Tuesday, December 17, 2019

Omnibus Law, mungkinkah?



Mungkin anda bertanya tanya, mengapa presiden seakan tidak berdaya menghadapi situasi ekonomi yang terkesan dikuasai oleh kelompok itu itu saja. Padahal Jokowi sangat tahu siapa mereka. Anda tahu kan bagaimana Jokowi hanya mampu melakukan moratorium terhadap pembukaan lahan baru untuk kebun sawit tanpa ada keberanian mengubah UU yang sesuai dengan tututan keadilan lahan bagi rakyat dan memastikan lingkungan terjaga. Mengapa Jokowi terkesan tidak berdaya dengan Gubernur yang begitu arogan dengan kebijakannya, walau kebijakan itu tidak sejalan dengan visi presiden. Semua tahu bahwa rendahnya investasi di sektor real karena regulasi yang menghambat. Tapi begitu banyak regulasi diubah tetap saja menghambat. 

Begitu banyak pertanyaan kita dalam kebingungan, tetapi kita tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti. Yang pasti kita selalu berpikir Jokowi sedang cari celah untuk melangkah cepat. Sebetulnya bukan cari celah. Memang tidak ada celah untuk bergerak cepat. Regulasi kita membelenggu kita sendiri. Selama ini, banyak pejabat pemerintah yang takut menggunakan diskresi dalam mengambil kebijakan terkait otoritasnya. Karena antara UU Administrasi Pemerintah dan UU Tipikor itu ada konflik,.  UU Tipikor tidak melihat esensi dari kebijakan yang dibuat. Sementara UU adminstrasi pemerintah yang utama esensinya. Makanya jangan kaget banyak kepala Daerah kerja seperti robot aja. Takut membuat diskresi. APBD habis, hasil engga jelas. Namun dapat predikat WTP

Kita ambil contoh sederhana. Kasus reklamasi Pantai Utara Jakarta. Ahok itu bekerja melaksanakan Visi Jokowi sewaktu Jokowi jadi Gubernur DKI. Dia nekat. Dia tabrak semua regulasi yang menghambat investasi dengan cara mengajukan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta serta Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).. Tetapi tetap saja DPRD menolak. Padahal tinggal sekali ayun langkah selesai urusan membangun tanggul raksasa Jakarta. Tanpa perlu dana dari APBN. Itu karena konflik dengan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) atau UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Pertanyaanya adalah kalau sudah tahu begitu banyak aturan yang bertolak belakang dan saling menjerat, mengapa tidak diubah UU itu. Untuk mengubah UU itu tidak mudah. Proses pembahasan di DPR panjang sekali. Periode pertama Jokowi, DPR menghabiskan anggaran lebih dari Rp 30 triliun hasilnya hanya 84 UU. Padahal banyak peraturan perundang-undangan kita yang diproduksi pada 1980-1990-an atau bahkan dari zaman penjajah Belanda yang menjadi penghabat kita bergerak maju. Itu belum dihapus. Belum lagi perubahan UU yang ada agar sesuai dengan iklim investasi.  Nah, kalau perubahan itu dilakukan oleh DPR satu persatu, maka sampai akhir periode ke dua Jokowi, tidak akan ada perubahan. Kita akan masih stuck.

Nah jawaban atas pertanyaan tersebut diatas adalah melalui UU Omnibus law. Omnibus law juga dikenal dengan omnibus bill. Konsep ini sering digunakan di Negara yang menganut sistem common law seperti Amerika Serikat dalam membuat regulasi. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus. Jadi bisa juga disebut UU sapu jagad. Sehingga semua aturan yang menghambat bisa langsung diubah tanpa perlu lagi minta persetujuan DPR. Cukup dengan satu UU Omnibus  yang disahkan DPR maka presiden sudah berkuasa melakukan apa saja. Mungkinkah ? Program Omnibus Law sudah diajukan bulan september dan diharapkan sebulan selesai. Tetapi molor jadi bulan januari tahun depan. Kita liat nanti. Apakah Jokowi kalah dengan 9 Parpol dari 9 naga? 


No comments:

Negara puritan tidak bisa jadi negara maju.

  Anggaran dana Research and Development ( R&D) Indonesia tahun   2021 sebesar 2 miliar dollar AS, naik menjadi 8,2 miliar dollar AS (20...