Wednesday, December 4, 2019

First Travel, harta disita negara.



Dua hari lalu teman bertanya kepada saya, “ mengapa asset first travel disita negara. Padahal asset itu didapat dari hasil menipu calon jamaan umroh. Kejam sekali negara ini atau jangan jangan ini permainan aparat hukum. Sementara Pemilik First Travel sudah terbukti bersalah dan divonis hukum pidana 20 tahun dan 18 tahun penjara. Hari ini ada nitizen bertanya hal yang sama. Sebetulnya kasus First travel ini bukan hal yang aneh. Hanya saja menjadi aneh karena persepsi masyarakat terhadap hukum berbeda dengan hukum itu sendiri.

Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Depok dan dikuatkan Mahkamah Agung dalam putusan kasasi Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018, bahwa berdasarkan Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP barang-barang bukti tersebut dirampas untuk Negara. Pasal itu dikenakan kepada terpidana karena terbukti sah melakukan tindak pidana Penipuan juga terbukti melakukan tindak pidana Pencucian Uang.

Pasal Pencucian uang terbukti di pengadilan. Pertama, uang didapat dari sumber penipuan. Kedua, untuk menyamarkan asal usul uang dari hasil penipuan, uang dari rekening perusahaan (First Anugerah Karya Wisata) dialihkan ke rekening pribadi atas nama terdakwa. Pengalihan ini dilakukan secara formal perusahaan. Seakan ada transaksi real. Ketiga, kemudian uang itu digunakan untuk investasi di luar negeri dan membiayai kehidupan yang glamour.

Dari fakta persidangan itu, semua harta itu tidak ada kaitannya lagi dengan Perusahaan, First Anugerah Karya Wisata, yang melakukan penipuan. Itu semua harta pribadi dari terdakwa. Makanya sesuai UU pencucian uang harta itu disita negara. Sementara tuntutan perdata atas uang jamaah itu atas nama First Anugerah Karya Wisata. Harta perusahaan udah engga ada lagi. Apa yang mau dikembalikan?

Pertanyanya adalah mengapa Jaksa mendakwa dengan pasal pencucian uang? Mungkin kalau di bawa ke pasal penipuan murni, akan sulit menjerat terdakwa. Karena hubungan antara terdakwa dan calon jamaah yang jadi korban itu murni perdata. Artinya, kalau dibawa ke ranah pidana, itu pasti kalah di pengadilan. Kemungkinan boss First travel bebas. Maklum operasi First Travel itu dihentikan oleh negara , dan diproses hukum karena melawan negara, bukan karena delik aduan dari jamaah sebagai korban.

Lain hal apabila First Travel itu digugat pidana dan perdata oleh korban, yang hanya ada satu orang saja. Nah kalau menang di pengadilan, harta itu akan dikembalikan ke pihak korban. Tapi dalam kasus ini kan jamaahnya ribuan. Engga mudah memprosesnya. Bisa bisa bebas tuh terdakwa dan uang tetap tidak bisa kembali.

Semua kasus pencucian uang, tidak pernah uang dikembalikan kepada pihak yang kena tipu. Seperti kasus Bernie Madoff di AS, yang menipu ratusan ribu jamaah Gereja, sebesar USD 63 miliar, hartanya disita negara dan tidak ada yang dikembalikan kepada jamaah. Mengapa ? kalau jamaah dilibatkan dipersidangan, selalu Jaksa gagal menggiring terdakwa ke dalam penjara. Padahal tugas Jaksa memastikan Bernie Madoff masuk bui. Karena dia melawan negara. Itu juga yang dilakukan Jaksa dalam persidangan terhadap boss First Travel.

Lantas gimana dengan nasip ribuan jamaah yang jadi korban penipuan First travel, yang tidak berhak atas harta milik pribadi dari terdakwa dan kini harta itu sudah menjadi bagian harta negara ? Kalau Jamaah yang jadi korban menggugat negara di pengadilan, dipastikan kalah, kecuali UU Pencucian uang dibatalkan.

Jadi solusinya hanya satu, Pemerintah dalam hal ini menteri agama seyogianya mem-bailout kerugian jamaah, karena mereka percaya kepada First Travel atas dasar izin usaha yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama. Itu aja. Itupun tidak mudah. Karena UU perbendaharaan negara tidak boleh uang APBN dipakai untuk bailout kerugian akibat izin usaha yang diberikan pemerintah. Kerugian perbankan saja yang bailout adalah LPS, bukan negara.

No comments:

Negara puritan tidak bisa jadi negara maju.

  Anggaran dana Research and Development ( R&D) Indonesia tahun   2021 sebesar 2 miliar dollar AS, naik menjadi 8,2 miliar dollar AS (20...