Wednesday, August 28, 2019

Indonesia, lumbung pangan dunia.



Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penerimaan perpajakan sektoral dari pertambangan dan sawit mengalami tekanan cukup signifikan hingga Juli 2019. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, sepanjang semester I, penerimaan perpajakan netto kedua sektor ini bila digabung tercatat -10,11 persen year on year. Sedangkan secara rinci, pendapatan pajak industri pengolahan terdata -4,3 persen year on year.  Ini terendah sepanjang sejarah sawit dan tambang. Penyebab utamannya karena faktor eksternal dari adanya perang dagang China-AS. Saya tidak akan membahas lebih jauh dampak dari perang dagang yang berakibat negatif terhadap perdagangan kita. Saya ingin menulis soal kebijakan sawit.

Tahukah anda?, Di planet bumi ini 2/3 adalah air. Hanya sepertiga saja daratan. Luas daratan yang layak untuk ditanam untuk pangan sebesar 27% dari daratan itu. Sebagian besar 27 % berada di lintasan equatorial. Dari 27 % lahan itu , 11 % terdapat di Indonesia atau 40,7 % dari seluruh total wilayah potensi pertanian di dunia. Apa artinya?. Takdir kita di dunia sebagai lumbung pangan dunia. Jadi benar benar negeri yang menjadi rahmat bagi semesta. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah sudah benar kebijakan pertanian kita sesuai dengan takdir kita sebagai bangsa yang menjadi rahmat bagi semesta. Mari perhatikan uraian dibawah ini.

Dua pertiga wilayah Indonesia adalah perairan, dan sepertiga wilayah Indonesia adalah daratan. Namun, dari sepertiga daratan tersebut hanya 33 persen dimanfaatkan untuk lahan pertanian, sisanya 67 persen adalah kawasan hutan lindung. Luas lahan  yang bisa ditanami untuk  pertanian dan perkebunan diperkirakan sebesar 60 juta hektare. Dari 60 juta hektar itu, 20 juta hektar ditanami sawit. Artinya 1/3 lahan pertanian Indonesia digunakan untuk minyak. Komposisi ini benar benar pemborosan lahan. Karena nilai tambah ekonomi rendah dan nilai manfaat untuk pangan juga rendah. Ini kebijakan masalalu yang membuat kita negara yang kufur nikmat. 

Jokowi membuat kebijakan moratorium sawit. Itu langkah bijak sekali, apalagi diikuti dengan kebijakan hilirisasi CPO. Hanya saja, kebijakan itu justru lebih banyak ke Food for oil atau Bio disel.  Entah bagiamana Menteri menterjemahkan niat baik Jokowi itu. Kenapa ? Bayangkan kalau harga 1 ton sawit USD 600 maka untuk menghasilkan 1 barel crude untuk biodisel sebesar USD 100. Sementara harga Crude oil minyak bumi hanya USD 60. Itu artinya negara mensubsidi pengusaha sawit. Dan ini pemborosan. Mengapa pemerintah tidak focus mengembangkan sumber renewel energy tanpa harus mengorbankan lahan pertanian yang begitu luas? 

Seharusnya hilirisasi CPO itu ke Industri pangan dalam bentuk fetty acid untuk menunjang lahirnya downstream industri pangan secara luas. Pemerntah harus focus ke hilirisasi CPO untuk pangan, yang harganya setiap tahun terus naik dan kebutuhan dunia sampai tahun 2050 diperkirakan meningkat 70%. Sampai kini harga pangan dunia tidak terpengaruh dengan perang dagang China-AS. Apapun yang terjadi didunia ini, orang tetap butuh pangan. 

Kalau  kebijakan hilirisasi ini konsisten, tentu akan ada pengusaha Sawit yang tidak mampu mengembangkan CPO untuk pangan , biarkan mereka bangkrut. Seleksi alam akan terjadi  dengan sendirinya. Bukan tidak mungkin lahan sawit berubah fungsi untuk tanaman pisang atau pangan lain yang bisa melahirkan industri hilir pangan yang luas. Kalau ini terjadi maka kita sudah melaksanakan amanah Tuhan di bumi ini, yaitu menjadi lambung pangan dunia. Yakinlah apapun kebijakan untuk kemaslahatan dunia, Tuhan akan meridoinya. Tidak seperti sekarang kita mengalami paradox. Penghasil CPO tapi suffering karena perang dagang China-AS. Semoga ada perubahan kebijakan pada kabinet kedua ini.


No comments:

Negara puritan tidak bisa jadi negara maju.

  Anggaran dana Research and Development ( R&D) Indonesia tahun   2021 sebesar 2 miliar dollar AS, naik menjadi 8,2 miliar dollar AS (20...