Tuesday, March 7, 2023

Lahan kawasan Tanah Merah Plumpang.

 




Tanah Merah adalah nama kawasan untuk daerah yang meliputi tiga kelurahan, yaitu Rawa Badak Selatan, Tugu Selatan, dan Kelapa Gading Barat, total luas 163,5 hektare. Sengketa lahan sudah ada sejak era Soeharto. Warga yang digusur pada tahun 1990-an, melakukan gugatan ke PN Jakarta Pusat dan dimenangkan. Lalu terjadi banding ke Pengadilan Tinggi oleh pihak tergugat dan akhirnya kasasi ke MA yang memutuskan bahwa lahan tersebut adalah lahan negara yang dicadangkan. Mengapa ? Pertamina sendiri tak bisa menunjukkan bukti kepemilikan yang sah terhadap Tanah Merah. 


Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) tidak ada istilah tanah milik Negara, yang ada adalah tanah yang dikuasai Negara.  Pasal 2 UUPA memungkinkan pemerintah memberikan KTP kepada warga yang tinggal di lahan itu, seperti yang dilakukan oleh Jokowi saat Gubernur DKI. Itu juga dasarnya terbitnya PERDA DKI No. 7/2010 tentang Bangun Gedung untuk dasar gubernur memberikan IMB kawasan. Bahkan  memungkinkan juga mendapatkan sertifikat asalkan memenuhi prosedur “Permen Argaria 9/1999”. 


Apa artinya ? rakyat yang tinggal diatas lahan yang dikuasai negara  itu sah. Bagaimana dengan Pertamina? itu juga legal. Yang tercatat sebagai HGB Pertamina adalah 14 hektare yang terbangun menjadi Depo yang awalnya hanya 3,5 hektare. Ya sama sama legal. Tentu tidak bisa salah satu merasa berkuasa. Toh bagaimanapun itu lahan yang dikuasai negara. Lantas masalahnya apa? Masalahnya ada pada peruntukan lahan itu yang tidak jelas. 


Mengapa saya katakan tidak jelas? Dari sejarah pembebasan lahan itu tahun 1960an, memang peruntukannya untuk DEPO Pertamina.   Tidak untuk tempat hunian. Ingat dulu Pertamina bukan Persero tapi Badan Negara yang melaksanakan penugasan pemerintah. Tapi setelah reformasi status Pertamina berubah jadi Persero, lembaran negara atas peruntukan lahan itu tidak ada.  Lahan itu tidak masuk aset negara (PMN) yang di transfer ke Pertamina. Makanya pengadilan mengatakan itu lahan yang dikuasai negara bukan dikuasai PT. Pertamina. Atas dasas status tanah itu, saya tidak yakin Pertamina punya izin HO ( UU Gangguan), yang mewajibkan Pertamina membuat jarak aman dengan tempat hunian dan kewajiban warga harus menjauh dari kawasan DEPO.


Sementara entah gimana ceritanya, setelah reformasi di sekitar kawasan tersebut tidak hanya berdiri permukiman warga. Melainkan juga ada hunian mewah Gading Kirana, Villa Permata Gading, Koramil, serta banyak bangunan lain yang statusnya sama dengan hunian warga saat ini. Kalau mau diusut, saya yakin ini akan jadi benang kusut. Kasus yang tak berujung. Karena mafia tanah bersama birokrat dan elite politik ikut bermain diatas status lahan ini. Yang lucunya, yang disalahkan rakyat jelantah. Sementara warga kelas menengah yang kuasai mayoritas lahan ini aman saja dan tidak disebut penyerobot tanah negara.? Tetapi kepada rakyat kecil disebut penyerobot tanah negara? 


Tapi, oklah. Itu masalah sudah terlanjur yang engga perlu dibahas apalagi sampai dipolitisir. Saya kagum dengan sikap Jokowi  dan Ma’ruf Amin yang menyarankan agar DEPO BBM Pertamina di relokasi segera. Menteri BUMN Erick Thohir (Etho) telah memutuskan. Bahwa, Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina Plumpang, Jakarta Utara dipindahkan ke lahan milik PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Pembangunan depo BBM baru itu diperkirakan mulai akhir 2024. 
Lagian apa kata dunia, Indonesia masuk G20 tapi Depo BBM ada di ibukota.  Singapore aja Bunker nya di pulau reklamasi. Kalau kebakaran tinggal siram pakai air dari kapal. Tidak perlu ada korban sia sia. Sudah saatnya kita membangun secara modern dan memanusiakan manusia.

Bagaimana dengan warga ? sebaiknya warga tanah merah yang jadi korban kebakaran DEPO Pertamina, dibuatkan RUSUN, dan kawasan yang kumuh ditata agar bersih dan sehat. Jangan pula setelah Depo di relokasi ke lahan reklamasi Pelindo, mereka yang sudah tinggal puluhan tahun digusur dengan alasan relokasi pula. Kemudian lahan dikuasai developer. Janganlah. Rakus itu engga baek. Ingat, bahwa tanah itu berfungsi sosial, bukan melulu komersial. Apalagi lahan yang dikuasai negara. 

No comments:

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...