Wednesday, June 10, 2020

Politik dan pembunuhan.



Pada pagi buta,, Jasir Hadibruto Komandan Brigade Infrantri IV membawa Aidit ke Bojolali seteleh berhasil ditangkap dalam operasi penggerebekan ditempat persembunyiannya di Solo. Di kabupaten inilah disuatu tempat Aidit di eksekusi mati tanpa proses pengadilan apapun. Dia hanya dapat perintah dari Panglima Kostrad ( Soeharto ) untuk membereskan Aidit. Ketika bertemu Soeharto pada tanggal 24 November 1965 di Gedung Agung Istana Kepresidenan Yogyakarta, dengan nada polos Jasir bertanya kepada Soeharto “ Apakah yang bapak maksudkan dengan perintah mem-bereskan memang seperti itu “. Soeharto tidak menjawab. Seperti biasa Soeharto hanya tersenyum. Ketika Aidit dieksekusi mati dia masih resmi menjabat sebagai Menko dan Wakil Ketua MPRS.

Aidit adalah tokoh kunci PKI. Dia adalah Ketua Umum PKI ketika itu. Yang merupakan partai nomor empat terbesar di Republik ini. Sepak terjangnya melawan penjajahan tidak perlu diragukan. Dia bersama Suroto Kuntho, Subadio Sastrosatomo dan Wikana adalah otak di balik penculikan Soekarno dan Hatta. Mereka membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk memaksa memproklamirkan kemerdekaan setelah Jepang diketahui kalah dalam perang dunia kedua. Soekarno menolak dipaksa. Namun  dari merekalah Soekarno punya keberanian memprolamirkan kemerdekaan. Keesokan harinya jam 10 Pagi Proklamasi dikumandangkan bersama para pemuda militan yang diantaranya adalah Aidit. 

Dua bulan setelah Proklamasi kemerdekaan di bulan September Aidit bersama Tan Malaka menjadi motor utama terjadinya rapat raksasa di lapangan IKADA. Ketika itu di lapangan Ikada di pagar betis oleh tentara Jepang dengan senjata terhunus kearah massa. Pada saat itulah meloncat keatas panggung dua orang pemuda yang memimpin massa untuk terus bergerak. Salah satunya adalah Aidit. Dia membuktikan komitmennya ketika memaksa Soekaro memprolamirkan kemerdekaan. Bahwa dia bukan pemuda kaleng kaleng. Sejarah menutup kisah tentang Tan Malaka dan Aidit   dalam episode eksekusi mati. Mereka mati tanpa proses pengadilan dari negara yang mereka bela sejak usia belia. Semua mereka yang berjuang ketika merebut kemerdekaan, saya yakin adalah orang yang tulus. Karena tidak ada pamrih yang diharapkan dalam bentuk harta dan kekuasaan. Dan lagi ketika mereka berjuang, tingkat ketidak pastian sangat besar. Itu benar benar Vivere pericoloso alias bonek.

Namun setelah Indonesia merdeka. Keadaan jadi lain. Harta, tahta dan wanita begitu jelas berkilau dari Istana Merdeka. Dalam sistem kekuasaan yang terpusat,  entah itu kerajaan ataukah Republik, semakin tinggi jabatan semakin besar peluang jatuh dan tentu sangat besar peluang menjatuhkan. Membunuh atau terbunuh.  Mengapa? karena pada politik ada kekuasaan yang menjanjikan harta dan kemewahan hidup dengan status terhormat. Ambisis pribadi nafsu tak terkendali kadang membuat orang menghalalkan segala cara.  Kita tidak bisa mengutuki kematian Aidit atau Tan Malaka yang dieksekusi mati tanpa proses pengadilan atau Jenderal yang disiksa dan gugur dalam peristiwa G30S PKI. Itu bagian dari permainan politik yang hanya dua, membunuh atau terbunuh. Setiap orang yang masuk dalam lingkaran kekuasaan dengan sistem politik semacam itu sangat menyadari resikonya. Dunia politik ketika itu adalah rimba belantara dalam ekosistem saling menghabisi. Biasa saja. Engga usah lebai. Sejarah tercipta oleh penguasa. Anda tidak akan menemukan sejarah ditulis tanpa persepsi terlebih dahulu.  Kebenaran sejarah adalah subjectif. Karena sejarah adalah juga bagian dari ornamen politik yang menghiasi kehidupan sosial dan politik. 

Kado terindah dari abad ini adalah lahirnya demokrasi bebas dan kemudian diikuti hadirnya sosial Media. Ini memungkinkan empat pilar kekuatan politik berperan efektif. Sehingga apapun menjadi terang benderang. Politik tidak bisa lagi dilakukan dengan cara bisik bisik. Rapat di DPR dilakukan secara LIVE.  Apapun riak politik sangat mudah diterjemahkan rakyat, dan bahkan narasi agama pun mudah dipahami sebagai sebuah ornamen politik. Dan semua pemain politik sangat menyadari bahwa mereka akan dihukum lima tahun sekali oleh rakyat yang memilihnya. Tetapi setidaknya di era sekarang mereka yang tersingkir dari arena politik  tidak harus mati terbunuh. Paling apes kena KPK dan menikmati kehidupan istimewa di penjara dan kalau bisa bersabar, masih ada peluang menikmati kebebasan. Kalau engga, ya stroke. Jadi bego sebelum mati.

No comments:

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...