Sunday, September 22, 2024

Utang negara dan solusi

 






Kalau ada orang mengatakan utang Indonesia terhadap PDB aman karena masih berkisar 39%. Jauh lebih rendah dari negara lain. Itu tidak tepat. Mereka tidak paham struktur utang negara. Utang negara itu terdiri dari utang pemerintah dan utang Indonesia.  Kenapa begitu ?. Utang pemerintah dan Indonesia itu dua hal berbeda dalam akuntasi negara.


Mari kita pahami dulu struktur utang negara yang terdiri dari utang pemerintah dan Indonesia. Utang pemerintah adalah utang yang terkait dengan anggaran Pembiayaan APBN. Utang pemerintah disebut juga on balance sheet. Utang Indonesia atau bisa juga disebut utang public. Itu terdiri dari utang on balance sheet dan utang off balance sheet, yang terdiri dari utang BUMN non financial institution, BUMN Financial institution  termasuk BI.  


Berapa utang pemerintah? Data pada awal januari 2024 Rp8.264,14 triliun (angka per kuartal 4-2023). Berapa utang Indonesia atau utang public? Rp15.867,59 triliun. Yaitu utang pemerintah ditambah dengan utang BUMN di luar sektor keuangan (nonfinancial public corporation) senilai Rp1.009,95 triliun. Lalu utang BUMN sektor keuangan (financial public corporation) sebesar Rp6.593,49 triliun. 


Nah berdasakan data tersebut, mari kita Analisa dengan alat analisis. Rasio utang pemerintah terhadap PDB sebear 39%. Artinya dari 100% PDB, lebih 1/3 berasal dari utang. Nah kalau pemerintah mengatakan dan mengakui hanya utang on balance sheet, itu memang masih aman. Di bawah pagu UU. Tetapi rasio utang Indonesia terhadap PDB sebesar 75,94%. Dimana 37% dalam kondisi off balance sheet. Itu Udah diatas 60% dari pagu UU. Engga bisa dikatakan aman. 


Itu data awal tahun 2024. Yang tentu sepanjang tahun 2024 sampai tahun berikutnya jumlahnya lebih besar. Maklum utang terus nambah. Alias gali lobang tutup lobang.


Sekarang mari kita persempit Analisa utang itu lewat Debt service ratio, terutama terhadap pendapatan ekspor dan penerimaan pajak. Itu lebih objecktif. Karena terkait dengan likuiditas atau arus kas lancar. Maklum kita bayar utang kan engga pakai PDB, tetapi pakai uang cash. Entah cash nya dari tabungan atau dari utang lagi. Utang dan Bunga harus dibayar sesuai jadwal. Engga bisa telat.


Debt to export ratio.

Atau rasio utang terhadap penerimaan ekspor ( valas) untuk mengukur sejauh mana resiko utang luar negeri terhadap pendapatan ekspor. Hampir sepanjang Pemerintahan Jokowi setelah 2015 hingga 2021, DSR tier 1 menunjukkan angka yang terus meningkat yaitu berada di rentang 25 % hingga 30%. Memasuki tahun 2022, level DSR mengalami penurunan yang disebabkan oleh windfall kenaikan harga komoditas di pasar dunia. Namun dalam kondisi fluktuatif dan ketidakpastian terus berlanjut. 


Total utang Luar negeri pemerintah dan BI per juli 2024 mencapai USD 194,3. DSR Tier 1, rasio debt to export 16%. Memang masih di bawah 20% pagu IMF. Namun itu belum termasuk utang luar negeri swasta USD 220 miliar. Dan tentu tidak termasuk utang luar negeri swasta yang tidak tercatat. Maklum swasta jago create skema utang yang tersamarkan dari pencatatan BI. Kalau digabung, tentu rasio debt to export diatas 20%. Makanya walau data ekspor selalu surplus, tetapi NPI kita defisit. BI terpaksa berhutang untuk nambah cadev.


Debt to tax revenue.

Atau utang terhadap penerimaan pajak. Data dari tahun 2014 sampai tahun 2022, ratio utang terhadap penerimaan pajak mencapai 47,4%. Artinya setiap tahun hampir separuh penerimaan pajak untuk bayar utang. Mengapa? Karena tax ratio kita masih berkisar 10% something atau rata rata selama 10 tahun dibawah 10%. Negara maju punya utang terhadap PDB diatas 100%. Tetapi tax ratio mereka juga tinggi. Mengacu data OECD, rasio pajak terhadap PDB negara-negara OECD mencapai 33,5%. Jadi APBN mereka secure dari cash flow utang. Memang utang bagi mereka hanya sebagai alat leverage, bukan ketergantungan.


Solusi


Dengan memahami struktur utang negara itu, kita bisa dapatkan solusi dan tidak terlena merasa aman dan baik baik saja. Apa solusi itu ?


Pertama. Pemerintah harus focus meningkatkan penerimaan pajak. Caranya bukan menambah tarif PPN. Tetapi lewat penetrasi pajak terpusat. Misal, kalau pemerintah sudah beri konsesi bisnis,  IUP dan HGU lahan, maka jangan ada lagi insentif pajak. Kalau engga mampu bayar pajak, engga usah diberi konsesi bisnis, fasiltas IUP dan HGU. Itu juga untuk memastikan agar pemegang konsesi bisnis,  IUP dan HGU adalah real investor, bukan  broker atau komprador Asing. 


Pada waktu bersamaan, hapus semua pungutan PAD atau beragam pajak daerah yang membebani investor. Trade off nya tingkatkan DAU dan DAK. Kalau itu diterapkan. Kita bisa nambah penerimaan pajak diatas 50%. Tax ratio bisa naik dua digit. Debt to tax revenue akan sehat. Tentu defisit akan berkurang. Fiskal sehat.


Kedua. Pemerintah harus mulai serius memanfaatkan INA  ( Indonesia investment authority ) sebagai alternatif sumber pembiayaan non APBN. Kan pemerintah sudah gelontorkan PMN sebesar Rp 92 triliun. Ya INA harus bisa buktikan tugas nya sebagai sovereign wealth fund berbasis sumber daya negara. Jadi walau keterbatasan fiscal karena defisit APBN, namun tidak mengganggu expansi pemerintah untuk membangun downstream hasil laut seperti Algae dan Rumput laut. Industrialisasi mineral tambang. Proyek decarbonisasi, riset pertanian, dan perbaikan tata niaga pertanian. Ya focus kepada proyek futuristik yang berdampak langsung kepada kesejahteraan rakyat.


Ketiga. Pemerintah harus berani melakukan penyesuaian anggaran yang lebih realistis. Setidaknya memenggal 30% anggaran Kementrian dan belanja pegawai. Itu tidak akan menggangu jalannya roda pemerintahan. Toh selama ini bukan rahasia umum 30% APBN dikorup. Nah 30% itu arahkan kepada proyek yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat.


Saya tetap optimis dengan kondisi utang negara. Tentu dengan syarat optimis yang rasional. Apa itu?. Apabila  kita bersikap  dengan data, dan apapun kondisinya kita sudah tahu harus bagaimana. Karena tidak ada di dunia ini yang sulit kalau akal kita bekerja efektif. Pasti akan ada solusi. Nah dengan solusi itulah kita optimis. Tentu dengan kerja keras. Kalau melihat karakter dan niat Prabowo, tentu saya patut optimis. Karena saya memang tidak pernah lelah beharap dan mencintai negeri ini.


Demikian.


***

Saya nongkrong di CafĂ© WFH. Ada dua anak muda sedang dengan komputernya. Saya lirik mereka ngerjakan tugas. Sepertinya mereka mahasiswi. “ Keluarkan biaya depreciation dan amortisasi. “ Kata saya sepontan. Karena saya lihat dia sedang berusaha membuat Analisa leverage. Mereka berdua melirik saya yang duduk hanya sejengkal. Saya tersenyum. “ Maksudnya ? tanya salah satu wanita.


“ Itu judul diatas kan leverage operasi. Yang sedang kamu hitung itu earning before interest, taxes, depreciation, amortization atau istilahnya EBITDA “ Kata saya. Dia perlihatkan soal. Saya baca dan tersenyum. Pintar dosen buat cerita dalam studi kasus.


“ Kalau berdasarkan soal ini, jadi gimana pak ngitungnya "tanya mereka.


“ Mana pulpen kamu. “ kata saya. Saya tulis rumus leverage “ Rumus ini untuk mengetahui sejauh mana laba perusahaan mampu membayar utangnya. Nah tentu biaya penyusutan dan amortisasi engga dimasukan. Kan engga berdampak kepada arus kas. Itu hanya catatan saja. Agar lebih tajam informasi yang akan kita dapat, unsur bunga dan pajak juga jangan dimasukan. “ Kata saya lanjut selesaikan soal dengan total hutang berbanding terbalik dengan EBITDA.


“ Nah dari soal ini, Rasio leverage EBITDA 6 kali. Artinya total utang 6 kali dari kemampuan perusahaan menghasilkan laba kotor.“ kata saya setelah selesai menjawab soal.


“ Sekarang, informasi apa yang kita dapat dari data leverage EBITDA ini? Tanya saya. INi penting karena masuk ke level mengerti agar bisa di apply dalam kehidupan nyata mereka kelak.


Mereka menyimak. 


“ Perusahaan tidak akan bisa menyelesaikan utangnya. Sedikit aja penjualan drop, habis value perusahaan. Itu penyebabnya, karena terlalu besar biaya tetap, sementara biaya variable yang memompa pendapatan rendah. Kebanyak asset dibeli dari utang namun tidak produktif. “ kata saya. Mereka menyimak.


“ Negara juga sama. " Lanjut saya. " Perhatikan. Utang pemerintah Rp. 8500 triliun lebih. Sementara pendapatan pajak Rp. 3000 triliun. Artinya rasio leverage sebesar 2,8 kali. Itu menurut IMF rentan sekali. Jauh dari standar IMF sebesar 1,5 kali. Tetapi kalau kita masukan unsur utang off balance sheet negara seperti utang BUMN non perbankan, Bank BUMN dan BI, totalnya jadi Rp. 15.000 triliun. Levege nya sebesar 5 kali. Itu engga sehat. Sampai kapanpun engga akan bisa bayar utang. Tahu apa sebab? Tanya saya.


“ Karena biaya tetap besar dan utang tidak diarahkan kepada sector produktif “ kata mereka. Saya acungkan jempol dan tersenyum. Itu artinya kalau mereka paham akar masalah, tentu mereka paham bagaimana solusinya. “ nah masih banyak leverage ratio yang bisa jadi alat untuk menganalisa value saham dan korporat, seperti debt terhadap capital, asset, equity multiflier dan lain lain” Kata saya.


“Wah kalau begini jadi menarik belajar akuntasi.” Kata salah satu mereka.


“ Bahasa bisnis itu adalah akuntansi. Orang bisnis di semua negara di lima benua, menggunakan Bahasa yang sama dalam berbisnis. Makanya kalau kalian mau terjun ke bisnis tetapi tidak mengerti akuntasi, itu sama saja kalian buta dan bisu. Engga berkembang. Hidup dalam dunia kalian sendiri. Tidak akan ada interaksi dalam kemitraan dengan bank dan stake holder lainnya. Pasti kalian tidak akan mungkin bisa menikmati mystery of capital. Paham ya. “ kata saya.


“ Bapak dosen ?


“Bukan. Saya pedagang sempak” kata saya berlalu.


Tuesday, September 17, 2024

izin ekspor sedimen laut

 



"Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya. Yang dibuka itu sedimen, sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal. Sekali lagi bukan, kalau diterjemahkan pasir, beda lho ya," kata Jokowi di Menara Danareksa, Jakarta Pusat, Selasa (17/9). Dalam aturan Mendag yang mengacu PP No. 26 Tahun 2023, pasir laut dengan spesifikasi pasir alam yang berasal dari pembersihan hasil sedimentasi di laut adalah yang memiliki ukuran butiran D50 kurang dari 0,25 mm atau D50 lebih besar dari 2,0 mm. 


Saya tidak tahu sejauh mana Jokowi mendapatkan informasi lengkap terhadap program dibukanya kembali izin ekspor Pasir laut. Padahal sudah 20 tahun dilarang. Karena alasan yang disampaikan Jokowi tidak tepat. Mengapa ?


Pertama. Sedimen itu merupakan faktor fisik penting dari lingkungan laut. Zat dasar laut, yang juga dikenal sebagai substrat, yang sangat  penting sebagai fondasi sekaligus produk dari lingkungan atau ekosistem. Jadi engga bisa dibuang karena alasan mengganggu alur kapal. Itu kerja alam. Risiko ekologis yang sangat besar dari exploitasi sedimen, seperti kematian karang, degradasi hutan bakau, dan abrasi pantai.


Kedua. Katanya Potensi sedimentasi laut sekitar 23 miliar meter kubik [812 miliar kaki kubik] per tahun. Yang jadi pertanyaan adalah apakah benar potensi sedimen sebesar itu? Kalau benar? Dimana aja lokasinya? Sampai kini belum ada penelitian ilmiah yang bisa menjamin potensi itu. Hanya perkiraan saja. 


Artinya potensi ekonomi sebesar itu belum pasti, namun yang pasti Singapore adalah pihak yang paling diuntungkan, dan bisa saja China juga akan ambil peluang sebagai buyer. Bisa jadi rencana pembukaan izin ekspor pasir dengan alasan sedimen itu memang by order dari asing. Jangan jangan pejabat yang ada dibalik keluarnya izin ini dapat cuan engga kecil. Maklum pada sedimen itu terdapat bukan hanya pasir tetapi juga unsur mineral lain, yang punya nilai ekonomi tinggi dan penting untuk downstream industri.


Yang pasti lingkungan rusak. Karena tidak ada jaminan izin diberikan sesuai dengan aturan. Nikel saja yang sudah jelas dilarang ekspor mentah. Nyatanya 5 juta ton lebih di ekspor mentah ke China. Kasusnya engga jelas. Dari Beacukai sampai Pemda saling buang badan. Fakta selama ini kita gagal mengatasi dampak lingkungan dari adanya ekstraksi mineral. Semua aktifis lingkungan seperti Greenpeace sudah mengingatkan bahaya kerusakan ekosistem. Bahkan World economic forum sudah juga mengingatkan.


“ Mungkin ada Menteri atau pejabat yang ngarang cerita kepada Jokowi dan sekaligus cari muka sebagai solution provider mengatasi APBN yang difisit. Maklum, potensi pertahun 23 miliar meter kubik dengan harga per meter kubik Rp 180.000. Itu jumlahnya engga kecil. Masalah defisit APBN bisa diatasi, bahkan utang luar negeri bisa dilunasi cepat. Tapi ngayal.” Kata teman. Saya hanya menghela napas. 



Tuesday, September 10, 2024

Scam Dapen.?

 





Tadinya sumber daya penerimaan negara itu hanya dari pajak. Namun karena kebutuhan dan keinginan bertaut untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daripada laju pertumbuhan populasi. Belanja lebih besar daripada pendapatan pajak. Terpaksa pemerintah harus berhutang. Hutang terbagi dua. Satu utang sovereign. Utang G2G atau G to MI (Multilateral institution) dan satu lagi utang SBN. Utang kepada public lewat pasar uang.


Yang jadi masalah adalah  utang sovereign semakin sulit karena alasan politik. Tidak mudah mendapat persetujuan dari DPR. Apalagi system multipartai. Ketergantungan kepada utang public lewat SUN semakin besar. Namun kalau utang SBN sepenuhnya bergantung kepada pasar, juga beresiko terjadi volatilitas Yield. Yang bisa menurunkan nilai asset (SUN) di market.  Maka, dibentuklah captive market. Yaitu lewat sistem jaminan sosial.


Dengan system jaminan sosial, tenaga kerja, Kesehatan, perumahan. Dana public berupa iuran mengalir ke dalam system jaminan social dan SUN menyerap dana jaminan sosial ini. Artinya, dana jaminan sosial yang terkumpul lewat iuran ini, ditukar dengan SUN berbunga.  Sekilas keliatan bahwa negara memberi bunga atas dana publk yang terkumpul ini. Dan tentu menambah dana manfaat dari program SJSN.


Pengalaman di AS dan Eropa yang sudah lama menerapakan system Jaminan sosial, iuran atau premi atau saving terus naik dari waktu ke waktu. Seperti yang juga terjadi di Indonesia pada dana BPJS Kesehatan, BPJS Tenaga kerja, Dana Tapera dan Dana Haji. Apa pasal? Pemerintah engga bisa bayar SUN saat jatuh tempo. Bisanya bayar lewat tukar SUN baru alias gali lobang tutup lobang. Bahkan bayar bunga pakai SUN juga. 


Tanpa anda sadari, sebenarnya SJSN adalah cara lain pemerintah menarik uang public atau dianggap sebagai bagian dari penerimaan pajak. Ini idea dari Milton Friedman sang bapak neolib. “ Tarik dana public lewat SJSN dan kemudian tutup lewat SUN”. Mirip skema ponzy.


Sebenarnya UU sudah mengatur badan hukum Lembaga Dapen dan Dana Jaminan sosial. Dimana ada wakil pekerja pada Lembaga itu. Nah seharusnya wakil pekerja harus tegas kepada pemerintah saat dana itu disalurkan kepada SUN “ Kita harus tahu pasti bahwa dana untuk SUN itu benar benar bisa menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kinerja ekonomi. Sehingga dunia usaha terus tumbuh dan sanggup undertake SJSN dan tidak ada PHK.”

 

Tapi nyatanya peran wakil pekerja kalah dengan kekuatan politik dan SUN tetap menyerap dana jaminan social. PHK terus terjadi dan dunia usaha bangkrut. Bahkan sebagian kecil portfolio dana jaminan sosial  yang disalurkan kepada saham emiten, malah sebagian besar saham itu jadi deadduck. Ya dana murah dan murah, cenderung terjadi moral hazard akibat akhlak rendah. Kalau ditotal utang negara lewat SUN jaminan sosial ini sangat besar namun tidak tercatat sebagai utang pemerintah, namun dianggarkan dalam APBN pembayarannya dan APBN dari utang juga.


***


Dana pensiun itu dalam dunia investasi dikenal sebagai sumber dana murah dan mudah. Karena ia bersumber dari potongan upah pekerja yang sifatnya berdasarkan UU adalah wajib. Saat sekarang upah pekerja dipotong 4 persen dan pemberi kerja 10,24 persen hingga 11,74 persen. Hitung aja. Berapa juta pekerja  PNS, Swasta, BUMN yang kena wajib potongan upah untuk dana pension. Dana terkumpul setiap bulannya tidak sedikit. Semakin lama semakin besar akumulasinya. 


Ya namanya uang mudah. Tentu jadi magnit bagi bendahara negara dan swasta untuk memanfaatkannya sebagai sumber pembiayaan. Walau sebagian besar Dapen ditempatkan pada SBN, namun kasus skandal terus terjadi. Kita ambil contoh kasus Asabri sebesar  Rp22,78 triliun lenyap, Jiwasraya Rp16,81 triliun; serta adanya indikasi investasi fiktif di dana Taspen sekitar Rp1 triliun. 65% Dapen BUMN bermasalah. 


Memang prinsip program dana pensiun itu ideal kalau sesuai dengan UU SJSN. Namun faktanya kita engga tahu. Apakah masih utuh uangnya atau berkurang. Karena sudah lazim neraca Dapen terdapat unrealized loss terhadap investasinya. Itu jelas suspect. Jangan jangan udah deadduck.


Kini pemerintah mulai siap siap mengeluarkan PP tentang program pensiun tambahan di luar program jaminan hari tua (JHT) dan jaminan pensiun yang telah dilaksanakan oleh BPJS, Taspen, dan sistem jaminan sosial nasional.  Artinya potongan upah akan bertambah. Tentu wajar kalau kita berprasangka bahwa uang dapen yang ada itu sudah menyusut. Nah agar tetap bisa membayar pensiun maka perlu ditambah potonganya. Ya semacam ponzy scam


OJK telah mengeluarkan POJK Nomor 8/2024. Dimana dana pension  hanya bisa dicairkan pokoknya 20%. Sisanya dibayar setiap bulan selama 10 tahun. Memang aturan itu tidak berlaku jika manfaat pensiun setelah dikurangi 20% berjumlah kurang dari Rp1,6 juta per bulan, atau nilai tunainya kurang dari Rp500 juta, maka dana tersebut boleh dicairkan sekaligus. Timbul lagi prasangka buruk. Mengapa? 80% itu dalam bentuk produk anuitas yang diperoleh dari perusahaan asuransi. Tidak ada jaminan pasti menambah dana manfaat. Bisa aja berkurang atau hanya sebesar pokok. Artinya walau jumlah yang diterima utuh tetapi dalam 10 tahun secara PV sudah susut. 


Apakah skema dana pension kita adil? Mari kita lihat di China. Dapen mereka sederhana aja. Yaitu ada dua program pensiun, yaitu pensiun sosial dan pensiun umum. Pensiun sosial merupakan potongan upah pekerja setiap bulan. Pensiun umum dibayar setiap bulannya oleh pemberi kerja. Ketika pensiun, dana pensiun sosial ditempatkan di rekening pribadi. Jumlah yang sudah pasti itu dibagi 139 angsuran ditambah bunga. Disamping itu juga dapat uang pensiun umum, yang mereka terima setiap bulan sampai mereka meninggal. Jadi ada pemisahan tegas. Uang dari potongan upah dan uang dari pemberi kerja. 


Di Indonesia, pemerintah tidak merasa bersalah kalau salah urus terhadap Dapen. Karena pekerja hanya bayar 4% dari upah. Sisanya sebesar 11,7 % adalah pemberi kerja. Nah uang pensiun yang dibayar pemberi kerja sudah dianggap seperti setoran negara bukan pajak. Sehingga seenaknya kelola. Kalau terjadi moral hazard, uang lenyap karena skandal, tinggal buat aturan tambahan dana pension. Entahlah…

Monday, September 2, 2024

Teori konspirasi ?

 



Saya bertemu dengan teman. Dia bicara panjang lebar tentang teori konspirasi. Banyak sekali referensi dia. Semua buku yang dia baca tentu terkait dengan pembenaran teori konspirasi itu. Saya teringat kata orang bijak. Anda akan menemukan pembenaran kalau anda menginginkanya. Tetapi itu bukan kebenaran. Dari abad pertengahan sayap kanan politik menuduh kaum pemuja setan, iluminati sedang berusaha menguasi dunia. Sebenarnya hanyalah rasa kawatir semakin meluasnya pemikiran secular, yang anti gereja.


Tahun 80an paska perang dingin, ekonomi Eropa barat dan AS tumbuh pesat. Saat itu berkembang teori konspirasi keberadaan elite global yang ingin menguasai dunia dengan jargon New World Order. 90% negara yang kaya SDA dalam keadaan miskin. Sementara Eropa dan AS makmur melimpah karena penguasaan SDA negara miskin. Sampai tahun 2000an AS dan Eropa lead dalam hal financial, investment, trade, industry  and tourism. Namun tahun 2008 dipicu oleh skandal Lehman dan Krisis Subprime Mortgage. Wallstreet terguncang.Krisis terjadi di jantung kapitalisme. 


Sejak tahun 2008 krisis meluas sampai ke zona Eropa dan terus berlanjut ke ASIA. Krisis belum tuntas diatasi, muncul global imbalance akibat semakin membesarnya ekonomi China dan semakin tergantungnya Industry global terhadap supply chain dari China. Semakin membesarnya putaran uang di sektor moneter daripada sektor real. Semakin rentanya ekonomi suatu negara terhadap faktor eksternal. Kemudian berlanjut kepada krisis perang dagang antara China dan AS.  Belum tuntas diatasi, muncul Pandemi COVID 19.  


Pandemi berlalu, berganti dengan adanya goncangan moneter global akibat kebijakan taper tantrum the fed sebagai kelanjutan dari Quantitative easing. Era suku bunga tinggi berlaku. Dunia mengalami krisi likuiditas. Perang mata uang berlanjut. Terjadi krisis geopolitik. Perang Rusia-Ukraina. Dan sampai kini dunia terjebak dalam proses economic adjustment. Dari pasar bebas menjadi pasar protektif. Dari ekonomi pasar menjadi market regulated. Pertumbuhan ekonomi melambat dan pengangguran meningkat. Dunia suffering dan rakyat painful.


Pertanyaan sederhana dan logis adalah, kalaulah memang benar teori konspirasi itu, mengapa tidak bisa mengatasi krisis? Oh para elite global itu bukan elite politik. Mereka adalah group private yang mengendalikan pemerintah. Mereka sengaja menciptakan krisis agar mereka semakin kaya. Mau kaya gimana? Pasar menyusut dan nilai uang menyusut. Tentu yang rugi duluan adalah mereka. Tapi data menunjukan disaat krisis orang kaya semakin kaya. Yang kaya itu bukan private pengendali TNC dan MNC Holding, tetapi oligarki yang menikmati rente dari hasil state capture. 


Jadi kesimpulannya, teori konspirasi yang menyebut pihak anonymous sebagai mastermind dibalik terjadinya krisis dan ketidak adilan,  itu hanyalah ilusi. Terlalu jauh melihat. Padahal musuh sebenarnya sangat dekat. Mereka adalah elite politik yang mengatur hidup anda atas nama populisme dan pada waktu bersamaan membonsai spirit inovasi, kreatifitas dan akal sehat anda agar mau digiring ke bilik suara untuk memilih mereka berkuasa.  Nah di tengah ketidak pastian ekonomi itu, mereka menciptakan ilusi tentang masa depan dan kemiskinan pada hari ini. Pahami itu.

Negara puritan tidak bisa jadi negara maju.

  Anggaran dana Research and Development ( R&D) Indonesia tahun   2021 sebesar 2 miliar dollar AS, naik menjadi 8,2 miliar dollar AS (20...