Monday, July 20, 2020

Kekuasaan, memenggal kepala


Saya penggemar buku sejarah kekuasaan totaliterian. Saya membaca sejarah komunisme, fasisme, Nazi, dan kekhalifahan. Secara ideal saya termasuk orang yang sangat setuju dengan kekuasaan terpusat. Saya juga senang berdiskusi dengan mereka yang gandrung paham totaliterian. Mengapa ? disitu ada semangat kebersamaan dalam satu barisan yang tertip menuju satu tujuan yang sama. Ibarat lebah, mereka patuh kepada kehendak ratu. Secara system setiap lebah punya tugas satu, yaitu melindungi ratu dan mengamankan ratu. Dan lebah salah satu insek yang memberikan manfaat bagi manusia.

Tetapi dalam dunia nyata, saya melihat dengan mata kepala bagaimana hebatnya design pembangunan China, namun secara politik tidak membuat orang lebih baik dari hewan. Secara politik mereka engga bahagia. Itu baru terasa ketika mereka ingin berbeda pendapat dengan partai, maka semuanya menjadi mimpi buruk. Tidak ubahnya dengan Kerajaan Saudi Arabia, yang semua sangat indah. Namun sekali anda berbeda pendapat dengan raja, selesai hidup anda. Kalau komunis mengenal istilah “dihilangkan” bagi pengkhianat. Kalau dalam islam, “dipenggal kepala”. Hebatnya, penggal kepala itu tidak melalui proses pengadilan yang rumit. Prasangka saja sudah cukup alasan memenggal kepala orang. Berbeda dengan Jokowi, Abu Bakar bashir masih diberi kesempatan untuk dapatkan grasi. Aktifis HTI masih bebas orasi dan berpolemik di sosmed walau HTI sudah dibubarkan. 

Karena totaliterian itu mengharuskan satu persepsi dalam segala hal, dan karena mereka bukan Tuhan yang Maha Tahu, maka suka tidak negara totaliterian adalah juga negara intel. Tidak ada satupun riak yang tidak diketahui. Dulu sebelum ada IT, di China ada 25 juta intel, bahkan para ibu rumah tangga di create jadi intel negara terhadap sikap suaminya. Kini setelah ada IT, di Shenzhen, yang penduduknya 9 juta orang, ada 15 juta CCTV. Artinya kemana saja langkah diayun, setiap orang sadar bahwa mereka diawasi negara. Itu hanya ingin memuaskan sifat paranoid kekuasaan. Karena penguasa Tahu bahwa kekuasaan yang mereka create untuk mereka sendiri, bukan untuk rakyat. Penguasa sadar , kekuasaan mereka rentan.

Kekhalifahan Rasyidin di tengah kejayaan islam dalam operasi penaklukan di berbagai wilayah, juga sangat rentan. Bukan karena serangan dari luar tetapi dari rakyatnya sendiri. Dari empat khalifah, semua meninggal karena dibunuh. Abu Bakar meninggal dalam keadaan sakit. Konon menurut cerita kitab tarikh al-Khulafa’, sakitnya karena diracun. Umar bin Khattab ditikam pisau oleh seorang budak dari Persia saat memimpin sholat Subuh di masjid. Utsman dibunuh oleh pemberontak dengan cara sadis. Ali Bin Abi thalib juga dibunuh dengan cara sadis. Selanjutnya dalam sejarah Khalifah, pembunuhan terhadap khalifah terus terjadi. Mereka terbunuh karena intrik politik internal. Teringat untuk jadi ratu lebah, mereka harus bertarung sampai mati dengan rivalnya agar menjadi satu satunya ratu. Tidak ada istilah berdamai. Tidak ada istilah matahari kembar. Karena tanpa itu sistem kekuasaan lebah tidak efektif.

Apa yang rumit dalam sistem khalifah itu adalah kekuasaan yang sangat besar pada khalifah. Sistem baiat secara personal mengharuskan loyalitas secara total. Jadi suka tidak suka, mereka menerapkan politik totaliter. Secara politik sama seperti PKI, Fasis, dan Nazi. Mereka hanya berbeda metode cara berkuasa. Namun esensinya sama, yaitu memaksa orang berhenti berpikir dan patuh pada satu dokrin. Situasi inilah yang membuat mereka sangat rentan jadi korban pembunuhan. Karena bukan hanya mereka, lawan politiknya juga sama, sama sama terancam terbunuh oleh  sistem kekuasaan khilafah, seperti khalifah Turki ustmani yang harus tega membunuh saudara kandung, bahkan anak sendiri tega dibunuh. Itu hanya ingin memastikan baiat setiap orang kepada khalifah adalah total.
Kalau diskusi membahas soal totaliterian, saya tidak pernah kehilangan spirit. Tetapi karena hidup tidak ada yang ideal. Karena hidup adalah cobaan diatas ketidak-idealan, sayapun harus mau menerima realitas hidup. Berdamai dengan kenyataan, dan terus memperbaiki diri sendiri, dan berharap sebaik baiknya kesudahan. Pada akhirnya orang diadili secara pribadi oleh Tuhan, dan tidak ada kaitanya dengan idioligi atau sistem politik. Karena Tuhan diatas sana tidak berpolitik. 

No comments:

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...