Wednesday, August 20, 2008

Pembangunan Infrastruktur

Dalam tahun 2009 ini pemerintah menekankan agar alokasi belanja modal harus lebih besar daripada belanja barang. Sebelumnya anggara belanja modal memang relatif kecil karena kebijakan privatisasi penyediaan infrastruktur. Nyatanya kebijakan privatisasi itu selama hampir 10 tahun tidak membuahkan hasil. Kecil sekali peran swasta yang mau ambil resiko atas investasi baru kecuali pengambil alihan saham pemerintah di perusahaan BUMN.

Pembangunan infrastrukture ekonomi seperti jalan toll, listrik, pelabuhan ,Air bersih , Bandara dan lain lain adalah investasi jangka panjang. Setiap investor ( private maupun lembaga ) akan berhitung cermat untuk menentukan keputusan. Hitungan cermat ini tentu berkaitan dengan risk management dan faktor yield comparatives . Dari segi risk management adalah soal regulasi penyediaan tanah ( jalan toll ) , hak pengelolaan ( kon sesi ) , tariff. Yield comparatives berkaitan dengan tingkat imbal hasil dibandingkan dengan fixed income investasi seperti Global Bond ( SUN). Karena keberadaan global Bond ( SUN) merupakan pagu imbal hasil ( IRR) yang selalu diperhitungkan oleh setiap investor masuk kedalam investasi disuatu negara.

Yang jadi pertanyaan adalah mengapa laju investasi infrastruktur rendah sekali.? Padahal tekad pemerintah untuk melakukan privatisasi sudah sangat jelas. Hal ini diperkuat oleh posisi APBN yang minim untuk penyediaan barang modal. Teman saya yang terlibat dalam business infrastrukture berkomentar “ masalah privatisasi ini tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh elite politik. Ada pertarungan ketat antara kelompok sosialis dan kapitalis bermain. Kadang sosialis menang dan kadang kalitalis menang. Itu semua tercermin dari berbagai produk regulasi. Akibatnya regulasi tersebut tidak pernah saling mendukung satu sama lain. Bahkan saling bertentantangan satu sama lain dan terkesan “ ada ketidak pastian hukum “ ,Inilah akar masalah mengapa program privatisasi mencerminkan resiko tinggi bagi investor.”

Dinegara maju yang super kapitalis pun tidak pernah menganggap privatisasi sebagai satu satunya jalan untuk menyediakan infrastrukture publik. Privatisasi sebetulnya adalah supplementary bagi infrastruktur yang sudah dibangun pemerintah untuk publik. Artinya pemerintah memberikan kesempatan swasta untuk menyediakan infrastrukture sebagai alternatif bagi konsumen yang berduit. Namun tetap saja jangka waktu pengelolaan ditentukan oleh pemerintah secara ketat. Makanya soal tarif tidak pernah dipermasalahkan karena motive investasi adalah motive laba dan pasar. Swasta akan menentukan tarif sesuai dengan hitungan business. Harga akan mencerminkan kepentingan daya serap pasar dan ROI. Tapi Indonesia , masalah Toll tidak jelas. Maunya privatisasi tapi tarif diatur. Maunya sarana alternatif tapi diandalkan satu satunya cara membangun infrastruktur jalan.

System kapitalisme memang memberikan cara cepat untuk menggenjot pembangunan ekonomi dan sekaligus cara mudah bagi pemerintah. Walau dalam konteks budaya politik di Indonesia hal ini tidak populer, apalagi ditengah tingkat penghasilan rakyat yang rendah. Namun pemerintah terjebat oleh APBN untuk bayar hutang dan akhirnya privatisasi layanan publik adalah solusi. Dan biasanya diakhir masa kekuasaan, kembali pemerintah mengoreksi kebijakan itu untuk menempatkan APBN sebagai motor penggerak pembangunan infratrukture seperti jalan Toll , listrik , PDAM. Walau sebetulnya itu hanya jargon populis menuju PEMILU 2009. Karena implementasi anggaran itu tidak bisa langsung diserap dalam satu tahun. Butuh waktu lebih dari tiga tahun. Nah kalau pemerintah berganti, tentu kebijakan ini kembali akan dikoreksi untuk mengamankan APBN dari kewajiban membayar hutang luar negeri. Dan kembali perseteruan terjadi antara elite sosialis dan kapitalis. Akhirnya pembangunan insfrastrukture tetap jalan ditempat. Inilah harga bila visi membangun tidak satu kata.

No comments:

Masa depan IKN?

  Jokowi mengatakan bahwa IKN itu kehendak rakyat, bukan dirinya saja. Rakyat yang dimaksud adalah DPR sebagai wakil rakyat. Padahal itu ini...