Sunday, March 12, 2023

Korupsi dan politik machiavellian

 



Berawal dari kasus FS yang membunuh ajudannya. Seakan FS kunci pembuka kotak Pandora. Dari sana bergulir kepada kasus Narkoba petinggi POLRI. Melengkapi data PPATK yang menyebut angka Rp. 150 T transaksi mencurigakan yang ada dilingkaran POLRI. Kasus ini diiringi dengan suara uang menguap dari kasus Asuransi dan investasi bodong pengelola Koperasi simpan pinjam, yang diduga mencapai Rp. 500 triliun. Dan menjadikan salah satu hakim agung kena OTT KPK karena terima suap membebaskan pengelola koperasi KSP.


Kemudian berlanjut dengan kasus kekerasaan putra pejabat DJP. Menkeu yang dianggap bersih ternyata pejabat eselon 3 punya uang tunai ratusan miliar di beberapa rekening di bank dan juga di safe deposit box bank. Pejabat Bea cukai di Yogyakarta hidup hedonis. Menjadi mantap setelah Kantor Menko Polkam mengumumkan ada transaksi mencurigakan Rp. 300 triliun di lingkungan kementerian keuangan. Ini jelas bukan korupsi. Sama dengan Judi online. Tapi TPPU. SMI menyikapinya dengan menggandeng Kantor Menko Polkam dan PPATK untuk membersihkan Kementerian Keuangan. 


Kasus terus berdengung. Menteri BUMN, melaporkan beberapa Dapen BUMN tersangkut saham gorengan Emiten, yang terindikasi merugikan negara Rp. 9,8 triliun. Belum selesai sampai disitu. Tanpa jeda, Etho kerjasama dengan kejaksaan agung membongkar kasus korupsi BUMN. Dijawab oleh Jaksa agung, dalam waktu dekat ini akan ada dua kasus besar korupsi BUMN. Angkanya mungkin gigantik. Sebagian besar Bandara yang dibangun berkelas international jatuh grade menjadi bandara domestik. Kasus lack management. Benarkah ? KPK mengatakan bahwa sebagian besar jalan Toll dibangun terindikasi korup. Mereka memanfaatkan dana talangan pembebasan lahan dari APBN, dan sebagian besar pemilik konsesi yang sudah selesai jalan tollnya, belum mengembalikan  dana talangan itu ke APBN. Semakin membuktikan bahwa pembangunan infrastruktur era Jokowi tidak punya tata kelola yang baik.


Terakhir LBP mengatakan bahwa ada 7,5 juta hektar lahan sawit tidak masuk hitungan bayar pajak. Karena hasil audit, data yang dilaporkan beda dengan data yang sebenarnya. Kasus ini mungkin ini akan bergulir tentang angka uang yang berputar dan mencurigakan dilingkungan kementrian pertanian dan perindustrian, juga kementerian keuangan.  


Saya melihat kasus ini terbuka karena Media massa yang membongkarnya, dan diviralkan oleh nitizen lewat sosial media. Apakah mungkin tahun politik, sehingga media massa terus tiada henti membahasnya dan terus viral di media sosial. Lucunya kasus yang cukup besar nyerempat petinggi Nasdem di proyek BTS tidak begitu viral, apalagi kasus Tower transmisi PLN yang melibatkan keluarga JK. Sementara Kasus kebakaran DEPO BBM Pertamina di Plumpang dijadikan amunisi menjatuhkan Anies. Tetapi dengan cepat dianuliir sendiri oleh Jokowi dan Ma’ruf Amin agar relokasi DEPO itu ke Lahan Pelindo. Dan ditegaskan oleh Meneg BUMN. Setuju relokasi. Apalagi Etho menyalahkan direksi  dan komisaris Pertamina yang tidak melaksanakan perintahnya dua tahun lalu agar benahi Depo Pertamina.  Anies juga yang menang.


Jangan kaget kasus ini semua menciptakan persepsi pentingnya arus perubahan.  Dan itu memang jargon nya Koalisi Perubahan yang mengusung Anies. Kalau kasus demi kasus terus bergulir dan viral, akan sampai pada titik “ Pilih capres asal bukan dari partai koallisi pemerintah.” Nah kan. Itu target akhir yang mudah dibaca. Akan jadi gerakan apokalipso kalau ditunggangi agama. Saya tidak sedang bicara soal teori konspirasi dibalik viralnya berita yang menjatuhkan akuntabilitas dan kredibilitas pemerintahan Jokowi. Saya hanya mempertanyakan. Mengapa berita itu cepat sekali viral? Wajar ditanya. Karena peniup kasus ini paling kencang justru adalah anggota kabinet Jokowi sendiri dan orang dekat Jokowi seperti Etho, LBP dan Mahfud MD. Lucunya dari ring kekuasaan Jokowi, relawan, influencer, elite politik partai koalisi pemerintah, memilih diam saja. Padahal reputasi Jokowi juga adalah reputasi partai koalisi yang mendukung pemerintahan Jokowi. 


Saya jadi ingat kala Trumps mencalonkan diri sebagai Capres AS. “ Kasus konspirasi yang membeli kekuasaan di AS bukan lagi rahasia, tetapi tidak bisa dibuktikan. Namun faktanya ekonomi AS terus menurun kekuataannya. Kalau Trumps punya data soal konspirasi menyangkut dana triliunan dollar, itu biasa saja. Engga hebat amat. Yang hebat, dengan kekuatan media massa dia bisa menggiring wartawan kepoan terhadap pejabat negara. Sekali pejabat salah omong, jadilah berita dan lewat program IT algoritma hit and  access berita itu mudah diviralkan oleh media sosial. Saat viral politisi menangguk di air keruh. Semakin viral lah.” Kata teman.


Saya tidak melarang hak demokrasi Anies mencalonkan dan dicalonkan sebagai Capres. Yang saya tidak suka adalah kalau proses politik itu menggunakan cara yang tidak sehat. Benar, masalah korupsi di pemerintahan itu sangat menjengkelkan rakyat. Benar rakyat marah. Tapi korupsi itu bukan hal baru. Sudah terjadi sejak era Soeharto. Belum ada satupun presiden terpilih bisa memenangkan perang terhadap korupsi. Sama halnya belum ada presiden yang sukses memenangkan perang menghapus kemiskinan. Kalau alasan korupsi perlunya perubahan, itu tak ubahnya dengan politik machiavellian. Melakukan segala cara untuk menang. Tapi apa mau dikata. Itulah demokrasi. 


No comments:

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...