Kontribusi konsumsi rumah tangga sebesar 55% terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (PDB). Apa saja konsumsi rumah tangga itu ? termasuk sandang, perumahan, bahan bakar, dan sebagainya. Artinya kalau konsumsi rumah tangga meningkat, maka tentu pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat. Dari angka 55% itu, peningkatan konsumsi rumah tangga harus lebih tinggi daripada pertumbuhan PDB. Nah sejak tahun 2012 sampai sekarang pertumbuhan konsumsi rumah tangga selalu dibawah angka pertumbuhan ekonomi. Istilah nya declining welfare. Artinya setiap tahun bukannya terjadi peningkatan kesejahteraan tapi malah menurun. Kita engga maju, malah mundur. Mengapa ?
Menurut Center of Economic and Law Studies, diperkirakan bahwa inflasi di Indonesia dapat mencapai 7-7,5% hingga akhir tahun. Padahal, rata-rata kenaikan upah minimum hanya 1% di tahun ini. Jadi, jika penghasilan yang dimiliki masyarakat tidak sejalan dengan inflasi, daya beli rumah tangga rentan minus hingga 6%.
Sebenarnya tanpa melihat data formal, kita bisa melihat fakta lapangan. Dari sejak tahun 2012 tren nya semakin sepi dan sepi. Kini sebagian besar Mall di Indonsia sudah seperti gudang kosong. Sepi pembeli. Walau memang terjadi perubahan tren belanja ke online, terutama kalangan middle income. Namun perubahan penurunan daya beli rakyat kecil sangat significant dibandingkan dengan peningkatan belanja online, yang meningkat 20%/ tahun. Nyatanya kini tren belanja online juga turun.
Apa artinya ? APBN dari tahun ke tahun terus naik jumlahnya. Itu karena adanya pertumbuhan ekonomi. Tapi pertumbuhan ekonomi lebih banyak dipicu oleh investasi swasta maupun pemerintah yang tidak terkait langsung dengan peningkatan pendapatan rumah tangga. Atau pertumbuhan ekonomi lebih banyak karena faktor investasi yang non tradable seperti real estate, pertambangan dan infrastruktur ekonomi, business rente.
Disamping itu memang pertumbuhan ekonomi tidak efisien. Bisa karena korupsi dan ketidak mampuan Aparat pemerintah mengelola APBN/D. Sehingga waktu habis, tapi tidak efektif. Ini disebut dengan rasio ICOR ( Incremental Capital Output Ratio). Semakin tinggi ICOR semakin tidak efisien. Tahun 2016 ICOR tercatat sebesar 6,73%, 2017 (6,95%) 2018 (6,72%), 2019 ( 6,88%), 2020 turun hingga -15,09%, kemudian pada 2021 kembali meningkat di kisaran 8%, dan pada 2022 sebesar 6,2%. Artinya misal ICOR 8%, maka setiap 1% PDB meningkat, diperlukan investasi 8%. Benar benar tidak efisien. Harusnya PDB naik 1%, investasi juga 1%. Yang mirisnya adalah Rasio ICOR yang tinggi itu mengindikasikan terjadinya moral hazard. Antara eksekutif, yudikatif, legislatif bersinergi dengan pengusaha. Mereka menjalankan skema korupsi grey area.
Jumlahnya korupsi jenis ini lebih besar daripada korupsi sekedar sunat APBN/D atau terima suap. Ia membuka peluang mark up proyek infrastruktur lewat skema KPBU, sehingga waktu BOT semakin lama. Bailout utang BUMN lewat PMN. Mengalirkan dana pensiun ke saham gorengan. Maraknya ilegal mining, transfer pricing, tax avoidance dan tax evasion. Dana idel masyakat menguap lewat Investasi bodong, money game dan judi online. Uang itu tidak mengalir ke sektor real yang menampung angkatan kerja dan tentu tidak meningkatkan pasar domestik. Uang digelapkan lewat pasar modal, pasar uang, di safety box bank dan di property. Ya modus tindak pidana pencucian uang. Itu lebih buruk dari korupsi.
Sementara karena lemah daya saing, buruknya struktur industri domestik, produksi tidak efisien dan harga jual mahal. Apalagi dipicu oleh inflasi. Sudah sulit dijangkau kelas menengah dan bawah. Kalau daya beli menurun, bukan berarti kebutuhan menurun. Kebutuhan tetap ada. Rakyat kelas bawah memenuhi kebutuhan akan sandang dari thrifting yang harganya murah dan kualitas bagus. Dan juga memberi peluang bagi pedagang kecil jualan thrifting untuk bertahan hidup. Namun solusi itu dinyatakan melanggar hukum, sementara pemerintah sendiri engga ada solusi. Rakyat memang by design ditindas. Mau gimana lagi. Sabar aja.
No comments:
Post a Comment