Sunday, October 25, 2020

Essay ekonomi Babo



Dalam teori ekonomi ada prinsip sederhana. Bahwa pertumbuhan ekonomi itu terjadi karena investasi. Dari investasi, mesin ekonomi bergerak melahirkan kemakmuran dalam bentuk penyerapan angkatan kerja dan pajak. Sumber investasi itu berasal dari tabungan domestik dan investasi asing. Kalau tabungan domestik berkurang, maka diperlukan hutang dan investasi asing. Dengan teori sederhana itu, maka kasus kegagalan Soeharto yang tergantung modal asing menjadi acuan untuk mematahkan teori pertumbuhan perlu modal asing. Atas dasar itulah muncul pendapat bahwa modal asing bukan obat mujarab untuk terjadinya pertumbuhan ekonomi. 


Sebelum saya sampai kepada pendapat peribadi saya. Sebaiknya saya gambarkan secara sederhana kebijakan ekonomi era Soeharto. Arsitek ekonomi orde baru adalah Soemitro Djoyohadikusumo. Indonesia membutuhkan modal asing agar bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kalau hanya mengandalkan cash in berupa surplus penerimaan negara dari pajak dan bagi hasil tambang, indonesia akan tertinggal. Karenanya Soemitro minta agar negara Barat dan Amerika berada digaris depan memberikan bantuan pinjaman kepada indonesia seperti program The Marshall Plan yang dikenal dengan istilah the European Recovery Program (ERP) paska perang dunia kedua. Untuk itu negara harus lead memacu pertumbuhan. Rakyat hanya sebagai pelengkap saja.


Sebetulnya konsep pembangunan orde baru itu berangkat dari teori   ekonom besar bernama W.W.Rostow. Anda bisa baca buku yang ditulisnya yang berjudul “The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto” Wajar saja bila ekonom orde baru ngefan habis dengan Rostow. Belakangan Rostow menjadi mentor para Tekhnorat ekonomi indonesia yang sebagian besar alumni Berkeley University. Teori Rostow itu dasarnya adalah konsep ekonomi dari Albert Hirschman (1915-2012), yang menegaskan pertumbuhan ekonomi lewat hutang dan investasi bisa menjadi lokomotif penyebaran kemakmuran secara luas.


Namun saya pribadi tidak percaya dengan teori Rostow dan Albert Hirschman. Mengapa? terlalu utopia. Berkeyakinan negara adalah Tuhan di dunia sama seperti konsep khilafah. Ia  pemilik SDA, sekaligus menjadi penyedia dana dan investasi sebagai lokotomotif menghela gerbong besar.  Bahwa para politisi dan pemimpin adalah malaikat yang menjadi tumpuan bagi rakyat untuk kemakmuran. Itu sebabnya konsep Albert Hirschman itu melahirkan satire dari Will Rogers, komedian AS—kemudian dikenal dengan istilah “ trickle down effect “. Satire itu sebetulnya ditujukan atas kebijakan AS pada dekade 1920an dalam mengatasi dampak dari the great depression. Bahwa uang berasal dari atas dan kemudian mengalir kepada pihak yang butuh ( Politisi dan pemimpin). KKN tak bisa dihindari. Itulah yang terjadi era Soeharto.


Tahun 2003 Rostow meninggal. Design dan konsep pembangunan ekonomi Indonesia juga terkubur sudah. Era Reformasi, lahirlah Financial Governance and Social Security Reform ( FGSSR). Dari sini UUD 45 diamandemen. Memisahkan perekonomian nasional dengan kesejahteraan  sosial. Artinya, masalah ekonomi nasional yaitu modal dan investasi ada pada publik atau individu. Sementara  masalah kesejahteraan sosial adalah tugas negara. Dari mana uang untuk keadilan sosial itu ? Ya, dari pajak. Dari mana pajak ? dari publik. Kini 85% penerimaan negara dari pajak. Dengan konsep ini tidak ada lagi dikotomi modal asing atau dalam negeri. Hutang negara bukan lagi  masalah politik tetapi murni masalah bisnis. Kalau tidak rasional, engga ada investor mau beli SBN.


Dengan demikian, kebijakan negara harus melihat modal ya modal. Mau sumbernya dari asing atau dalam negeri itu bukan masalah. Karena modal tidak ada idiologi dan tidak berpolitik. Mereka mellihat dari sisi ease of doing business index.  Kuncinya adalah regulasi investasi sebagaimana UU Cipta kerja. Benarkah? Sekian dekade China yang komunis juara menarik modal asing sebagai pemicu pertumbuhan. Arab di saat APBNnya defisit, sibuk menarik hutang dan create Soverign wealth fund agar bisa sekuritisasi aset menjadi hutang berlipat dari pasar uang global. Amerika happy saja pinjam uang dari China. Apa artinya? mau komunis , kapitalis atau agama melihat modal ya modal. Kalau masih ada ekonom terjebak dengan dikotomi modal asing dan domestik, itu karena mindset jadul. 


Berubah lah…focus sajalah kepada diri sendiri. Tingkatkan daya kompetisi dan kompetensi. Jadilah kapten atas nasip anda sendiri. Jangan lagi berpikir pemerintah seperti malaikat. Jadilah mesin pertumbuhan untuk negara dan bangsa. Kita sendiri yang menentukan masa depan itu seperti apa. Kini peluang terbuka lebar. Silahkan memilih. Mau diam dan mengeluh, mati konyol. Bergerak dan bersemangat, ada hope di sana..


Wednesday, October 21, 2020

Nasip Politik Anies.

 


Dulu awal Anies berkuasa,  setiap saya mengkritik Anies soal banjir, pasti akan diserang oleh pendukung Anies. Mereka menolak “normalisasi sungai” karena itu program Ahok yang mengharuskan menggusur mereka yang tinggal di bantaran kali. Mereka memuja program “ naturalisasi sungai” dari Anies. Yang jadi referensi adalah Singapore. Bahkan dari kalangan kampus dan pengamat ahli juga ikut menyuarakan dukungannnya, terutama soal ide buat sumur sebagai resapan air jatuh ke bumi, bukan mengalir ke laut. 


Berita Kompas kemarin , “ Pemerintah provinsi DKI Jakarta akan membongkar rumah-rumah yang dibangun di bantaran sungai. Rumah-rumah tersebut diduga menyebabkan banjir saat musim hujan. “ Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, dari Gerindra“ "Sungai-sungai, situ, embung dikeruk agar tampungannya lebih besar, kemudian dilakukan penyedotan. Upaya lainnya juga dengan sodetan, mengatur meningkatkan pompa, kita perbaiki semua. Kita pastikan semua pompa bisa beroperasi dengan baik," ujar Ariza. Seakan Ariza berkata kepada Anies, "udahan bloonnya."


Sebelumnya Anies boleh berbangga. Karena semua program yang dikerjakannya adalah program yang dijanjikannya ketika Kampanye melawan Ahok. 58% percaya program Anies dan karena itu dia juara dalam Pilgub DKI. Pendukung Anies yang sebagian besar aliansi dari GNPF MUI bersama PKS dan Gerindra boleh sesumbar  bahwa Anies lebih baik dari Ahok. Anies calon presiden masa depan RI. Tetapi setelah 3 tahun, kesadaran itu datang. Kembali kepada program Jokowi, kemudian Ahok. Soal penggusuran? Kini punya alasan sama dengan Ahok Bahwa itu harus dilakukan agar jakarta tidak banjir.


Anies bukanlah politisi. Bukan pula seorang leader yang smart dan creative. Anies hanya pandai bermain watak di hadapan pendukungnya,  baik rakyat, ormas maupun parpol. Dia tahu betul apa yang dia katakan irrasional. Namun demi peran populis menarik massa umat islam dan peran good boy di hadapan parpol, tanpa beban dia lakukan kebijakan yang anti tesis dengan konsep membangun kota secara modern dan terpelajar.  Dalam jangka pendek sikap seperti itu bisa dimaklumi. Namun kalau sampai tiga tahun tetap dengan program konyol, itu artinya dia sendiri secara pribadi engga punya idea yang lebih baik untuk jadi gubernur. Dia hanya numpang makan dengan jabatannya. Makan gratis. Padahal dalam politik, apalagi sistem demokrasi, kinerja adalah segala galanya kalau ingin tetap eksis di pilih rakyat. Semua Parpol berpikir seperti itu. 


Nasdem yang tadinya mendukung Anies kini mulai berpikir rasional. Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta, Ahmad Lukman Jupiter dari Nasdem mengkritik bahwa program rumah DP 0 persen Anies  dianggap belum berhasil. Masalah banjir tahunan, banjir seluruh Jakarta itu parah dan terparah dan sampai saat ini belum terlihat terkait normalisasi banjir yang Anies lakukan. Program OK OC sebagai andalan Anies untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat DKI, gagal total. Bahkan sekarang ini ada 24 ribu kalau enggak salah DKI Jakarta di-PHK. Belum lagi pengangguran yang tak bisa diatasi. 


Hal yang menyakitkan adalah hubungan selama ini mesra dengan DPRD kini berakhir sudah. Mengapa? sebentar lagi akan ada Pilkada serentak. Semua partai engga mau nampak sebagai pendukung Anies. Mereka engga mau dicap gagal. Kalau gagal, biarlah Anies gagal. PKS yang tadi militan membela Anies kini sudah kecewa dalam sesal karena jatah wagub untuk PKS sirna sudah. Dinamika politik cepat sekali menjelang Pilres 2024. Satu demi satu Parpol tidak lagi melihat Anies sebagai kuda putih yang enak ditunggangi. Bahkan FPI kini focus kepada HRS untuk diusung sebagai calon Presiden.


Kalaulah dari awal Anies mendengar kritik orang seperti saya, mungkin dia akan punya kinerja kinclong. Tentu dia punya bargain position di hadapan Parpol dan Ormas. Tetapi Anies lebih percaya kepada orang terdekat dia, yang walau well educated mereka tetaplah opportunis, numpang makan gratis. Kinerja jeblok, ya bad news bagi siapa saja. 

Thursday, October 8, 2020

Aksi Demo Penolakan UU Omnibus Law.


Hari ini demo menentang UU Omnibus Law berlangsung tidak tertip. Bahkan terkesan anarkis. Namun dalam kondisi terkendali oleh aparat keamanan. Lantas mengapa sampai segitunya aksi penolakan tersebut. Saya mencoba untuk melihat akar persoalannya secara politik. Tentu tidak bisa dibuktikan dengan data. Kecuali dengan logika politik. Ada tiga penyebabnya.  Saya akan uraikan secara sederhana.


Pertama. Sebentar lagi akan ada PILKADA serentak. Semua tahu bahwa setiap pilkada pasti ada pengusaha rente yang jadi sponsor kontestan yang akan bertarung. Dengan adanya Omnibus ini, sponsor tadinya semangat mendukung, sekarang mereka mundur.  Kalau sponsor engga lagi semangat mendukung, kemenanganpun menjadi sulit diraih. Berdasarkan Pasal 166 RUU Cipta Kerja menyebut Perpres bisa membatalkan Perda. Yang pasti semua PERDA yang menghambat proses perizinan investasi dan berusaha, akan dibabat habis sehingga menjadi sederhana. Partai dan ormas yang selama ini bersinergi mendapatkan dana sponsor itu pasti kebakaran jenggot. Karena tambang uang ditutup. Kepala Daerah engga lagi jadi raja kecil di Daerah.Merekalah dibalik aksi demo di setiap daerah.


Kedua, hanya 0,2% Pengusaha yang menguasai SDA kita. Mereka selama ini menikmati bisnis rente yang begitu besar sejak era Soeharto. Ada istilah dikalangan pengusaha. Pejabat di Indonesia itu seperti di Italia. Mereka kaya dari para mafioso. Makanya kekuasaan itu sangat dicari apapun ongkosnya. Para pengusaha dan birokrat sudah sangat kaya. Mereka tidak merasa malu bila kekayaan mereka tidak sesuai dengan gajinya. Tidak malu dengan korupsi yang terus meningkat, sementara rakyat semakin miskin.  UU Omnibus law ini mendobrak bisnis rente dan membuka peluang bagi siapa saja untuk bersaing secara fair. Proses perizinan sudah sangat sederhana. Sehingga eklusifitas karena akses politik bagi pengusaha jelas tidak efektif lagi menguasai SDA. Nah pengusaha rente inilah yang berada di balik aksi penolakan UU Omnibus law. 


Ketiga,  Situasi pertama dan kedua, ini dimanfaatkan oleh Politisi  oposisi,  ormas, pengusaha rente, sebagai pintu gerbang menciptakan chaos. Siapa lagi yang jadi kayu bakar, kalau bukan buruh dan Mahasiswa. Walau agenda buruh dan mahasiswa tidak jelas. Namun sikap militan mereka itu sudah terbina lama oleh patron mereka. Siapa patron mereka ? ya mereka yang anti dengan PDIP. Karena memang PDIP lah yang ada digaris depan memperjuangkan agenda Jokowi agar UU Omnibus law ini disahkan. Saat sekarang mudah melihat barisan patron itu. Misal,  KAMI, dan sikap GN yang terang terangan mendukung aksi buruh. Selagi logistik jalan terus aksi demo itu akan terus berlanjut. 


Dengan alasan tiga itu, apakah Pemeritah akan mundur? tidak. Proses penyusunan RUU ini sudah lama. Sudah jadi agenda Jokowi. Bukan lagi sekedar agenda tetapi mimpi Jokowi. Mimpi orang kebanyakan yang tidak terikat moral dan Politik  dengan rezim sebelumnya. Dia harus berjuang agar the dream come true. Setiap pemimpin harus mampu melakukan perubahan dan memberikan legacy bagi generasi berikutnya. Setidaknya dengan aksi demo ini, sosialisasi UU Cipta Kerja sudah terjadi secara luas. Jadi engga perlu lagi keluar anggaran sosialisasi UU. Sikap pasar terhadap UU ini sangat positip. Menurut BKPM ada 153 perusahaan siap invest setelah pengesahan UU Cipta kerja ini. Sebelumnya mereka wait and see.

Masa depan IKN?

  Jokowi mengatakan bahwa IKN itu kehendak rakyat, bukan dirinya saja. Rakyat yang dimaksud adalah DPR sebagai wakil rakyat. Padahal itu ini...