguasai sektor produksi di indonesia.  Negara tidak bisa menanti anda yang malas, dan lebih suka jadi jongos, karena setiap hari biaya yang ditanggung negara sangat besar dan setiap hari ada 10,000 bayi lahir yang harus dipersiapkan sarana dan prasrananya sementara yang belum terjangkau masih banyak. KIta sangat kaya akan SDA namun kekayaan itu berada dibawah ribuan mill tanah, diatas bukit , disamudera dan ditengah hutan belantara. Semua itu harus diolah dengan kerja keras, modal , tekhnologi serta berani mengambil resiko. Tidak ada distribusi SDA gratis, apalagi harga diskon. Kita harus berbuat, mengolah SDA itu. Bila rakyat tidak berbuat maka orang lain yang melakukan, dan negara mendapatkan pajak untuk membayar kebutuhan pemerintah mengelola penduduk yang ratusan juta ini...

Sunday, November 9, 2014

Subsidi ?

November 1967. Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan Soemitro Djojohadikusumo berkunjung ke Geneva. Mengingat pentingnya misi kunjungan ini membuat udara musim dingin itu terasa panas. Mereka datang atas undangan dari The Time-Life Corporation untuk bertemu dengan kalangan investor kelas dunia. Investor inilah yang akan menjadi undertaker kebutuhan pendanaan pembangunan indonesia menuju masyarakat sejahtera. Ketika itu yang hadir dari kalangan investor adalah  General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, tak ketinggalan David Rockefeller yang menjadi tuan rumah. Dalam pertemuan yang berlangsung tiga hari itu, pihak investor berjanji akan menanamkan dananya untuk bisnis dibidang pertambangan Migas dan Nikel ( Freeport ). Indonesia akan mendapatkan pajak, bagi hasil dari kegiatan usaha tersebut. Soemitro Djojohadikusumo menyampaikan gagasanya kepada David Rockefeller tentang design pembangunan jangka pendek,jangka menengah dan jangkan panjang. Belakangan dikenal dengan istilah Repelita. Sebetulnya gagasan yang disampaikan oleh Soemitro ini sudah dikenal luas oleh para ekonom ketika itu. Gagasan ini termuat dalam buku The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto yang ditulis oleh W.W.Rostow. Belakangan Rostow menjadi mentor para Tekhnorat ekonomi indonesia yang sebagian besar alumni Barclay University. Tahun 2003 Rostow meninggal.

Apa design pembangunan yang disampaikan oleh Soemitro?  Pada tahap awal dia sadar bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih hidup secara tradisional atau traditional society. Merupakan masyarakat yang mempunyai struktur pekembangan dalam fungsi-fungsi produksi yang terbatas. Belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi modern.Terdapat suatu batas tingkat output per kapita yang dapat dicapai. Karenanya pada tahap ini kebijakan yang diambil adalah kapitalisme yang diorganisir oleh negara atau disebut Liberalisme Sosial, yakni perlunya intervensi negara untuk mengelola pendidikan, stabilitas ekonomi (dan politik), dan mendesain sistem negara kesejahteraan. Seluruh sumber sumber penerimaan negara dikontrol penuh oleh negara. Pertumbuhan ekonomi dipicu oleh sepenuhnya peran negara. Peran rakyat hanya sebagai pelangkap. Dalam kesempatan itu Soemitro menyampaikan bahwa pembangunan harus bergerak cepat. Kalau hanya mengandalkan cash in berupa surplus penerimaan negara dari pajak dan bagi hasil tambang, indonesia akan tertinggal. Karenanya Soemitro minta agar negara Barat dan Amerika berada digaris depan memberikan bantuan pinjaman kepada indonesia seperti program The Marshall Plan yang dikenal dengan istilah the European Recovery Program (ERP) paska perang dunia kedua. Belakangan usulan ini direalisir dengan berdirinya IGGI ( Intergovernmental Group on Indonesia) dan kemudian berubah menjadi CGI ( Consultative Group on Indonesia)

Untuk diketahu bahwa ciri dari phase the traditional Society ini adalah negara mengatur supply and demand, termasuk menentukan harga barang dan jasa melalui mekanisme subsidi dan monopoli negara. Jadi by design memang tidak ada sama sekali rakyat ditempatkan sebagai key player. Rakyat hanya ditempatkan sebagai objek yang hidupnya diatur dan ditentukan oleh penguasa. Salahkah ini? Bisa ya bisa juga tidak. Karena bila proses ini dilalui dengan benar dan konsisten dimana pemerintah focus dengan teori Rostow maka sesuai Repelita jangka menengah Indonesia akan berhasil keluar dari traditional society menjadi the take off atau lepas landas. Mengapa? Dalam teori Rostow disebutkan alokasi anggaran untuk pembangunan  ekonomi  harus menjamin terjadinya keadilan distribusi barang,modal dan sumber daya. Karenanya subsidi diarahkan kepada sektor produksi bukan konsumsi. Dalam prakteknya apa yang terjadi ? Selama 25 tahun era Soeharto, pertumbuhan ekonomi yang pesat melahirkan wabah korupsi yang luar biasa sehingga teori Rostow mendistribusikan modal dan sumber daya dalam banyak program ekonomi justru dinikmati oleh segelintir orang. Konglomerasi Swasta dan Konglomerasi negara terjadi meluas dalam bentuk monopoli. Rakyat banyak tidak begitu peduli karena hampir semua kebutuhan pokok disubsidi oleh negara. Ya, liberalisme sosial sangat utopis karena bersandar kepada kemuliaan hati penguasa yang berkuasa secara totaliter. Tak banyak pemimpin yang amanah dengan sistem utopis itu. Makanya engga aneh bila pada akhirnya melahirkan negara yang diurus oleh gerombolan penjarah.

Rakyat banyak baru menyadari bahwa harga murah yang mereka nikmati selama 32 tahun era Soeharto bukanlah subsidi nyata yang diberikan dari surplus penerimaan negara tapi dari hutang. Ini dilakukan semata mata agar citra peminpin tetap tinggi dihadapan rakyat dan stabilitas politik terjaga. Jadi subsidi bukan lagi kebijakan ekonomi tapi sudah menjadi kebijakan politik, alias kebijakan menipu rakyat agar pemimpin tetap dicintai rakyat. Rezim jatuh dan berganti. Namun  semua harus ada yang bayar akibat kebijakan masalalu. Yang membayar adalah generasi anak dan cucu. Mereka harus menghadapi harga yang melambung lebih cepat dari pendapatan mereka. Era reformasi, pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY tetap menjadikan subsidi sebagai kebijakan politik,bukan kebijakan ekonomi akibatnya Indonesia tidak beranjak dari kesalahan era Soeharto. Pertumbuhan ekonomi Era SBY yang dipicu oleh kenaikan harga CPO dan Barang tambang tidak diikuti meningkatnya kemampun berproduksi, jusru terjadi deindustrialiasi karena pertumbuhan yang dipicu oleh konsumsi. Walau APBN meningkat berlipat dan GNP meningkat pesat, tapi juga diikuti oleh naiknya hutang berlipat. Sementara  distribusi modal,sumber daya  tidak terjadi meluas dan hanya dinikmati segelintir orang saja. Sektor riel menyusut dan puncaknya adalah defisit account atau gabungan defisit perdagangan dan investasi. Keadaan ekonomi paska SBY sangat mengkawatirkan apalagi dengan kurs rupiah yang terus melemah.APBN terjebak hutang sama dengan era Soeharto. Secara makro tetap terjajah.

Jokowi menyadari bahwa dia terpilih bukan karena pencitraan dan tentu diapun tidak ingin mengeluarkan kebijakan pencitraan seperti presiden sebelumnya. Dia sadar bahwa dia dipilih rakyat karena rakyat inginkan perubahan yang lebih baik. Karenanya dia siap tidak populer akibat kebijakannya mengurangi subsidi BBM dan memastikan tidak ada lagi subsidi BBM. Namun jokowi tetap akan memberikan subsidi kepada sektor produksi. Jadi apa yang  disampaikan oleh Jokowi adalah begitulah yang diajarkan Rostow.  Pastikan rakyat mampu berproduksi setidaknya memenuhi kebutuhannya sendiri sebagai dasar menjadi komunitas global. Lindungi rakyat untuk mampu bersaing dengan yang kuat. Lindungi rakyat untuk berkembang tapi jangan beri mereka kemudahan untuk berkonsumsi sehingga membuat mereka tidak terpacu untuk beproduksi. Bila Jokowi ingin mengembalikan harga sesuai dengan mekanisme pasar maka Jokowi juga harus memastikan terjadinya keadilan distribusi sumber daya dan modal. Upaya keadilan distrbusi sumber daya dan modal ini tidaklah mudah karena syarat utama adalah pemerintah harus punya reputasi bersih dan transfarance. Bila ini diterapkan maka siapapun bisa menerima karena meraka diperlakukan dengan adil, yang kaya bisa berkembang dan yang miskin tertolong. Kesempatan untuk semua dan mencari nafkah mudah tanpa harus menadahkan tangan secara langsung maupun tidak langsung lewat subsidi. Itulah tugas pemimpin...

Saturday, November 1, 2014

MIGAS dan LAUT

Joseph Stiglitz pernah berkata bahwa SDA adalah kutukan bagi Indonesia. Karena SDA itulah Indonesia selalu jadi rebutan asing. Akibatnya indonesia tidak pernah bisa merdeka dari kekuatan asing. Karena SDA itulah membuat para pemimpin hilang visi dan hilang kreatifitas untuk mandiri.  Karena SDA itulah yang membuat para elite malas dan doyan korup. Akibatnya selalu terjajah dan miskin. Betapa tidak? Di Bumi ini hanya 17% lahan yang bisa ditanami pangan, dan 42% nya ada di Indonesia.Seharusnya Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. Tapi apa kenyataannya? Indonesia hidup dari import pangan.  Indonesia mempunya SDA Gas nomor dua terbesar didunia tapi sampai hari ini PLN harus import Gas untuk kebutuhan pembangkit karena GAS yang ada dijual ke Jepang, China dan Korea.  Indonesia adalah negara konsumen kendaraan nomor 5 terbesar didunia tapi dari lima negara itu hanya indonesia yang tidak mampu membuat kendaraan dengan local content diatas 90%. Sebagian besar Kapal Modern Penangkapan Ikan yang beroperasi di laut Indonesia dikuasai oleh Asing. Negara kita kaya akan sumber daya laut namun Industri pengalengan ikan terpaksa import ikan segar untuk bahan baku produksinya. Setiap jengkal peluang yang berhubungan dengan SDA pastilah ada asing yang mengontrolnya. Indonesia hanya mendapat sedikit dan yang banyak tentu asing. Bagi Jokowi bahwa SDA itu adalah berkah Allah dan mengelolanya tidak hanya diperlukan orang pintar tapi lebih dari itu adalah orang yang bermental baik. Ia harus petarung yang handal dan mandiri.

Diperkirakan lebih dari Rp.300 triliun pendapatan sektor laut hilang begitu saja. Sementara dari sektor MIgas sedikitnya Rp.1000 triliun terjadi loss oportunity setiap tahun. Sudirman Said dipilih Jokowi sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Alumni STAN, dikenal sebagai aktifis anti korupsi yang juga pendiri MTI ( masyarakat transfransi Indonesia ). Dialah yang kali pertama mencetuskan ide pemberantasan Mafia MIGAS. Dia juga berpengalaman sebagai executive financial company. Mengapa dia ? Karena misi ESDM adalah memastikan tidak ada lagi kebocoran dan menggalang pendanaan secara mandiri melalui rekayasa pendanaan tanpa tergantung dengan private investor. Menteri Kelautan dan Perikanan diserahkan kepada Susi Pudjiastuti. Dia seorang pengusaha yang sukses dibidang Perikanan dan Penerbangan. Misi Jokowi dengan slogan Jalesveva Jayamahe, “justru dilaut kita jaya”  diserahkan bukan kepada Doktor Kelautan, bukan pula kepada birokrat tapi kepada orang "gila " yang hanya lulusan SMP namun terbukti berani gila "melawan arus” untuk sukses memanfaatkan sumber daya laut. Jokowi mempercayakan ESDM  bukan kepada insinyur Tambang sebagaimana biasanya tapi kepada Ahli Auditor dan Financial. Dari penunjukan kepada kedua orang ini jelas sekali bahwa pengelolaan ESDM dan Kelautan tidak lagi berhubungan dengan how to play tapi berhubungan dengan go to play.Kedua orang ini punya rekam jejak yang bersih dan pemain yang hebat serta diakui oleh dunia bisnis. Cukup sudah SDA kita serahkan pengelolaannya kepada orang pintar lulusan universitas terbaik tapi akhirnya jadi pasien KPK.

Hal yang tidak pernah dilakukan oleh Indonesia dibidang ESDM adalah menjadikan Indonesia sebagai player di business MIGAS. Padahal kita memiliki potensi buyer yang sangat besar dan kini termasuk konsumen migas nomor lima didunia. Kita juga memiliki potensi resource MIGAS yang sangat besar dan masuk dalam kelompok negara produsen MIGAS didunia. Dengan potensi itu anehnya Down stream Industry MIGAS tidak tumbuh. Sebagian besar kebutuhan produk derivative MIGAS kita impor.  Business jasa MIGAS seperti perkapalan , procurement ,Bunker Oil ( terminal BBM) migas tidak berkembang. Sebagian besar jasa business MIGAS kita dapatkan dari asing. Kalau ditanya mengapa business migas kita terpuruk dan akhirnya hanya menempatkan Indonesia penerima jasa bagi hasil dari kedigdayaan asing mengelola business migas.? Jawabannya adalah sumber daya MIGAS dikelola oleh orang bermental birokrat yang miskin visi business. Tentu jangan berharap program MIGAS melahirkan kemandirian disegala bidang. Karena mindset pengelolanya adalah mindset broker. Kebijakan dibuat tidak berspektrum jauh kedepan. Dapatkan hari ini habiskan hari ini.!  Dari mindset seperti inilah tumbuh mafia MIGAS. Dari hulu sampai hilir. Dari kepala sampai ekor. Dari produksi sampai distribusi. Semua mata rantai adalah sumber kebocoran yang membuat pengusaha lokal dan asing menikmati laba tak terbilang dan membuat penguasa kaya raya dari komisi dan suap. Selain itu sektor Sumber daya mineral seperti Batu Bara, nikel,emas dan lain lain harus ditingkatkan nilai tambahnya dengan memastikan terjadi pengolahan dalam negeri sehingga indonesia diuntungkan dari pajak ekspor serta memberikan kesempatan meluasnya angkatan kerja akibat tumbuhnya industri hilir dari keberadaan industri hulu barang tambang.

Juga samahalnya dengan Mafia perikanan yang bersumbunyi di balik elit birokrasi, elit partai politik, maupun oknum aparat keamanan, mulai dari urusan perizinan hingga perdagangan ikan ke luar negeri.  Dengan dukungan para birokrat dan elite politik serta aparat keamanan, mafia ini melakukan manipulasi sejak dari perizinan. Untuk mengurangi kewajiban membayar pajak/retribusi perizinan, mereka memanifulasi bobot kapal yang diajukan izin. Karena adanya ketentuan Pemerintah bahwa setiap usaha penangkapan ikan harus punya Unit Pengolahan Ikan (UPI). Tujuannya agar semua ikan yang dieksport harus melalui Indonesia. Sehingga pajak eksport masuk ke negara. Namun mereka membuat UPI abal abal untuk mengelabui hasil tangkapan yang sebenarnya. Setiap tahun, Indonesia mampu menangkap 800 ribu ton ikan tuna. Namun, yang dijual ke pasar internasional melalui pelabuhan eksport  hanya 100 ribu ton. Padahal hanya sebagian kecil yang dikonsumsi rakyat Indonesia. Ternyata, 700 ribu ton ikan tuna itu dijual ke pasar internasional melalui Thailand. Bukan rahasia umum bahwa 90% kapal berbendera Indonesia itu para ABK nya adalah asing. Artinya usaha penangkapan ikan itu sepenuhnya dibawah kendali asing.  Setiap izin satu kapal, pengusaha lokal mendapatkan fee dari asing sedikitnya USD 100,000 perbulan.  Ada ribuan kapal yang menjarah laut Indonesia. Hitunglah berapa komisi haramnya. Ini belum termasuk kerugian negara akibat penyalah gunaan subsidi BBM untuk kapal nelayan yang mencapai Rp.11 triliun pertahun. Sementara pemasukan negara berupa PNBP hanya Rp.300 miliar/tahun. Padahal satu kali melaut kapal modern itu paling sedikit nilai tangkapannya mencapai USD 2 juta ( Rp. 20 milliar).

Tugas Sudirman Said dan Susi Pudjiastuti teramat berat karena sektor MIGAS dan Perikanan dikuasai oleh MAFIA yang berpuluh tahun dari era Soeharto sampai era SBY menikmati rente business tak terbilang. Walau rezim berganti namun elite partai tidak berubah dan tentu para elite itu tidak akan mau kehilangan financial resource nya. Namun dibawah presiden dan wakil presiden dari kalangan pengusaha sukses yang bukan elite partai, kita berharap semoga bila Presidennya bersih dan bawahannya juga bersih serta sistem yang ketat dari segala tindak korupsi maka Indonesia punya harapan. We have a hope. ! 

Masa depan IKN?

  Jokowi mengatakan bahwa IKN itu kehendak rakyat, bukan dirinya saja. Rakyat yang dimaksud adalah DPR sebagai wakil rakyat. Padahal itu ini...