Thursday, August 22, 2019

Hilirisasi Mineral?


Kemarin waktu makan malam dengan mitra saya di Hong Kong, dia mengatakan bahwa dunia terancam kekurangan pasokan baterai untuk kendaraan listrik ( EV). Kini perhatian kepada Indonesia untuk memasok itu. Salah satu raksasa industri Tsingshan dan Zhejiang Huayou Cobalt sedang membangun pabrik pencucian asam bertekanan tinggi (HPAL) senilai USD 700 juta. HPAL adalah proses yang digunakan untuk mengekstraksi nikel dari bijih laterit. Rencana kapasitas produksi mencapai 131.000 ton kristal nikel sulfat - pada akhir tahun 2020. Disamping itu, mereka sedang merencanakan untuk terus ekspansi.

Dunia membutuhkan tambahan 1,3 juta ton nikel selama 10 tahun ke depan. Harga nikel di London Metal Exchange saat ini diperdagangkan hanya di atas $ 13.000 per ton. Situasi inilah yang minggu lalu saya tulis agar pemerintah cepat tanggap melihat peluang untuk memaksa  lewat aturan industrialisasi tambang melalui produk downstream. Kalau hanya bahan baku maka yang mendapatkan nilai tambah hanyalah asing. Hari ini saya baca di media massa. Bahwa pemerintah akan mengeluarkan aturan melarang ekspor nickel dengan kadar dibawah 1,7%. Memang seperti lonceng kematian bagi penambang yang belum ada smelter untuk meng ekstrak nickel  menjadi material baterai lithium

Namun itulah yang harus dilakukan agar indonesia leading dalam  industri  baterai lithium. Benarkah ? 70% bahan bakunya ada di Indonesia. Kita akan menjadi produce lithium baterai terbesar di dunia. Artinya apa? Kita jadi global player. Kalau indonesia benar benar bisa memanfaatkan momentum pasar baterai kendaraan, maka saya yakin akan terjadi relokasi industri downstream nickel dari China,  Jepang dan lainnya. Ini akan cepat sekali realisasinya. Karena kebutuhan dunia akan baterai  sangat mendesak. Diperkirakan investasi sampai tahun 2023 itu US$ 18-70 miliar. Dan ekspor  by the time akan sampai kira-kira US$ 34 miliar. Itu lebih tinggi dari ekspor migas. Bandingkan bila Indonesia melakukan ekspor nikel semata maka yang diraup hanya US$ 600 juta hingga US$ 700 juta saja. 

China sudah melakukan investasi dari tahun 2014 di Sulawesi. Namun Jepang dan negara lain masih belum  begitu keliatan ambisinya. Saya dengar pihak Jepang dan negara lain akan berusaha melobi pemerintah agar larangan ekspor nickel mentah itu tidak dilakukan. Maklum ini akan mengancam industri baterai dalam negeri mereka, yang selama ini dapat pasokan nickle dari Indonesia. Walau kita sudah ada UU Minerba yang mengamanahkan soal hilirisasi tambang namun aturan praktis nya belum ada,  sehingga terus tertunda sejak tahun 2009 UU minerba disyahkan dan di revisi tahun 2014.

Saya berharap Jokowi bisa kuat menghadapi lobi negara lain dan segera keluarkan Perpres atau PP berkaitan dengan larangan ekspor Nickel ini. Jangan tunda, pak. Lakukan tahun ini juga. Karena ane mau gandeng investor dari China buat smelter juga.  Banyak juga pengusaha indonesia sedang melobi industri baterai di Jepang, Taiwan, untuk bangun pabrik pengolahan nickel di Indonesia. Semakin cepat aturan larangan ekspor semakin cepat proses negosiasi binis menggandeng investor merelokasi pabrik ke Indonesia.



No comments:

Memahami pasar uang secara idiot

  Kita perhatikan kurs Rupiah turun naik atau terjadi volatilitas. Itu bukan gamebling. Engga perlu ruwet amat lewat Analisa yang canggih un...