Soetanti (Tanti) bukan wanita biasa. Di dalam dirinya mengalir darah bangsawan. Ayahnya bernama Moedigdo. Putra dari Koesoemodikdo. Bupati Pertama di Tuban. Tetapi ayahnya tidak mau melanjutkan tradisi bangsawan menjadi Bupati. Dia justru pergi merantau ke Medan. Ibu Tanti adalah Siti Aminah. Dia adalah keturunan ningrat Minang dan sahabat sekolah Sutan Syahrir. Kecerdasan Soetanti memudahkan dia melanjutkan pendidikan kekedokteran di Jawa Tengah. Itu berkat bantuan biaya dari saudara sepupu ayahnya, R.M Susalit, yang juga putra tunggal dari RA Kartini.
Tahun 1946 Soetanti sebagai mahasiwi kedokteran mendatangi Kantor Majalah Dua bulan Bintang Merah, di Jalan Purosari, Solo. Saat itu dia adalah akfitis kampus. Atas nama Sarekat Mahasiswa dia mengundang pimpinan Majalah itu memberikan ceramah di Kampus. Saat itulah dia berkenalan dengan seorang pemuda yang pendiam namun serius. Walau pria itu tidak bisa menggoda namun saat pemuda itu berceramah dengan pasih tentang filsafat Marxisme, mengurai revolusi Prancis dan Rusia, juga soal-soal politik mutakhir. Dia semakin kesengsem.
Setelah itu hubungan Soetanti dengan pemuda itu semakin dekat. Namun kedekatan itu hanya sebatas formal. Pertemuan mereka hanya terjadi pada setiap acara. Tidak pernah mereka berduaan khusus. Suatu ketika, seusai pidato, pemuda itu menghampiri Tanti, lalu menyerahkan sepucuk surat yang ditujukan kepada Bapak Moedigdo, ayah Soetanti, seorang kepala polisi Semarang yang aktif di Partai Sosialis Indonesia. Surat itu ternyata surat lamaran. Pemuda itu menyampaikan niat meminang Soetanti. Moedigdo langsung setuju. Awal tahun 1948 mereka menikah. Ketika itu usia Soetanti 24 tahun dan Pemuda itu 25 tahun. Usia mereka berjarak hanya 1 tahun.
Siapa pemuda yang berhasil meminang Soetanti ? Dia adalah Achmad Aidit. Aidit adalah elite partai Komunis. Ayah Aidit dari Belitung, pendiri Nurul Islam beorientaasi kepada gerakan Muhammadiah. Ibunya dari Minang. Belum setahun pernikahan, pada September 1948 terjadi "Peristiwa Madiun", Aidit "buron". Yang menyedihkan, di saat suami buron, ayahnya tewas ditembak karena mendukung Amir Syarifuddin. Untuk menghidupi hari harinya Tanti buka praktek sebagai dokter. Tahun 1950 Aidit kembali ke Jakarta untuk membangun kembali PKI. Tanti ikut suaminya ke Jakarta. Pada tahun 1951 Aidit terpilih sebagai ketua Politbiro-eksekutif Partai. Sejak diangkat sebagai Ketua Partai, Aidit semakin sibuk. Dia jarang di rumah. Acap melakukan perjalanan ke luar negeri dan dalam negeri.
Kalau di rumah Aidit adalah suami yang egaliter. Tanti memanggil suaminya cukup dengan "Dit". Padahal semua orang sangat menghormati suaminya dengan tradisi feodal. Suaminya, selain ganteng, usia muda, berwawasan luas, cerdas , menyenangkan dan menghargai orang lain. Maka engga aneh bila Aidit disukai oleh banyak wanita. Namun Tanti sangat percaya akan kesetiaan suaminya. Aidit bukan tipe pria penggoda. Dia bahkan melarang elite partai PKI mempunyai istri lebih dari satu. Kalau terbukti ada anggota partai yang melakukan poligami, langsung dipecat.
Setelah pecah G30S PKI, Soentanti mendengar kabar Suaminya ada di Boyolali. Dia menyusul ke sana. Tetapi tidak lama. Kembali lagi ke Jakarta. Di Jakarta dia keciduk oleh aparat. Sekitar 16 tahun Soetanti tidak berjumpa anaknya. Dalam sel ia kerap membuat baju untuk anaknya. Namun baju itu masih berukuran kecil, sepertinya dia tidak pernah tahu anak anaknya sudah berangkat dewasa. Tahun 1980 Soetanti lepas dari penjara. Tahun itu juga dia bertemu dengan ketiga anak laki lakinya dan berkomunikasi dengan kedua putrinya di Paris. Tanti masih sempat berpraktek sebagai dokter. Ia wafat pada 1991. Kini anak anaknya, Ilham jadi arsitek tinggal di Bandung, Irfan tinggal di Cimahi, Iwan menjadi warga negara Kanada. Kedua putrinya, Iba dan Ilya tinggal di Paris.
Apa yang saya tanggap dari sosok Soetanti? Dia lahir dari keluarga bangsawan yang menolak tradisi bangsawan atau feodal. Karena semua tahu bahwa penjajahan Belanda sekian ratus tahun, itu karena adanya tradisi feodal dalam masyarakat Indonesia. Jadi kalau mau jujur, sulit membedakan antara penjajahan formal kolonial dan penjajahan feodalisme. Karena keduanya saling melengkapi. Soetanti bertemu dengan Aidit yang punya pandangan egaliter, membuat dia bukan hanya mencintai Aidit tetapi chemistry mereka sama. Sama sama anti feodalisme.
Memang sosialis komunis percaya bahwa perubahan terjadi hanya mungkin melalu revolusi. Sebagaimana eksitensi Partai Komonis China yang walau sudah berkuasa era Mao, masih perlu melakukan revolusi kebudayaan, yang tujuannya menghancurkan budaya feodal dalam masyarakat. Nabi Muhammad salah satu misi utamanya adalah menghancurkan budaya feodal. Dan Nabi sendiri mempraktekan hidup secara egaliter. Jadi, idiologi hanyalah alat politik. Apapun bisa punya bendera. Agama hanya metodelogi barakhlak. Tetapi esensinya adalah bagaimana idiologi dan agama bisa efektif mengikis habis budaya feodal. Setidaknya para tokoh politik dan agama bisa hidup sederhana. Kalau itupun sulit, berhentilah rakus. Selagi sikap egaliter tidak ada, maka idiologi dan agama hanya jadi alat perbudakan kepada mereka yang lemah.
No comments:
Post a Comment