Thursday, June 24, 2021

Politik Identitas.?

 





“ Engga peduli apakah ia kucing hitam atau putih asalkan dia bisa menangkap tikus. “ Kata Deng Xiaoping ketika berceramah di Balai rakyat. Secara tidak langsung Deng mengumumkan Revolusi kedua dimulai. Sebalumnya, selama sekian dekade sistem politik China orang dipaksa untuk mengenal kucing hitam. Hanya kucing hitam yang dianggap mampu menangkap tikus. Tetapi 25 juta orang mati kelaparan. Deng memperkenalkan kucing putih selain kucing hitam sebagai dogma baru. Ada pilihan. Dari sana komunisme tidak lagi menjadi idiologi tertutup tetapi telah menjadi idiologi terbuka.  Rakyat bebas mendifinisikan komunis selagi mereka bisa mandiri.


Apa yang terjadi di China adalah revolusi akal sehat yang sebenarnya itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Eropa. Pada 21 Januari 1793 kepala Raja Louis XVI dipenggal dengan guillotine dalam Revolusi Prancis. Sejak itu dogma Gereja sebagai endorsement raja dibuang ke tong sampah. Akal sehat dikedepankan. Kemudian pada akhir abad ke-18, terjadilah revolusi Industri di Inggris. Tanpa ada revolusi Politik, tidak mungkin terjadi revolusi industri yang berbasis sains. 


Tapi kemajuan Eropa karena sains ditatap sinis oleh Dinasti Turki Usmani yang berkuasa atas Eropa timur dan Timur Tengah. Pada perang dunia pertama. Koalisi Perancis dan Inggris meruntuhkan Khilafah Turki Usmani. Runtuh karena fatwa ulama mengharamkan senjata modern dan sains. “ Mentor sejati kita dalam hidup adalah sains. Jika suatu saat kata-kata saya bertentangan dengan sains, pilihlah sains.” Demikian kata  Mustafa Kemal Atatürk yang terkenal. Kata kata itu menjebol road block agama kaum fundamentalis. Mengapa ? Dukungan ulama kepada Sultan hanya melahirkan kemegahan Istana Topkapi dengan ratusan kamar para selir. 


Idiologi tertutup selalu dengan jargon rakyat kecil dan Tuhan. Dengan alasan rakyat kecil, komunisme berhak menguasai segalahal dan kemudian membaginya diantara kamerad partai. Dengan alasan agama, khalifah berkuasa atas nama Tuhan dan kemudian membaginya diantara keluarga dan teman seiman saja. Kalau karena itu lahirlah kapitalisme dan nasionalisme, maka itu adalah koreksi akibat kegagalan komunisme dan negara agama dalam memimpin kemajuan peradaban. 


“ Yang lucunya, komunisme itu sama dengan politisasi agama.” Kata teman.


“ Samanya apa?


“ China era Mao, rakyat dipaksa mengenakan pakaian seperti yang dikenakan bapak Mao. Itu identitas komunisme di China. Menentang identitas sama saja menentang idiologi. Politisasi agama juga sama, yaitu memaksa orang mengenakan pakaian sebagai identitas agama. Dalam islam, yang tidak mengenakan gamis dan baju muslim dianggap tidak kaffah islamnya. Sebenarnya keduanya sama saja. Menjajah hak individu sebagai makhluk freewill. Padahal peradaban berkembang baik karena sains. Dan sarat utama sains adalah kebebasan.”


Ya, kalau dalam hal pakaian saja tidak ada kebebasan, mana pula bisa berpikir bagaimana pergi ke bulan apalagi buat telp selular 5G.  Mari berubah kearah yang lebih baik. Tinggikan agama namun tetaplah membumi. Jangan sibuk dengan hal yang remeh. Sibuklah dengan hal besar. Hal besar itu adalah bisnis. Bagaimana menciptakan kemakmuran di bumi agar keimanan tidak perlu dipertanyakan.


Paham kan sayang.

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...