Sunday, January 1, 2023

Peran media massa

 




Sebelum ada sosial media mewabah. Media massa dikelola secara profesional. Peran pengawas media sebagian besar dilakukan oleh jurnalis terlatih yang, dalam situasi terbaik, berfokus pada pengungkapan fakta seputar pelanggaran hukum dan politik yang serius. Reporter Washington Pos , Bob Woodward dan Carl Bernstein lewat jurnalis investigasi berhasil mengungkapkan peran Presiden Richard Nixon dalam pembobolan di markas Partai Demokrat di Watergate Hotel. Nicon dipaksa lengser. Buku “ The Great Coverup: Nixon and the Scandal of Watergate oleh Barry Susman menjadi inspirasi bagi generasi jurnalisik berikutnya..


Tahun 2008. Tempo dan Media Indonesia berani menurunkan berita yang sangat lengkap. Hasil investitasi jurnalis hebat.  Karenanya kasus Century cepat melambung dan bubble. Sampai akhirnya jadi issue politik tingkat nasional.  Puncaknya publik menghukum PD dalam pemilu 2014. Kalah telak. Sebelumnya juga kasus Bank Bali yang diungkapkan oleh Tempo. Hasil investigasinya membuat gagal Habibie dicalonkan oleh Golkar pada sidang MPR 1999.


Media massa sebagai kekuatan ke empat berperan melakukan perubahan politik. Tampilnya Jokowi dan Ahok di panggung Politik, itu pertama kali Tempo yang mengangkat dalam laporan khusus. Dari sana orang tahu prestasi fenomenal Jokowi merevitalisasi pasar tradisional di Solo. Tanpa tindakan represif dari Satpol PP. Dia melakukan rekayasa sosial lewat dialog dengan masarakat. Hal inilah yang mendorong bangkitnya gerakan 98 dari semua elemen untuk mendukung Jokowi sebagai Gubernur DKI dan akhirnya presiden tahun 2014. Mengapa ? kemenangan Jokowi memang berkat gerakan perubahan dari kekuatan pro demokrasi yang muak dengan kartel Ex Orba. Jokowi antitesis orba, kata mereka.


Sejak tahun 2014 sosial media exist dan diikuti oleh media mainstream dalam bentuk media digital. Lambat namun pasti terjadi proses kecenderungan melemahkan tujuan ideal pers yang demokratis. Media menyebarkan konten politik dalam jumlah yang sangat besar, tetapi sebagian besar materinya sepele, tidak dapat diandalkan, dan terpolarisasi. Maklum para jurnalis ditekan oleh pemodal untuk adu cepat update berita dan diposting di sosial media agar dapat like banyak. Rating iklan diukur dari tingkat like yang ada. Untuk lebih luas masalah ini anda bisa baca tulisan  Ross Tapsell, dalam bukunya “ Media power in Indonesia: oligarchs, citizens and the digital revolution.”


Buku yang berjudul “ The Age of Perplexity: Rethinking the World We Knew,  ditulis oleh Francisco González Rodriguez ex banker menjelaskan secara utuh. Sebenarnya bukan rahasia umum, suka tidak suka, faktanya adalah Media massa dan sosial media memiliki implikasi luas terhadap model pemerintahan demokratis dan praktik politik. Mereka secara radikal mengubah cara lembaga pemerintah beroperasi dan para pemimpin politik berkomunikasi. Mereka telah mengubah sistem media politik, dan mendefinisikan kembali peran jurnalis. Mereka telah mendefinisikan kembali cara pemilu diperebutkan, dan bagaimana warga negara terlibat dalam politik.


Kalau kita sering kawatir terhadap situasi politik menjelang pemilu khususnya bangkitnya politik identitas , maka itu sebenarnya kita sudah jadi korban dari keganasan media masa era sekarang. Padahal  issue politik itu hanya retorika, bukan aksi people power yang memaksakan kehendak. Apa yang dikatakan Jokowi terhadap capres, bukanlah endorsement. Itu hanya komunikasi spontan. Jokowi tetap patuh sebagai kepala negara yang berada du semua golongan. Namun oleh media massa, apapun ungkapan Jokowi dijadikan  berita dan polemik. Cenderung bias dan terpoiarisasi. Sehingga tentu memacing para influencer yang  cari makan dari sosial media menciptakan konten yang provokatif agar mendapatkan hit dan like dari audience.


Yang berbahaya dan mengkawatirkan adalah Keragaman konten yang disebarluaskan oleh media sosial telah menciptakan peluang seperti kemampuan lebih banyak suara dan tontonan untuk didengar namun tidak mendidik orang untuk berpikir kritis. Malah mengarahkan orang berpikir kooptasi seperti apa yang diinginkan oleh influencer politik. Berbeda dengan informasi dari tulisan, dari kebiasaan gemar membaca dan punya kemampuan literasi menelaah laporan investigasi jurnalis. Mereka cenderung objektif.


Nah kalau media massa mainstream, sudah ada UU Pers dan kode etik pers. Tetapi sosial media? sampai sekarang yang dilarang adalah hatespeech dan Hoax. Sementara model pemberitaan atau konten provokatif yang mendorong orang terpolarisasi, tidak ada aturan UU nya. Padahal konten provokatif itu penuh dengan narasi saling tuduh dan saling membenci. Jelas ini tidak akan melahirkan masarakat yang menghormati nilai nilai demokratis. Bukan tidak mungkin dari polarisasi itu akan lahir gerakan politik identitas atas nama suku atau agama. Ini bahaya!


Media massa kini punya tanggung jawab besar. Seperti dulu Tempo mengangkat laporan tentang sosok Jokowi dan Ahok. Mengapa kita hanya berfokus kepada capres Puan, Airlangga, Muhaimin, Prabowo,  Ganjar dan Anies, ? karena media massa tidak lagi bekerja atas dasar investigasi jurnalistik, untuk mempersembahkan calon lain. Padahal kita punya Kepala daerah level Bupati ada 415, ada 98 walikota dan 38 Gubernur. Dari sekian banyak kepala daerah dan gubernur, pastilah sedikitnya 10% pantas dilontarkan ke panggung politik nasional. Tapi mengapa mereka tenggelam. Padahal ongkos politik menjadikan mereka pemimpin itu tidak murah. 

Mengapa ? Itulah dampak buruk dari politik oligarki. Pemimpin diciptakan oleh elite terlebih dahulu , yang kemudian dibesarkan oleh media massa, sosial media, diongkosi oleh cukong dan rakyat dapat sampah.

No comments:

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...