Friday, June 12, 2020

Persepsi COVID-19


Saya telp teman di New York. Pertama kali saya tanyakan kesehatannya. Jawabnya dengan santai. “ I am OK.” kemudian dia tambahkan.” keluarga saya, teman saya, tetangga saya, anjing saya, semua baik baik saja.” Saya sempat heran. Mengapa dia konfirmasi soal teman temanya, keluarganya bahkan anjingnya. “ Kalau kamu ingin tahu betapa mengerikan COVID-19 itu, maka bacalah media massa. Tetapi kalau kamu inginkan kebenaran, lihatlah orang terdekat kamu.  Hidup saat sekarang memang sulit. Kalau saya melihat di luar jangkauan saya, itu sama saja kebodohan yang sia sia, apalagi sampai panik. Lebih baik saya focus kepada orang terdekat saya saja. “ Katanya lagi.

Saya pernah dapat WA dari nitizen yang menggambarkan betapa bahayanya COVID-19. Bahkan dia lampirkan tayangan orang sekarat dijalanan akibat COVID-19 dan juga berita mengerikan jumlah kematian. “ Apakah keluarga kamu baik saja.? Teman kamu, tetangga kamu?  apakah mereka semua baik baik saja. Apakah ada yang masuk rumah sakit dan meninggal karena COVID-19. “ Saya tanya balik ke dia. Dia tidak menjawab seketika.  Akhirnya dia menjawab juga “ Ya semua baik baik saja.” Nah artinya memang benar bahwa COVID-19 itu berbahaya terhadap kesehatan. Tetapi tidak mengerikan seperti cerita. Angka kematian karena covid-19 itu rendah sekali. Jauh lebih tinggi angka kematian karena TBC, jantung, atau kecelakaan di jalan. 

Tetapi angka kematian akibat selain COVID-19 tidak membuat mental kita menciut dan paranoia seperti kasus COVID-19.  Tidak membuat orang berhenti merokok. Tidak membuat orang berhenti naik kendaraan. Semua dianggap biasa saja. Lantas mengapa COVID-19 sesuatu yang sangat istimewa? Karena ia sering dibicarakan. Kalau ingin survey. 90% pembicaraan di sosial media berhubungan dengan COVID-19. Bahkan jalur pribadi seperti WA, juga dipenuhi dengan cerita COVID-19. Dalam ilmu komunikasi, semakin sering suatu topik dibicarakan maka itu akan jadi persepsi dengan sendirinya. Anehnya akan semakin bias dan cenderung absurd. Dan anehnya lagi dalam situasi ketidak pastian itu orang cenderung paranoid dan protective. Berusaha ingin menjadi perfectionist.

“ Saya tidak percaya media massa. Saya tidak percaya politisi. Mereka meminta kita menghindari COVID-19 dengan kebijakan sosial distancing atau lockdown tetapi mereka tidak menjajikan apapun bahwa saya akan aman dari segi kesehatan atau financial.  Faktanya yang ada pemerintah mengamankan kebiijakannya untuk mengeluarkan stimulus dan memastikan perusahaan tidak bangkrut dan perbankan sehat. Tidak ada kaiatnnya dengan saya pribadi. Lantas mengapa saya harus membiarkan orang lain mengatur hidup saya. Kita semua tahu bahwa covid-19 itu hanya bertahan selama 3 minggu di tubuh kita. Kalau kita sehat dan daya tahan tubuh kita bagus, virus itu akan mati dengan sendirinya. Sekarang lebih dari 1 bulan pandemic COVID-19 itu terjadi. Mungki saya atau tetangga saya, atau teman saya sudah kena. Tetapi sampai sekarang kami baik baik saja.” Kata teman di New York. 

Setelah itu saya dapat telp dari Huangzhou dari direksi saya. Dia mengatakan. “ China sekarang benar benar happy. Di dalam negeri kami bisa terbang kemana saja. Engga ada lagi larangan terbang domestik. Bagaimana dengan negara kamu?”  Saya hanya terdiam. Data statistik perdagangan China baru baru ini dirilis. Ternyata justru di tengah pandemic COVID-19 China mencatat surplus perdagangan lebih dari USD 65 miliar. Indusri dan manufaktur melipat gandakan produksi menuju recovery. Mengapa ? karena di tengah pandemic saatnya untuk meningkatkan daya saing. Ini peluang melakukan lompatan jauh disaat negara lain diam di rumah. Setidaknya 90% kini kebutuhan pasar domestik China dikuasai oleh produk lokal. Karena negara lain sedang tiarap.” Ya beda persepsi beda pula hasilnya. 

No comments:

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...