Friday, August 1, 2008

OECD

Minggu lalu Angel Gurria, sekjen OECD ( Oganization Economic Cooperation and Development ) berkunjung ke Indonesia. Kedatangannya disambut hangat oleh para petinggi negeri kita. Tentu dia adalah sahabat karib dari Menteri Keuangan kita yang pernah duduk sebagai advisor USAID dan Director IMF di Washington. Keduanya punya paham yang sama tentang perlunya liberalisasi dalam system pereknomian Indonesia. OECD adalah organisasi yang paling anti susbsidi dan penyokong utama neoliberal. Kedatangannya ke Indonesia bagian lain dari negosiasi penting dalam rangka kampanye liberalisasi investasi dan perdagangan. Walau pemerintah telah melakukan revolusi UU Penanaman Modal namun masih dinilai belum cukup oleh OECD Perlu lebih luas memberikan kesempatan asing menguasai kepemilikan sumber sumber ekonomi Indonesia.

Angel Gurria dan juga Srimulyani mempunyai visi yang sama. Gerak langkah yang dituangkan dalam kebijakan pemerntah tidak jauh beda dari keinginan Angel Gurria. Seperti ketika Menteri Keuangan
memohon agar DPR memikirkan lebih adil pengalokasian belanja rutin pemerintah yang mencapai total Rp641,4 triliun . Jumlah itu terdiri dari belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp272,1 trilium dan belanja non K/L sebesar Rp272,1 triliun. Belanja non K/L terdiri dari pembayaran bunga utang Rp94,2 triliun dan subsidi Rp208,6 triliun. Sudah saatnya mengurangi subsidi untuk lebih kepada keadilan bagi rakyat yang betul betul membutuhkannya. Demikian kata sang menteri yang juga seorang ibu. DPR pun hanya diam. Walau diam berarti kompromi karena belanja adalah kesejahteraan dari sebuah kompromi yang perlu dipertahankan terus. Caos ekonomi tentu akan menimbulkan caos social. Revolusi adalah yang menakutkan dan harus dihindarkan. Maka terbentuklah kompromi mati, tapi sebetulnya lebih memuja rasa aman dari sebuah status quo bahwa subsidi harus dikurangi bertahap karena kita tetap perlu asing untuk berhutang.

Bagaimanapun OECD merasa perlu menghargai kesediaan Indonesia untuk secara bertahap mengurangi subsidi. Yang lebih penting lagi adalah menghapus semua kebijakan PEMDA yang menghambat arus investasi asing masuk ke Indonesia. Demokrasi dan otonomi luas memang realita politik yang harus diterma namun kebebasan modal untuk menguasai resource adalah segala galanya. Makanya Departemen Keuangan telah mengevaluasi sekitar 7.200 perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Hasil evaluasinya menunjukan sekitar 28 persen Perda tersebut direkomendasikan dibatalkan atau direvisi, yakni mencakup 2.000 perda. Sementara untuk Ranperda, Depkeu telah mengevaluasi sekitar 1.800 rancangan. S ebesar 66 persen diantaranya atau sebanyak 1.200 rancangan direkomendasikan untuk ditolak pengesahannya, atau jika masih ingin diteruskan harus direvisi terlebih dahulu sebelum menjadi perda yang disetujui pemerintah daerah dan DPRD. Tak peduli walaupun Perda dan Raperda hasil keputusan kolektif para wakil rakyat yang ada di Daerah, yang merupakan hasil Pemilu dan PILKADA demokratis. Sebuah demokrasi akan menjadi hablur bila menyangkut kepentingan pemodal.

Kadang harapan perlu disampaikan kepada sang Menteri untuk berkata kepada sahabatnya “ Angel, andai pos cicilan hutang pada APBN sebesar Rp225,97 triliun dan bunga Rp. 97 triliun yang harus kami bayar tahun ini dapat anda kampanyekan kepada OECD untuk dialihkan kepada pos pos kesejahteraan rakyat, tentu akan sangat berarti bagi 36 juta rakyat kami yang hidup dibawah garis kemiskinan atau dialihkan untuk pendukung pendidikan anak anak terlantar. “ Sayangnya harapan ini tidak akan terjelma karena system pengelolaan keuangan negara yang korup dan un manageable. Maka menerima kemauan OECD adalah bentuk lain dari korup amanah rakyat agar bantuan asing dapat terus memanjakan elite penguasa.

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...