Tadi siang saya bertemu dengan Asset Manager, relasi saya dari Singapore. Dalam pertemuan santai itu, kami berdiskusi tentang hal yang sedang hangat dibahas oleh semua pemain uang, yaitu melemahnya mata uang China, Yuan. Apalagi SMI sudah mengingatkan dampak buruknya terhadap ekonomi Indonesia dengan melemahnya mata uang Yuan. Itu bukan hanya Indonesia tetapi seluruh Asia sedang menghadapi resiko yang tidak kecil. Bagaimanapun pelemahan Yuan bagian yang tak terpisahkan dari perang dagang antara China Dan AS.
Senin minggu lalu, mata uang Yuan menembus level 7. Seakan angka 7 ini angka kramat. Karena ini kali pertama mata yuan melemah sejak satu dekade. Menurut The Wall Street Journal, pasar uang international yuan USDCNH, -0,0014% merosot ke rekor terendah lebih dari 7,10 yuan per dolar. Dalam aksi offshore baru-baru ini, yuan diperdagangkan pada 7,0949 per dolar, setelah berpindah tangan pada 7,0507 dalam perdagangan onshore USDCNY, + 0,0000%. Wall Street berkabung dalam aksi jual global. Para investor melakukan reposisi portfolio secara cepat dari saham dan aset lain yang dianggap berisiko. Semua saham anjlok. Saham perusahaan AS mengalami penurunan terbesar sejak tahun 2019. Kalau China melepas T-bill yang dipegangnya, investor akan berpindah ke Tbill ini. Likuiditas negara emerging market akan tersedot. Krisis likuiditas global menanti.
Mengapa ini terjadi ? Karena People's Bank of China menetapkan tingkat referensi harian lebih dari 6,9 yuan per dolar untuk pertama kalinya sejak Desember. Dalam perdagangan onshore, yuan diizinkan untuk berdagang di band yang dapat berfluktuasi 2% di kedua sisi tingkat referensi. Jadi bukan karena spekulasi pasar, Yuan turun. Bukan karena fundamental ekonomi China yang lemah. Penurunan ini by design. Para investor bingung. Apakah kelemahan Yuan mengisyaratkan keinginan Beijing untuk menggunakan yuan sebagai senjata dalam perang perdagangan,? Kalau Iya, tentu dengan ongkos melorotnya cadangan devisa China yang tidak kecil. Bisa mencapai ratusan billion dollar. Namun dengan Yuan melemah maka China akan punya daya saing di pasar ekspor walau AS melakukan penetapan tarif impor yang tinggi.
Menurut saya, apa yang dilakukan China tak lebih sebagai upaya memaksa AS berunding dalam posisi surrender or die. Mengapa ? China pernah melakukan devaluasi tahun 2015, dampaknya sangat luas dan terasa sempai sekarang. Recovery economy zona Eropa, AS dan Asia ( termasuk china sendiri ) semakin menandakan masa depan yang suram,
Lantas bagaimana dengan Indonesia ? Dari tahun ketahun perang dagang China- AS semakin sengit. Tahun tahun kedepan bagi Indonesia akan semakin sulit kalau masih menerapkan kebijakan mengandalkan arus likuiditas asing. Saatnya Indonesia harus mulai focus kepada kekuatan pasar domestik. Tidak bisa lagi mengandalkan pasar international dan kedigdayaan perusahaan besar menopang ekonomi nasional. Saatnya ekonomi kerakyatan berbasis pasar domestik harus dipacu dengan at all cost. Indusrialisasi agro dan sumber daya mineral harus dipacu melalui kebijakan fiskal dan moneter yang memungkinkan terjadinya peningkatan produksi dan perluasan pasar domestik.
Pencairan APBN harus efektif mendorong konsumsi domestik. Belanja yang tidak efektif dan tidak efisien, sebaiknya dipotong. Dan alihkan ke infrastruktur agar industri dapat tumbuh secara efisien dan kesempatan berusaha terbuka lebar dimana saja. Kredit program untuk UKM harus ditingkatkan. Segala hambatan perdagangan harus dipenggal. Program ekonomi rakyat seperti Bank Wakaf, BMT, Resi Gudang, BUMDesa berbasis IT harus diperluas agar semakin mudah diakses oleh rakyat. Secara prudential, upah harus terus ditingkatkan agar ikut memacu konsumsi dalam negeri.
Hari hari kedepan memang berat dan tidak menjajikan banyak hal. Saya yakin semua elite politik gamang dengan situasi ekonomi global. Mereka engga akan berani main main. Karena mereka sadar kalau ekonomi runtuh mereka duluan yang akan runtuh. Namun ditengah situasi muram itulah peluang besar bagi Jokowi untuk melakukan reorientasi pembangunan. Saya yakin Jokowi akan mampu melewati situasi ini. Karena dia nothing to lose.
No comments:
Post a Comment