Tuesday, March 30, 2021

Fenomena PKS

 




Tahun 80an ada tokoh Masyumi yang sangat tidak disukai oleh rezim Soeharto. Dia adalah Muhamad Natsir, mantan Perdana Menteri era Soekarno. Pada tahun 1967, dia mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Kemudian di era Soehato, DDII mendirikan Lembaga Mujahid Dakwah yang dipimpin oleh Dosen ITB Ahli Fisika bernama Imaduddin Abdulrahim. Dari Masjid Salman ITB lah asal muasal gerakan agama di kampus yang kemudian melahirkan Lembaga Dakwah Kampus disetiap universitas. Perkembangan yang pesat ini juga karena peran Soeharto yang terus menekan gerakan islam sehingga mendorong lahirnya gerakan kaum terpelajar dari kampus. Sementara pada waktu bersamaan HMI lebih memilih bergandengan dengan rezim Soeharto.


Selema era Soeharto. LDI sengaja menjauh dari segala aksi turun ke jalan menentang Soeharto. Jadi tidak ada mahasiswa LDI yang masuk bui atau diculik oleh rezim Soeharto. Mereka lebih focus melakukan program pendidikan kepemimpinan dan dakwah kepada mahasiswa. Namun tahun 1998 setelah gerakan pro demokrasi Megawati mendapat angin dari rakyat untuk menjatuhkan Soeharto, LDI ambil peluang ditikungan dengan mendirikan KAMMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Selanjutnya KAMMI menggerakan semua kadernya di kampus untuk turun kejalan menuntut reformasi dan jatuhkan Soeharto. Setelah Soeharto jatuh, bulan Juli 1998, para elite KAMMI mendirikan PK atau partai keadilan.


Tapi pada Pemilu 1999, PK hanya dapat suara 1,36% atau 7 kursi di DPR. Maklum ketika itu, rakyat Indonesia sedang euforia kepada PDIP yang dianggap berjasa dan digaris depan menjatuhkan rezim Soeharto. Kekalahan ini menimbulkan faksi di dalam PK. Sehingga elite KAMMI yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin berhasil memegang posisi pimpinan, dan mengganti PK menjadi PKS. Tentu dengan platform baru, beda dengan awal didirikan yang condong kepada Masyumi. PKS mengukuhkan diri sebagai partai kader. Pada Pemilu 2004 PKS berhasil meraup suara 7.34% dari total perolehan suara nasional. Pada Pemilu tahun 2009 PKS menempati urutan ke empat partai besar.


Namun pada Pemilu 2014 suara PKS turun jadi 6,79%.  Yang menggerus suara PKS adalah karena PKS menyatakan sebagai partai terbuka pada tahun 2008. Kekuatan akar rumput yang merupakan ormas menentang keras, termasuk HTI yang aktif menggembosi suara PKS. Turunnya suara PKS tahun 2014,  berdampak pada tergusurnya gerbong faksi yang beraliansi ke IM, yang diaggap gagal mesosialisasikan PKS sebagai partai terbuka.   Kepemimpinan Anis Matta, PKS kembali solid dan focus mengkukuhkan diri sebagai partai terbuka dan terus dipertahankan  oleh penggantinya. Pileg 2019, PKS berhasil menaikan perolehan suaranya jadi 8,21%. 


PKS berpartisipasi di 230 pada Pilkada seretak tahun 2020. PKS menang di 120 daerah. Dalam Pilkada serentak juga berkoalisi dengan beberapa partai, termasuk dengan PDIP. Bahkan PKS juga mendukung calon kepala daerah yang kristen, seperti di Simalungun dan lainnya. Sejak PKS menjadi partai terbuka, saya seperti membayangkan dulu Soekarno pernah menerapkan ide NASAKOM ( Nasionalis, Agama, dan Komunis), yaitu sebuah ide menggabungkan  semua barisan nasional dalam satu gerbong. Namun akhirnya gagal. Karena kelompok islam dan Komunis ogah dipimpin oleh Nasionalis. 


Menurut saya yang paling berjasa mereformasi PKS dari partai berbasis dakwah dan tertutup menjadi partai terbuka adalah Anis Matta, dan itu tentu berkat dukungan ahli dari Soeripto mantan Petinggi BIN. Entah mengapa sejak keluar dari PKS, malah Anis Matta bersama Fahri Hamzah justru membuat partai sendiri yaitu Partai Gelombang Rakyat (Gelora). 


Charta Politika melakukan survei terkait elektabilitas partai. Hasilnya?  PKS masuk lima besar partai atau urutan keempat, menggeser Golkar dan Nasdem. Dalam survey tidak ada peningkatan suara PKS secara significant. Namun karena partai lain melemah, PKS naik kelas. Dari hasil survey ini, tentu jadi peringatan bagi partai Golkar , Nasdem dan PD. Intrik politik untuk menggembosi citra PKS kemungkinan ada saja lewat kasus hukum kadernya. Nanti kita liat saja. Politik itu dinamis

Monday, March 22, 2021

Arek Suroboyo sahid demi merah putih.

 





Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) atau Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran mendarat di Tanjung Priok. Kedatangan mereka bertujuan untuk mengurusi sisa-sisa prajurit Jepang, juga tentara Belanda yang ditawan, usai kekalahan Dai Nippon dalam Perang Asia Timur Raya. Setelah ada kesepakatan dengan Soekarno,  tanggal 18 September 1945, Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang dibawah komando Inggris Jenderal Mallaby tiba di Surabaya. Pada saat itu ikut serta juga tentara Belanda yang dipimpin W.V.Ch Ploegman Palang Merah Internasional (Intercross).


Sebetulnya tidak ada masalah. Kedatangan mereka sudah diketahui oleh pemimpin TKR di Surabaya. Yang jadi masalah kemudian adalah Belanda sengaja memprovokasi rakyat Surabaya dengan mengibarkan bendera Belanda di hotel tempat mereka menginap. Pada atap hotel Yamato ( sekarang, Hotel Majapahit) berkibar bendara Biru, Merah, putih. Padahal seantero Surabaya berkibar bendera Merah Putih sebagai euforia diproklamirkan kemerdekaan RI. Rakyat Surabaya marah. Mereka datang berdemo di depan hotel. Keadaan memanas. 


Sudirman, residen Surabaya datang menengahi. Minta agar Belanda menurunkan bendera tersebut. Namun dijawab oleh Ploegman dengan todongan senjata kepada Sudirman. Saat itu Sudirman didampingi oleh dua pengawal. Salah satu pengawalnya, Sidik menerjang Ploegman. Terjadi gelut. Senjata berhasil direbut oleh Sidik setelah mencekik mati Ploegman. Kejadian itu di lobi hotel. Berlangsung cepat sekali. Namun salah satu prajurit Belanda melempar Belati kepada Sidik ketika hendak melarikan diri. Sidik tewas. Sudirman dilarikan oleh Hariyono keluar dari Hotel itu.


Di luar hotel , para pemuda naik keatas gedung Hotel. Merobek bendara Belanda warna biru agar hanya ada merah putih. Belanda merasa terhina. Karena benderanya dirobek robek. Keadaan ini membuat situasi tidak konduksif lagi. Suasana kota surabaya mencekam. Para santri mulai terprovokasi untuk meramaikan suasana. Mengusir belanda dari Surabaya. Saat itu TKR belum terorganisir rapi. Banyak laskar terutama santri yang juga punya senjata. Hanya mendengar komando dari kiyainya. Mengabaikan seruan Soekarno agar mematuhi gencantan senjata.


Hari hari berikutnya keadaan semakin tidak menentu. Gedung Internatio di surabaya yang dijaga oleh tentara Sekutu di bawah pimpinan Mayor K Venu dikepung oleh 500 TKR. Mallaby jenderal Inggris yang memimpin pasukan sekutu, didampingi Kapten H Shaw, Kapten RC Smith, dan Kapten TL Laughland bersama Biro penghubung Indonesia, Roeslan Abdulgani mendatangi gedung itu. Tujuannya agar pengepungan dihentikan.  Biro penghubung dari Indonesia berhasil meyakinkan pemuda untuk mundur. Mereka setuju mematuhi gencatan  senjata. Setelah itu Mellaby meninggalkan gedung itu.


Mobil baru bergerak sekitar 90 meter, sekelompok milisi menghadang. Mereka menodongkan pistol. Tak  lama kemudian datang seorang Pemuda bersenjata mendekati mobil dan menembak empat kali ke arah mereka. Tembakan meleset, tapi mereka berpura-pura mati. Menyangka musuhnya tewas, orang tersebut pergi. Aksi tersebut dihadapi oleh tentara inggris yang ada di gedung. Baku tembak terjadi. Pertempuran berakhir sekitar pukul 20.30. Keadaan tenang lagi. Kendaraan Mallaby siap melaju. Namun datang dua pemuda mencegat kendaraan. Sepertinya mereka ingin pastikan Mallaby masih hidup atau udah mati. 


Seorang di antaranya kemudian membuka pintu belakang pada sisi Mallaby. Terjadilah percakapan. Mallaby meminta agar dipanggilkan salah seorang anggota Biro Penghubung dari Indonesia. Kedua pemuda kemudian pergi. Salah seorang pemuda datang kembali ke pintu depan pada sisi Mallaby. Perbincangan kembali terjadi. Mendadak pemuda itu mengulurkan tangannya lewat jendela depan. Dengan darah dingin dia tembak Mallaby. Jenderal itu meregang nyawa.


Kematian Mallaby itu membuat Inggris marah dan mengirim 24.000 pasukan untuk menguasai Surabaya. Inggris mengeluarkan peringatan agar milisi Indonesia menyerahkan senjata pada 9 November. Namun tak dituruti, baru pada 10 November perang besar terjadi dan Inggris mulai mengebom Surabaya. Ribuan prajurit Inggris tewas. Dua jenderal inggris tewas. Sekitar 20.000 pihak Indonesia gugur.  Sebagian besar yang gugur adalah milisi yang merupakan para santri, yang menjemput sahid dengan gagah berani. Mereka gugur demi merah putih. Anehnya sekarang orang berani mati demi bendera ISIS/ Khilafah.

Tionghoa, Korban Revolusi




Di bawah hukum kolonial Belanda, orang Tionghoa  termasuk juga Arab dan India dikategorikan sebagai golongan ‘Timur Asing’ (Vreemde Oosterlingen). Mereka dipisahkan dengan golongan Eropa yang menempati posisi teratas dan bumiputera yang dikelompokkan pada strata terbawah. Pengkategorian ras tersebut berperan dalam menciptakan sekat-sekat di antara kelompok etnis di Indonesia. 


Paska Proklamasi Kemerdekaan. Revolusi meletus. Perang kelas terjadi begitu saja. Banyak laskar atau milisi atas nama rakyat memanfaatkan balas dendam kepada etnis Tionghoa, yang dianggap kelas menengah dan anak emas Belanda. Peristiwa kekerasan acap mewarnai perjuangan di berbagai tempat, terutama di Jawa dan Sumatra. Penculikan, penghilangan paksa, penembakan, perampokan, hingga pembunuhan terjadi hampir setiap harinya.  


Yang tragis adalah peritiwa pembantaian Etnis Tionghoa di Tangerang. Menurut laporan Star Weekly, 16 Juni 1946, sebanyak 40-50 perkampungan luluhlantak; 1.200 rumah rata dengan tanah; lebih dari 700 orang Tionghoa terbunuh, 200 korban di antaranya wanita dan anak-anak; 200 orang Tionghoa dinyatakan hilang; dan kerugian materi. Belum lagi ribuan pengungsi yang memutuskan meninggalkan Tangerang guna mencari tempat aman.


Setelah insiden Tangerang, meletus juga berbagai peristiwa anti-Tionghoa di Bagan Siapi-api, Palembang, Bekasi, Cilimus, Jember, Madiun, Malang, dan sebagainya. Genosida terhadap etnis Tionghoa terjadi meluas.  Berbagai peristiwa yang terjadi di pengujung 1945 dan awal 1946 menimbulkan kecemasan di kalangan warga Tionghoa. Tidak adanya jaminan perlindungan keamanan pada masa revolusi yang serba kacau itu mendorong mereka mengambil langkah sendiri untuk melindungi diri.


Tsiang Chia Tung kemudian mengusulkan kepada pihak Republik agar orang Tionghoa diperkenankan untuk membentuk organisasi pertahanan sendiri. Melalui Radio-Batavia, Tsiang menginformasikan kepada presiden Soekarno dan perdana menteri Amir Sjarifuddin mengenai rencana pembentukan Pao An Tui (PAT/Barisan Pertahanan Tionghoa) yang sepenuhnya akan dibiayai oleh penduduk Tionghoa. 28 Agustus 1947 PAT resmi berdiri. sesuai dengan Ordonansi No. 516 tanggal 12 September 1947. Kemunculan PAT membawa angin segar bagi masyarakat Tionghoa. Mereka berlomba-lomba memberikan bantuan seperti meja, peralatan masak, peralatan makan, ke barak militer PAT yang terletak di Mangga Besar 47, Jakarta.


Pada agresi militer Belanda tahun 1947, Simon Hendrik Spoor, panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia, melihat kemunculan PAT sebagai sinyalemen positif. Belanda pengaruhi pihak oportunis yang ada di PAT. Bahwa Republik Indonesia pasti gagal. Kekuasaan akan kembali ke Belanda. Bebarapa oportunis terpengaruh. Apalagi Belanda menyetujui untuk memberikan PAT seragam, senjata, dan pelatihan militer di Cimahi, Bandung.  

Belanda juga memanfaatkan segelintir elite PAT untuk melaksanakan berbagai operasi militer. Namun pada waktu bersamaan Belanda memprovokasi agar rakyat marah kepada Etnis Tionghoa atas ulah PAT. Tujuan Belanda adalah terjadinya bentrokan horisontal antar etnis. Sehingga Indonesia lemah. Kelak pada akhirnya Tentara Republik marah kepada PAT, dan milisi juga marah. Itu karena politik adudomba Belanda. Sementara rakyat Indonesia dari etnis Tionghoa tidak tahu menahu politik kebaradaan PAT yang digagas elit politik Tionghoa yang disponsori para saudagar kaya.


PADRI Korban HOAX Wahabi


 

Saat itu tokoh agama di Minangkabau kawatir akan perkembangan adat orang minang yang semakin jauh dari ajaran islam.  Sabung ayam, minum miras, pelacuran sudah menjadi hal permissive. Tersebutlah yang risau itu adalah ulama besar seperti Tuanku Nan Renceh. Dia murid dari Tuanku Nan Tuo yang bermahzab Safiie. Kerisauan itu dijawab dengan bijak oleh Tuanku Nan Tuo.  Hidayah itu hak Allah yang akan memberikan kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Tugas ulama hanya mengingatkan kebenaran dengan bahasa hikmah. Itu saja. 


Namun bagi Tuanku Nan Renceh jawaban gurunya Tuanku Nan Tuo itu tidak memuaskannya. Kekawatirannya kemudian didengar oleh tiga orang haji yang baru pulang dari Makkah berlajar tentang Wahabi. Tiga haji itu adalah Haji Miskin dari Pandai Sikek Padang Panjang, Haji Piobang dari Piobang Payakumbuh, dan Haji Sumanik dari Sumanik Batusangkar. Ketika Tuanku Nan Renceh menghadap Haji Miskin, dengan cepat dia berubah haluan. Dari penganut Mahzab Safie, dia berubah jadi wahabisme.


Setelah itu Tuanku Nan Renceh jadi hulubalang Haji Miskin. Merekalah yang menyebar luaskan wahabi melalui majelis ta’lim, mengadakan fatwa tentang persoalan-persoalan yang ada disekitar masyarakat, dan sebagainya dengan semboyan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, mengembalikan kemurnian ajaran islam, memerangi segala bid’ah dan khurafat, serta melarang taklid kepada ulama-ulama madzhab. Banyak ulama hebat terpengaruh dengan paham wahabi. Tanpa ada yang berusaha tabayun ke Makkah untuk mengetahui tentang Wahabi. 


Termasuk Muhammad Syahab seorang ulama dan tokoh masyarakat di Minangkabau terpengaruh. Belakang oleh Tuanku Nan Rennceh dan Haji Miskin dia diberi gelar Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Imam Bonjol mau saja mengikuti perintah tiga orang haji itu untuk menolak adat Minangkabau yang matriarkat. Jihad pun dimaklumkan terhadap lapisan sosial yang matriarkal, rumah-rumah gadang dibumihanguskan dan para pemimpin adat dibunuh.  Pada 1815, dengan pura-pura mengundang berunding, kaum Padri membinasakan keluarga kerajaan Pagaruyung di dekat Batusangkar.


Setelah kaum wahabi berhasil memporakporandakan kerajaan pagaruyung dan kaum adat. Barulah pada 1821 kekuasaan kolonial Belanda masuk ke kancah sengketa. Butuh waktu 27 tahun perang itu. Setelah kerusakan terjadi dimana mana dan nyawa tercabut begitu saja.  Apa yang diidamkan kaum padri tetap tidak diterima oleh adat. Saat itulah Imam Bonjol termenung. Apakah salah yang dia perjuangkan ini. Benarkah ajaran Wahabi itu. Benarkah kebenaran islam adalah pemurnian tanpa perlu ada tafsir? Benarkah islam membolehkan membenci dan membunuh kepada orang yang tidak sepaham ?Apakah semua yang diajarkan haji Miskin itu adalah benar?  


Akhirnya Tuanku Imam Bonjol, mengirim empat utusan ke Mekkah.  Empat orang dipilih agar kesaksian mereka dibenarkan secara syariat islam. Pada 1832 utusan itu kembali dengan kabar: ajaran yang dibawa Haji Miskin dinyatakan tak sahih. Mahal sekali ongkos akibat HOAX.  Segera Tuanku Imam Bonjol mengajukan perdamain dengan kaum adat. Tercepailah kesepakatan. Adat basandi syara. Syara basandi kitabullah. Selesai.

Andaikan Imam Bonjol dari awal tabayun ke makkah sebelum menerima begitu saja ajaran Haji Miskin, mungkin tidak perlu ada kehancuran. Imam Bonjol dan kaum padri harus membunuh kaum adat dan membakar rumah gadang hanya karena terprovokasi hoaz kaum wahabi.  Akankah kini kita akan ulang lagi? Padahal ada internet untuk tabayun, mendapatkan informasi lintas benua terupdate..


Referensi:

-Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy,  studi  1784-1847.

-Memorie van Toeankoe Imam" (De Stuers 1850, Vol. II:221-40,243-51).

-Jeffrey Hadler “  Muslims and Matriarchs, (NUS Press, 2009)



Saturday, March 13, 2021

Feodalisme racun peradaban.

 


Memahami Politik dalam literasi.

Saya perhatikan argumen tentang Politik. Selalu tidak ada titik temu. Itu bukan kedua belah pihak tidak memahami argumen masing masing. Tetapi kurangnya pemahaman tentang literasi politk. Mereka berada di menara yang berbeda dengan sudut pandang yang juga berbeda. Padahal yang menjadi focus apapun politik tetap satu. Apa ? DUIT atau HEPENG. Yang menolak itu, saya pastikan dia hipokrit. Mengapa ? Pada dahulu kala, tidak ada kekuasan dalam arti teratur. Yang ada adalah ketua suku.  Karena sumber daya semakin terbatas dan orang ingin terus memuaskan dirinya. Perluasan wilayah tak bisa dihindari.


Orang pintar, perkasa jago kelahi tega membunuh, berkumpul menjadi gerombolan penakluk atas wilayah lain. Setelah penaklukan tercapai, kerajaan terbentuk. Untuk mengekalkan kekuasaan, komunitas orang pintar dan kesatria mendapat jatah tanah dan wilayah dari raja. Mereka disebut  kaum bangsawan. Mereka memperkerjakan orang lemah dilahannya untuk berproduksi. Hasilnya sebagian diserahkan kepada raja sebagai upeti. Maka lahirlah budaya feodal. Budaya feodal itu lahir pada abad ke 9. Belakangan para raja juga menjadikan kaum agamawan sebagai perekat emosi rakyat dengan raja. 


Dari budaya feodal inilah lahirlah politik kolonialisme. Orang Barat terutama, pergi ke seluruh dunia. Menjadi penakluk. Memperluas wilayah sebagai sumber daya mencapai kemakmuran. Setiap mereka datang kesatu wilayah. Ternyata di wilayah itu sudah  terbentuk tatanan budaya feodal. Melalui politik kolonialsme, mereka menaklukan raja dan menjadikan raja sebagai proxy lewat budaya foedalisme. 


Sehingga, kaum bangsawan disembah rakyat jelata, dan pada waktu bersamaan mereka menyembah raja. Sementara raja menghamba kepada penguasa kolonial. Diantara mereka saling sepakat untuk saling melindungi dari kemarahan rakyat. Politik sampai dengan abad ke 17, politik berputar putar sekitar kaum bangsawan, raja dan kolonial. Rebutan sumber daya. Rakyat hanya jadi korban saja. Abad ke 17 budaya feodal itu diperkuat oleh inggris dalam bentuk sistem Feodalisme. Lebih modern dalam bentuk hak akan property dan wilayah atau konsesi dari penguasa kepada kaum bangsawan.


Lama lama orang mulai merasakan bahwa sistem feodalisme itu dianggap berongkos mahal. Karena menjadi cetral penguasa sumberdaya. Perlu ada efisiensi.  Dipenghujung abad ke 18 lahirlah  paham kebangsaan ( nasionalisme) sebagai cara menerapkan sistem kapitalisme dalam mengelola sumberdaya. Nasionalisme itu bangkit awalnya pada Revolusi Amerika dan Perancis. Kemudian bernyebar ke Amerika Latin. Abad ke 19 menyebar ke Eropa Tengah, selanjut di Eropa Timur dan Tenggara. Berkembang di Asia dan Afrika pada awal abad ke-20. Itu menjadi kebangkitan paham nasionalisme.


Pada abad ke 19 bapak pendiri bangsa terjebak dalam arus perubahan zaman, khususnya paham kebangsaan. Indonesia harus merdeka agar sumber daya Indonesia tidak dikuasai asing. Tapi mereka lupa bahwa paham kebangsaan adalah feodalisme yang bermetamorfosa. Mengapa ? Nasioalisme perlu kapitalisme agar sumber daya menjadi open source. Maka lahirlah paham sosialis. Yang mengkoreksi paham kapitalisme. Namun masih juga dianggap tidak seratus persen lepas dari feodalisme. 


Namun mencapai tujuan sosialis  komunis tidak bisa dengan cara biasa. Harus lewat revolusi. Otomatis terjadilah benturan antara kaum sosialis komunis dan Nasionalis. Setelah perang dunia kedua. Terjadi perang dingin antara USSR ( plus China) vs AS ( Plus Eropa Barat). Terjadi perebutan pengaruh antara Komunis dan Kapitalisme. Perang dingin memungkinkan juga diterapkan cara kolonialisme. Namun dengan cara baru, atau neocolonialism. Lewat bantuan modal dan hutang. Di Indonesia sejarah membuktikan kaum sosialis komunis kalah. Yang menang kapitalisme.


Ketika kaum Sosialis kalah 1948 mereka berganti baju menjadi gerakan berorientasi agama, yaitu islam. Negara Islam Indonesia di proklamirkan tahun 1949. Islam diseret dalam narasi perang berdasarkan Al Quran melawan pemerintahan yang sah. Sebetulnya itu adalah perang pemikiran sosialisme dan Kapitalisme.  Akhirnya tahun 1965 komunis kalah telak. Gerakan islampun langsung dibonsai. Nasionalis menang. Yang jadi masalah adalah baik sosialisme maupun kapitalisme lahir dari paham nasionalisme, yang merupakan kelanjutan paham feodalisme. Hanya bedanya, sosialis komunis tujuanya adalah kekuasaan para kamerad ( para teman atau kelompok ), Sementara kapitalisme, betujuan kepada kekuasaan pasar atau pemodal. Sama sama predator. Ujung ujungnya ya cuan.


Sampai disini paham ya. Mengapa China perlu revolusi kebudayaan. Mengapa kaum feodal harus dimusnahkan. Artinya yang jadi musuh itu bukan kapitalisme, atau komunisme atau nasionalisme atau agama, tetapi mental feodal. Jadi paham ya kalau Jokowi mendengungkan revolusi mental. Itu sama saja mengubah paradigma feodal menjadi masyarakat egaliter. Istana tidak  lagi sakral. Baju presiden  baju orang kebanyakan. Kalau ingin berubah, maka ubahlah mindset feodal anda. Istri cukup satu. Jangan ada selir. Itu aja dulu dilatih. Kalau itu bisa, yang lain akan mudah diubah...


Dialektika Kartusuwiryo

Kartusuwiryo tidak pernah nyantri. Dia tidak ahli hadith dan tafsir Al Quran. Pendidikanya lebih banyak di sekolah sekular Belanda. Usia 8 tahun dia masuk sekolah  Inlandsche School der Tweede Klasse. Setelah itu dia masuk Europeesche Lagere School di Bojonegoro. Sekolah ini hanya bagi bumiputera yang punya kecerdasan tinggi. Nah dia baru belajar agama dari tokoh Muhammadiyah, Notodiharjo. Sejak itu dia mengenal pemikiran islam modern dan terinspirasi hebat. Setelah lulus Europeesche Lagere School pada tahun 1923 dia melanjutan pendidikan Nederlands Indische Artsen School, sekolah kedokteran di Surabaya.


Pada masa sekolah kedokteran itu dia ngekos di Rumah HOS Thjokroaminoto bersama Soekarno dan Muso. Mereka bertiga ini adalah pemuda cerdas. Ketika Kh Ahmad Dahlan dan Kh. Hashim Ashari berkunjung ke rumah Tjokroaminoto, mereka rajin menyimak diskusi ketiga tokoh hebat itu. Setelah itu diatara mereka terjadi diskusi inten. Kadang berdebat mengasah argumen. Tjokroaminoto hanya memperhatikan mereka dan membiarkan pemikiran mereka berkembang. Soekarno tetap dengan pendirianya yaitu Nasionalis. Namun Kartosuwiryo awalnya lebih tertarik dengan pemikiran Muso, sosialis kiri  ( komunis ). Dia tidak begitu yakin tentang Islam. Dia merasa inferior dihadapan Soekarno kalau berdebat teologi dan syariat islam. 


Kebetulan saat itu banyak tokoh Sharikat Islam yang masuk Komunis. Kalau Soekarno menikahi putri Tjokroaminoto, Oetari. Sementara Kartusuwiryo menjadi seketaris pribadi Tjokro yang ketika itu Ketua Syarikat Islam ( SI). Dia juga pemimpin redaksi Koran Harian Fadjar Asia. Tulisannya lebih banyak mengeritik bangsawan Jawa termasuk Sultan yang berkerjasama dengan Belanda. Dia kecam habis feodalisme itu. Dia provokasi kaum buruh berontak. Dia mengejek kaum nasionalis yang memilih jalan kooperatif dengan Belanda. Karenanya dia semakin terhormat dan disegani oleh teman seperjuanganya. 


Ketika Sjarikat Islam menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia ( PSII), dia terpilih sebagai Sekjen. Kemudian dia berbeda pendapat dengan PSII yang memilih kerjasama dengan Belanda. Ia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII). Dengan demikian dia menjadi rival bagi gerakan sosialis kiri dan Nasionalis. Menjadi lawan dari sahabatnya sendiri, yaitu Muso yang komunis dan Soekarno yang Nasionalis. Di sisi lain dia mengikrarkan diri memberontak dengan pemerintah Kolonial Belanda. 


Karena kesibukannya dalam politik, tahun 1927, Kartosoewirjo dikeluarkan dari Nederlands Indische Artsen School. Dia semakin radikal.  Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo  menolak semua kesepakatan yang dibuat antara Belanda dan Indonesia. Baginya tidak ada kemerdekaan setengah setengah. Harus merdeka penuh dari Sabang sampai Marauke. Tampa syarat Karenanya dia menolak perjanjian Renville yang mengharuskan prajurit Siliwangi yang ada di Jawa Barat hijrah ke Yogyakarta.  Muso juga sama dengan Kartosuwiryo. Muso  bersama PKI memberontak di Madiun. Dia dihukum mati atas perintah Soekarno. 


Tanggal 7 agustus 1949 dia memprolamirkan Negara Islam Indonesia. Setelah KMB ( Komprensi Meja Bundar) ditanda tangani dibawah PBB yang memberikan pengakuan kedaulatan Indonesia dengan syarat, yaitu Indonesia Serikat. Kartosuwiryo memilih memberontak dan melakukan perang grilya melawan Pemerintahan dibawah Soekarno Hatta. Tercatat yang bergabung dengan NII adalah  Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Ketika terjadi pemberontakan PRRI/PERMESTA, Kartosuwiryo dan pasukannya ikut bergabung melawan Soekarno. 


Akhirnya setelah melalui perburuan panjang oleh TNI pada 4 Juni 1962, Kartosoewirjo berhasil ditangkap. Ia dihukum mati pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta. Soekarno menangis. Karena bagaimanapun ia adalah sahabat seperjuangan Soekarno. Mereka sama sama mencintai Indonesia. Hanya saja, mereka berbeda cara mencapai kemerdekaan. Soekarno lebih memilih jalan kooperatif. Sementara Kartosoewirjo memilih jalan non kooperatif dengan asing.  


Saya yakin dalam benak Kartosoewirjo sangat paham terjadinya perbedaan pandangan dalam islam. Ada yang ingin mendorong modernisasi Islam lewat membentuk negara Islam, ada yang menolak negara Islam terbentuk, ada yang mendukung sekulerisme. Dia hanya inginkan Indonesia merdeka dalam arti sesungguhnya. Apapun bentuknya. Faktanya kini Indonesia belum bisa lepas dari neocolonialisme. Belum bisa lepas dari jebakan bantuan asing dan hutang. Feodalisme terus mengakar, dalam bentuk birokrasi yang korup, dan partai yang elitis, primodialisme agama. Makanya sampai kini kita tidak bisa mandiri dalam arti sesungguhnya.


Dialektika Musso.

Orang memanggilnya Muso atau Musso. Itu nama diambil dari  Paul Mussotte tapi nama pemberian orang tuanya adalah Muso Manowar  atau Munawar Muso. Ia lahir dari keluarga bangsawan di Kediri, Jawa Timur  pada tahun 1897. Ayahnya, Mas Martoredjo adalah pegawai bank di Kecamatan Wates. Ibunya mengelola kebun kelapa dan kebun mangga. Keluarganya merupakan penganut islam yang taat. Sedari kecil Musso rajin mengaji di mushala di desanya. Namun juga keluarga modern. 


Usia 16 tahun, ia dikirim oleh orang tuanya sekolah ke Batavia untuk belajar di sekolah Guru. Di Batavia Musso menjadi anak didik pertama G. A. J. Hazeu  yang adalah penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan bumiputra. Hazeu sendiri mengangkat Alimin sebagai anak. Di sekolah ini Musso juga berguru pada seorang reformis politik etis, D. Van Hinloopen Labberton. Saat di Batavia inilah dia mendapat pemahaman tentang sosialis. Dari Batavia, Musso melanjutkan sekolah di Surabaya.


Di Surabaya ia tinggal di rumah HOS Cokromanoto di Jalan Peneleh VII, Surabaya. Pada saat itu di rumah Tjokroaminoto sudah ada 30 orang pemuda ngekos. Diantanya adalah Kartusuwiryo dan Soekarno. Periode 1915 – 1920 Soekarno, Kartosuwiryp, Musso terjalin hubungan emosional persahabatan.  Soekarno belajar banyak hal dari Musso yang lebih tua 4 tahun darinya. Musso piawai menjabarkan visi politik dan tujuannya. Baik dari segi paham nasionalisme, sosialisme.


“Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa” Itu kata Musso yang menjadi inspirasi Soekarno untuk masuk ke dunia politik. Mereka tinggal di rumah tokoh pergerakan Islam, Tjokroaminoto. Tentu pemaham pengetahuan soal islam dan politik sangat luas. Apalagi Pak Tjokroaminoto sering kedatangan tamu tokoh hebat seperti Kh Ahmad Dahlan, KH Hashim Ashari. Mereka menjadi pendengar yang baik dalam setiap diskusi antar tokoh hebat tersebut. Kadang mereka berdiskusi, namun Soekarno lebih banyak mendengar soal Islam dari Musso. Maklum Musso besar dari keluarga Santri.


Muso saat itu selain sekolah, ia sudah bekerja sebagai kasir di Kantor Pos Besar Kebonrojo. Ia juga aktivis Sarekat Islam pimpinan Tjokroaminoto. Di rumah Tjokroaminoto pula Musso bertemu dengan Henk Sneevliet – tokoh yang kemudian mendirikan ISDV, organisasi berhaluan Marxisme. Alimin, Semaun, Darsono, Mas Marco Kartodikromo dan Haji Misbach menjadi kader Sneevliet. Musso pun jadi aktifis di ISDV (Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda).  Melalui Musso dan Alimin pula Sneevliet memasukkan gagasan sosialis ke dalam Sarekat Islam dan membangun blok merah. Pada saat itu banyak tokoh islam yang terpengaruh dan menjadi anggota komunis.


Pada 1917 di Garut,  Sosrokardono mendirikan Sarekat Islam seksi B atau Afdeling-B yang revolusioner. Mereka sangat militan menebarkan paham marxisme. Akibatnya tahun 1920 Musso sempat ditangkap oleh Belanda. Di penjara Musso mendapatkan political lesson tentang komunisme dari Alimin. Tahun 1923 Musso bebas dari Penjara. Van Hinloopen Labberton menawarinya pekerjaan sebagai asisten mengajar di Jepang. Namun, Jepang menolak. Kemungkinan Jepang tahu Musso sebagai kelompok radikal dan pernah di penjara.  Gagal ke Jepang, Musso mendirikan Partai Komunis cabang Batavia. Tak berselang, Semaun juga mendirikan Perserikatan Komunis Hindia yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia. Musso dan Alimin kemudian bergabung dengan PKI Semaun. 


Pada Desember 1925, PKI merencanakan pemberontakan terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Sayangnya rencana tersebut diketahui dan pemerintah Hindia Belanda menangkap para pemimpin partai pada Januari 1926. Musso berhasil melarikan diri ke Singapura. Ia dan beberapa tokoh lain seperti Sardjono, Mohammad Sanusi dan Alimin kemudian merencanakan revolusi. Mereka mengajak Tan Malaka, namun nama terakhir menolak gagasan tersebut. Peristiwa ini juga menandai perbedaan haluan yang mulai terjadi antara PKI dan Tan Malaka.


Dari Singapura, Musso dan Alimin berangkat ke Moscow untuk meminta dukungan bagi aksi revolusi di Indonesia. Di Moscow, Musso meminta dukungan Communist International (Comintern) untuk melakukan revolusi. Namun, permintaan tersebut ditolak karena Belanda dinilai masih terlalu kuat di Nusantara. Musso dan Alimin kemudian belajar di Lenin School selama beberapa tahun. Pada tahun 1928, Musso ikut dalam Kongres ke-6 Comintern yang dipimpin oleh the one and only, Joseph Stalin. Musso kemudian menjadi anggota komite eksekutif Comintern. Pada tahun 1929, Musso menikah dengan seorang perempuan Rusia. Dari pernikahan tersebut lahir dua orang anak.


Kemudian, pada tahun 1935, Musso kembali ke Surabaya untuk mengkonsolidasikan PKI. Ia bahkan mampu mengajak sosok seperti Amir Sjarifudin dan Tan Ling Djie untuk bergabung. Ia meminta mereka untuk menginfiltrasi organisasi-organisasi nasional. Namun, lagi-lagi usaha ini diketahui oleh pemerintah Hindia Belanda. Para anggotanya ditangkap dan dibuang ke Boven Digul. Sementara Musso berhasil melarikan diri kembali ke Moscow. Tahun 1948, Musso bisa kembali ke tanah Air berkat bantuan Soeripno, konsul Indonesia di Praha. Dalam perjalanannya ia singgah di Belgia, Prancis dan Belanda untuk bertemu dengan para pemimpin komunis di sana. Dalam perjalanan ini Musso juga menggagaskan apa yang ia sebut sebagai New Road alias Jalan Baru.


Sekembali dari luar negeri. Berkat bantuan Soeripno, Musso bisa bertemu lagi dengan Soekarno yang sudah jadi presiden Indonesia. Pertemuan sahabat lama yang mengharukan. Sukarno minta supaya Musso membantu memperkuat negara dan melancarkan revolusi. Musso menjawab: “Itu memang kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen! (Saya datang di sini untuk menciptakan ketertiban).” Ketertiban yang dimaksud adalah meluruskan revolusi. Bahwa revolusi yang terjadi di Indonesia terlihat seperti Revolusi kaum Feodal. Itu hanya melanjutkan penjajahan kepada rakyat jelata. Atau istilahnya Revolusi Borjuis dan bukannya Revolusi Proleter murni. 


Untuk unjuk kekuatan, Musso menggelar rapat raksasa di Yogya. Di sini dia melontarkan pentingnya kabinet presidensial diganti jadi kabinet front persatuan. Musso juga menyerukan kerjasama internasional, terutama dengan Uni Soviet, untuk mematahkan blokade Belanda. Dan untuk menyebarkan gagasannya, sejak awal September 1948, Musso bersama sejumlah pemimpin PKI bersafari ke daerah-daerah di Jawa, yaitu Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Di tengah safarinya itulah meletus “peristiwa” Madiun.


Tapi Hatta sebagai Perdana Menteri, tidak tertarik dengan gagasan Musso itu. Bagi Hatta, untuk mencapai Indonesia merdeka seluruhnya, butuh goodwill internasional dengan membuka perundingan. Hatta tak tertarik oleh konflik internasional antara Amerika dan Rusia. Hatta merasa posisinya diperlemah oleh gerakan Musso. Menghadapi tekana Musso, Hatta melakukan rasionalisasi Tentara. Memisahkan mana rakyat, dan mana tentara. PKI menolak. Karena pasukan PKI sebagian besar adalah rakyat. Hubungan semakin memanas. Menurut PKI, Hatta pula yang memulai provokasi dengan pembunuhan terhadap Kolonel Soetarto  Komandan Div Senopat pro PKI. Perintah pembunuhan itu diberikan Hatta kepada Divisi Siliwangi, yang hijrah dari Jawa Barat dan bermarkas di Solo.


Pasca tewasnya Soetarto, culik-menculik terjadi. Senopati menuding Siliwangi menculik dan membunuh dua tokoh PKI Solo dan enam perwiranya. Jalan damai tak dapat ditempuh, dan konfrontasi pun tak terelakkan lagi. Sementara itu, permusuhan FDR dengan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR)-Tan Malaka juga memuncak ketika pemimpin sayap militer GRR, Barisan Banteng, dr Muwardi dibunuh dan jenazahnya tak ditemukan. GRR menuding FDR sebagai pelakunya. Ketegangan di Solo menjalar ke Madiun. 


Soemarsono, komandan pasukan Brigade 29 yang pro-PKI, menerima laporan bahwa Siliwangi akan melucuti pasukan FDR di Madiun dan menangkap para pemimpinnya. Pada 18 September 1948, dengan kekuatan 1.500 orang pasukan, Soemarsono mendahului melucuti dan menawan sekitar 350 prajurit Siliwangi dan Brigade Mobil CPM (Corps Polisi Militer). Aksi ini diikuti dengan penjarahan, kepanikan penduduk, penangkapan sewenang-wenang, dan tembak-menembak. Madiun sepenuhnya dikuasai FDR dan dijadikan sebagai Pemerintahan Front Nasional.


Pemerintah dan militer mengambil tindakan tegas: pemberontakan harus ditumpas. Hatta menegaskan, “Het is nu een zaak van leven of dood. Er op of er onder” (Sekarang soalnya hidup atau mati. Menang atau kalah). Setelah mempreteli FDR di Yogya, pasukan Siliwangi dengan mudah menumpas kekuatan di Madiun. Pada 29 September, sehari sebelum Siliwangi merebut Madiun, sepasukan berkekuatan tiga batalyon bersama tiga ribu orang dan para pemimpin PKI melarikan diri dari Madiun. Musso tewas dalam baku tembak dan sebelas pemimpin puncak PKI lainnya dieksekusi mati.


Apa penyebab kegagalan pemberontakan PKI di Madiun itu? Sikap Musso yang tempramental. Tidak sabaran. Kata katanya sangat kasar kepada Soekarno-Hatta. Sehingga dia tidak mendapat simpati dari rakyat. Ketika Soekarno berpidato “ Pilih Soekarno atau Musso”. Rakyat mendukung Soekarno. Karena Soekarno tidak pernah menghujat Musso. Dia dengan bijak mengajak rakyat berpikir rasional. Ketika rakyat terutama tokoh agama memilih Soekarno. Musso justru menghujat tokoh agama. Dan ketika Madiun dikuasai PKI, Musso perintahkan membunuh para tokoh agama. Islam jadi korban. Padahal pertikaian antara Soekarno dan Musso tidak prinsip. Keduanya punya cinta besar untuk Indonesia. Mereka hanya berbeda jalan mencapai kemerdekaan dalam arti sesungguhnya. Soekarno memilih jalan revolusi kaum terpelajar. Musso, inginkan revolusi rakyat jelata.


Dialektika Maozedong.

Waktu merintis pendirian pabrik filter knalpot kendaraan di Hunan, China, saya sempatkan mampir ke museum Maozedong. Saya sempat lama di rumahnya yang sangat bersahaja. Saya juga berkunjung ke sekolahnya di Dongshan,  Shaoshan, Changsha. Mao lahir pada 26 desember 1893. Walau dia dibesarkan dengan tradisi Konfusianisme namun dia tidak begitu tertarik dengan tradisi klasik itu. Mao cepat sekali dewasa. itu sebabnya usia 13 tahun, dia dinikahkan dengan  Luo Yixiu gadis berusia 17 tahun. Saat itu Mao tidak bisa menolak. Perkawinan berakhir dengan kematian Luo Yixiu. Kelak dia menjadi penentang tradisi kawin paksa di China. 


Dari remaja Mao, sudah gemar membaca buku. Dia gandrung dengan novel Romance of the Three Kingdoms maupun Water Margin. Buku sejarah George Washington, dan Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte. Tulisan Zheng Guanying yang memberikan pencerahan politik menentang sistem monarki menuju masyarakat egaliter. Dia juga terinspirasi Wang Tai Yu, ulama besar China abad 17. Dia lahap habis buku" Chinese Gleams of Sufi Light". Kelak dalam Revolusi kebudayaan, Mao inginkan islam seperti tulisan Wang Tai Yu. Bagaimana Agama bisa melahirkan semangat kemandirian di tengah masyarakat. Dia tutup semua masjid, klenteng. Dia anggap itu simbol feodalisme. Semua tokoh agama di kirim kamp kerja paksa.


Tahun 1911, Revolusi Xinhua meletus. Kaum revolusioner bergerak serentak menjatuhkan monarki. Mao ikut arus gelombang Revolusi. Dia keluar dari sekolahnya untuk bergabung dalam tentra Revolusi di bawah jargon Kuomintang (Partai Nasional), yang dipimpin Sun Yat-sen. Kuomintang menggulingkan monarki di 1912, dan mendirikan Republik China. Setelah itu dia mengundurkan diri dari ketentraan revolusi. Mao kembai ke masyarakat. Dia pernah masuk akademi polisi. Tapi gagal. Sekolah tekhik. Gagal. Kemudian dia masuk sekolah Guru seraya bekerja di perpustakaan. Saat bekerja di perpustakaan itu dia manfaatkan belajar secara otodidak tentang politik dan ekonomi, apa saja.


Kali pertama Mao mengenal sosialisme dari tulisan Jiang Kanghu di koran ( kliping koran ini masih ada di Museum Mao). Petugas meseum menyebut bahwa Jiang Kanghu adalah binaan dari Ong Soong Lee, yang saya tahu itu adalah nama lain dari Tan Malaka  yang pernah mengajar d Xiamen. Setelah lulus, Mao hijrah ke Beijing. Bekerja di perpusatakaan di Universitas Beijing. Saat itu, dia mendengar adanya Revolusi Bolshevik di Rusia yang kemudian berujung pendirian Uni Soviet.  Pada 1921, Cheng Duxiu dan Li Dazhao mendirikan Partai Komunis China di Shanghai, dan Mao masuk di dalamnya melalui cabang Changsha. 


Di tahun 1923, Sun Yat-sen memulai kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan komunis yang mulai berkembang pesat. Mao  menghormati  Sun Yat-sen  karena memimpin barisan nasional dengan pemikiran modern. Namun setelah Sun meninggal tahun 12 maret 1925, digantikan oleh Chiang Kai-shek. Mao memutuskan bersebarangan. Karena Chiang Kai-shek bermental feodal seperti tradisi klasik China. Chiang Kai-shek dengan dukungan asing membersihkan semua gerakan Komunis. Mao meradang. September 1927, Mao memimpin pasukan petani melawan Kuomintang. Kalah total. Dia dan pasukanya mereka melarikan diri ke Provinsi Jiangxi. 


Di Jiangxi, Mao membentuk gerilyawan yang militan. 14 Oktober 1934, Pasukan Merah berkekuatan 85.000 orang 15.000 kader partai melakukan Long March untuk menghindari kejaran pasukan Kuomintang. Selama 12 bulan, mereka bergerilya menuju Yanan yang berada di kawasan utara China. Lebih separuh pengikutnya meninggal dalam longmarch itu. Namun dalam perjalanan itu Mao berhasil menarik perhatian rakyat. Dia gunakan kesempatan berorasi  disetiap desa yang dia singgahi. Akibatnya pemikiran sosialis anti kelas berkembang cepat di China. Relawan komunis terus berkembang  menambah kekuatan Mao.


Kekaisaran Jepang menginvasi China yang memaksa Chiang Kai-shek mengungsi ke Nanking. Pasukan Kuomintang yang kehilangan sejumlah kawasan utama membuat. Kuomintang membujuk Mao bergabung melawan Jepang. Mao diangkat sebagai pemimpin militer. Sikap Jepang yang dianggap brutal membuat banyak orang bergabung dengan Pasukan Merah. Di Agustus 1940, Mao memerintahkan Serangan Ratusan Resimen di mana 400.000 pasukan menyerang Jepang di lima provinsi secara simultan. Serangan itu terbukti sukses dengan 20.000 tentara Jepang terbunuh.


Namun setelah Jepang kalah dalam perang dunia kedua. Kuomintang mendapat bantuan dari AS, menghabisi Komunis  bersama Mao dan pasukannya. 21 Januari 1949, tentara Kuomintang menderita kekalahan besar menghadapi pasukan Mao, dan memaksa Chiang beserta pengikutnya pindah ke Formosa (Taiwan). 


Pada 1 Oktober 1949, Mao mengumumkan berdirinya Republik Rakyat China. Mao mengorganisir reformasi tanah, baik melalui cara persuasi maupun paksaan. Dia mempromosikan status perempuan, menggandakan populasi warga terdidik, meningkatkan minat literasi, dan mengembangkan layanan kesehatan. Namun lagi lagi pembelaannya kepada kaum miskin mendapat tantangan dari kaum feodal. Sehingga apapun program pro rakyat miskin dibajak oleh kaum feodal. Program Lompatan Besar ke Depan"  gagal total. 


Mao membuat keputusan berani dengan mengizinkan istrinya, jiang Qing menggerakan revolusi kebudayaan. Kaum terdidik dan bermental feodal dia kirim ke kamp kerja paksa. Bagi Mao mereka adalah krikil dalam sepatu. 25 juta orang mati selama revolusi kebudayaan. China lama jadi debu. Setelah revolusi kebudayaan berakhir,  Deng tampil memimpin, China baru. Kini China menjadi kekuatan ekonomi dunia. Itu bukan karena China hebat dalam komunisme. Tapi karena chiisa mengubur feodalisme dan memotong satu generasi mereka yang terpapar feodal.

Monday, March 8, 2021

Kebersamaan.

 


.


Tahun 1996 saya berkunjung ke Wuhan. Saya bertemu dengan sahabat saya yang juga pejabat pemerintah. Saya mengenalnya dulu di Belanda. Waktu dia sedang menyelesaikan S3 bidang lingkungan hidup. Saya sempat bertanya. Mengapa pemerintah melarang koperasi mendapatkan pinjaman dari bank. Melarang Koperasi membentuk bank sendiri. Sementara dunia usaha lain boleh. Jawabannya tidak pernah saya lupa. Saya catat dalam diary saya. 


“ Cinta pemerintah kepada rakyat itu sangat besar. Kalau pemerintah terkesan diskriminasi, itu karena keberpihakan politik kepada gerakan koperasi.  Kalau mereka dibantu dan dimanjakan, sampai mati mereka tidak akan pernah dewasa.  Yang rugi adalah China. Padahal mereka adalah harapan masa depan China untuk melalui lompatan jauh kedepan. “ 


“ Lantas apa yang pemerintah berikan kepada gerakan koperasi ?


“ Kebebasan. Mereka bisa berkembang sebesar apapun dan pada bidang apapun.  Tidak ada lagi pengaturan seperti era bapak Mao. “ 


“ Lantas apa yang sebenarnya yang hendak dituju pemerintah dari gerakan koperasi ?


“ Semangat kebersamaan.” 


Apa yang terjadi kemudian? tahun 2006, gerakan koperasi telah berhasil membuat bank sendiri, Minsheng Bank. Bank itu atas nama PT, bukan koperasi. Hebatnya, walau bank itu bukan atas  nama gerakan koperasi namun beroperasi hanya untuk kepentingan gerakan koperasi.  Sistemnya adalah kemitraan luas. Lantas mengapa Minsheng bank tidak jadi pengendali gerakan koperasi ? Oh itu karena gerakan koperasi tidak hidup dari bank. Hidup bank justru bergantung kepada gerakan koperasi. Apa pasal? karena tingkat produktifitas koperasi sangat luar biasa. Itulah buah dari  kebersamaan.


Kemudian pemerintah, melarang Minsheng jadi bank devisa. Mengapa? agar koperasi tidak jadi agent asing. Tujannya? agar program kemandirian China terlaksana tanpa restriksi kompetisi asing. Dampak dari kebijakan ini adalah mengundang JP Morgan menjadi mitra penjamin likuiditas dollar untuk belanja impor koperasi.  Dengan demikian gerakan koperasi yang massive itu tidak mengorbankan devisa China. Mereka bertransaksi ke luar negeri tetap dengan Yuan. Keren ya. 


Tahun 2010 saya bertemu lagi dengan sahabat saya yang di Wuhan itu. Kami bertemu di Guangzho. Ada kawasan bisnis kami lewati dalam perjalanan ke Guangzie. “ B, kamu liat itu kawasan bisnis. “Katanya menunjuk kawasan bisnis dan industri.


“ Ya. “


“ Itu dibangun oleh gerakan koperasi. Mereka butuh waktu 4 tahun bangun. Engga mudah menjelmakan impian jadi kenyataan. Dan kini mereka bisa jadi tuan diatas kawasan bisnis bagi para konglomerat”


“ Mengapa tidak pemerintah yang bangun.”


“ Bisa saja pemerintah bangun. Setahun jadi. Tetapi tujuan spirit kebersamaan tidak tercapai. Padahal esensinya pembangunan peradaban itu bukan karena modal tetapi karena semangat kebersamaan. Kalau membangun berlandaskan kepada modal, maka itu sama saja kita mengekalkan feodalisme yang menggunakan kapitalisme untuk menjajah yang lemah.” Katanya. 


Sangat sederhana cara China berpikir. 


‘ Darimana kalian belajar itu ?kata saya.


“ Kami belajar dari Budha. Misal, kalau membangun tempat ibadah. Walau banyak pemeluk Budha yang kaya dan sanggup membiayai semua. Namun sikap rendah hati Budha lebih suka mengumpulkan uang receh dari setiap orang yang peduli. Yang hendak dicapai bukan bangunan megah. Bukan cepat selesai. Tetapi spirit kebersamaan atas dasar cinta. Cinta itulah yang jadi sumber energi yang mempersatukan rakyat, saling berbagi, peduli tanpa mementingkan diri sendiri. Jadi Proyek tempat ibadah hanya metodelogi melahirkan inspirasi kesalehan sosial ekonomi secara kolektif.”


Yang jadi masalah di indonesia adalah agama tidak melahirkan spirit kebersamaan atas dasar cinta. Yang ada justru saling menciptakan jarak karena perbedaan. Proyek agama selalu yang diburu adalah orang kaya agar proyek selesai dibangun. Tujuannya tak lebih karena politik dan kebanggaan personal. Akibatnya nilai proyek keagamaan tidak melahirkan kebersamaan. Yang kaya dan miskin tetap berjarak. Otomatis pembangunan peradaban dalam bidang ekonomi tetap terbelakang dan hidup dalam keluh kesah berharap subsidi dari negara. Sampai mati tetap jadi beban negara. Penyakit peradaban melahirkan mental pecundang. 


Paham ya sayang

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...