Monday, February 27, 2023

Amanah Reformasi dikudeta oligarki

 




Sebenarnya sejak di amandemen UUD 45 tahun 2003, kita sudah menerapkan idiologi terbuka dan demokrasi terbuka. Ini semua keinginan dari pejuang reformasi yang berhasil menjatuhkan Soeharto. Tapi tidak banyak orang paham. Bahwa itu bukan sekedar reformasi, tetapi adalah juga revolusi politik. Dari sistem totaliterian ala Orba,  menjadi demokrasi terbuka. Itu sangat drastis perubahannya. Tapi perubahan itu dalam perjalananya dikudeta oleh partai dan elite. Mengapa? mari saya jelaskan secara sederhana.


Pertama, kita tidak punya lagi GBHN. Jadi setiap calon presiden harus punya agenda jangka pendek dan menengah yang bisa dijual kepada publik. Capres harus punya kemampuan menterjemahkan agendanya dalam narasi politik yang bisa dimengerti orang awam. Itu disampaikan setahun sebelum pemilu,  melalui media massa dan sosial media. Nah seharusnya survey Elektabilitas didasarkan pada questionary yang berkaitan dengan agendanya. Jadi ukurannya bukan popularitas tetapi elektabiltas atas dasar kualitas gagasan. Dengan demikian lembaga survey sudah ikut mencerdaskan rakyat. 


Kedua, kita menganut Pemilu langsung. Presiden dipilih langsung. Legitimasi kekuasaan presiden sangat kuat. Termasuk memilih anggota kabinet. Seharusnya dalam menyampaikan gagasannya, capres menyebutkan siapa saja calon anggota kabinetnya. Publik pun dapat menilai gagasan itu secara utuh. Yang dinilai bukan hanya idenya tetapi juga, apakah anggota kabinet yang ditawarkan capres itu qualified atau tidak. Artinya publik bisa menilai antara gagasan dan team yang akan membantu tugas presiden ada korelasinya. Alias nyambung. Nah seharusnya lembaga survey menentukan Elektabilitas atas dasar anggota kabinet dari capres.


Ketiga, kita menganut sistem  proporsional terbuka. Anggota DPR bukan lagi diplih oleh partai tetapi dipilih langsung oleh rakyat. Pemilih melihat photo caleg ( DPR) dan asal partainya. Seharusnya anggota DPR tidak bisa diberhentikan kecuali oleh pengadilan akibat perbuatan pidana, dan tidak bisa partai menggantikannya dengan kader lain. Dengan demikian ada pertanggungan jawab dan hubungan emosional antara caleg dengan DAPIL nya. Tapi karena UU memungkinkan Partai memberhentikan Anggota DPR, maka setelah caleg terpilih, mereka tidak peduli dengan rakyat memilihnya. Mereka focus melaksanakan agenda partai. Jadi elektabilitas partai tinggi tidak menjamin partai itu hebat. Caleg hebat tidak menjamin caleg itu akan amanah kepada rakyat.


Sistem konvensi.

Seharusnya setiap partai mengadakan konvensi calon Presiden. Pesertanya bukan hanya kader partai tetapi juga umum. Partai bukan saja mencetak kader pemimpin tetapi juga membukan peluang  siapapun anak bangsa bisa menjadi president.  Mereka disaring lewat panitia seleksi. Siapa yang berkualitas, maka dia akan masuk putaran kompetisi lewat konvensi. Disitu publik melihat mereka berdebat di TV dan media massa, media sosial. Nah disini peran lembaga survey menentukan untuk melakukan pooling siapa yang terbaik, akan mendapatkan tingkat elektabilitas tinggi. Yang tertinggi akan diadu dengan capres dari partai lain lewat Pemilu.


Dewan Perwakilan Rakyat dan DPD

Seharusnya Caleg anggota DPR itu sebagian besar berasal dari anggota DPD yang sudah sukses memperjuangkan Daerah yang diwakilinya di tingkat nasional. Jadi apabila mereka jadi anggota DPR, pemahaman tekhnis mereka berkaitan dengan kepentingan lokal sudah mumpuni. Tentu UU yang berkaitan dengan kebijakan nasional dibergai sektor pasti berbasis kepentingan lokal namun berspektrum nasional. Tapi yang terjadi dalam praktek, Caleg DPR dipilih karena popularitasnya. Makanya jangan kaget bila kita punya anggota DPR dan DPD tidak semua berkualitas negarawan. Kemampuan riset mandiri mereka rendah sekali, dan itu karena miskin literasi.


Kesimpulan.

Apa yang terjadi pada sistem demokrasi kita? sebenarnya bukanlah demokrasi dalam arti dari rakyat untuk rakyat. Bukan. Demokrasi kita dikudeta oleh sistem oligarki partai. Mereka membuat aturan dengan simbol demokrasi tetapi esensinya adalah tiran, dalam bentuk group oligarchi atau meminjam kata kata Prof Jeffrey Winters, demokrasi indonesia menjelma menjadi “ untamed ruling oligarchy’ ( oligarki penguasa yang liar’.).” Lucunya rakyat yang tingkat literasinya rendah, mau saja masuk dalam drama yang dicreate oleh untamed ruling oligarchy, yang didukung oleh lembaga survey, influencer, media massa, cukong. Maka jadilah lembaga survey Capres seperti kontes Indonesia idol. Orang banyak dipaksa berkiblat kepada tokoh dan memujanya secara bigot. Hilang akal sehat, pastinya.




No comments:

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...