Saturday, May 2, 2020

Pemerintah smart financial.


DPR memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan BI sebagai solusi mengatasi keterbatasan anggaran menghadapi COVID-19. Pertama, melakukan kebijakan quantitative easing lebih lanjut agar Bank Indonesia membeli SBN/SBSN repo yang dimiliki perbankan dengan bunga dua persen, khususnya perbankan dalam negeri agar memiliki kecukupan likuiditas.  Kedua, Bank Indonesia juga sebaiknya memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek kepada perbankan untuk mempertebal likuiditasnya, agar kemampuan perbankan sebagai transmisi keuangan tetap optimal dan sehat. Ketiga, Bank Indonesia juga dapat mencetak uang dengan jumlah Rp 400-600 triliun sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah.

Saya akan membahas tiga rekomendasi itu satu persatu. 

Pertama,  Quantitative easing itu beresiko terhadap makro ekonomi kita. Sebagai catatan, kebijakan moneter Quantitative Easing adalah penambahan jumlah uang beredar di pasar yang dialokasikan untuk pembelian surat berharga dan penyaluran pinjaman dengan bunga rendah. Karena skemanya bukan pada sektor real tapi surat berharga, pengalaman di negara lain seperti AS, Jepang, Eropa, uang lebih banyak mengalir ke bursa daripada ke sektor real. Sangat mudah berdampak inflasi dan merupakan inflasi yang sulit terkendali. Solusi menekan inflasi akibat QE hanyalah dengan cara menarik uang beredar dengan menaikan suku bunga. Yang untung  ya player keuangan.

Kedua. Memberikan skema pinjaman jangka pendek kepada Bank dalam bentuk KLBI, itu beresiko terjadinya moral hazard. Mengapa? Bank bank akan rame rame mengajukan pinjaman dengan alasan kesulitan likuiditas, Kita sudah punya pengalaman tahun 98.  Tadinya hanya segelintir bank saja yang benar benar collapse namun karena dapat KLBI, langsung terjadi skema white collar crimes dari bank lain yang juga rame rame mengajukan kredit likuiditas. Akibatnya moneter kita jebol, akhirnya terpaksa jadi pasien IMF. Masih belum kapok?  tuh contoh terdekat adalah kasus bank century, semua Kredit likuiditas yang diterima dari BI bermodus fraud. Termasuk bailout. 

Ketiga, Cetak uang sebagai skema penyelamatan defisit anggaran pernah kita lakukan era Orla. Apa yang terjadi? pemotongan uang atau sanering. Serentak orang pada bankrut dan banyak yang gila. Setelah itu hyperinflasi terjadi. Krisis politik terjadi, dan Soekarno akhirnya jatuh. Mengapa? printing money itu tanpa underlying asset. Akibatnya kontrol penyaluran uang sangat longgar. Biasanya kalau uang di create melalui printing  money, sifat prudential terabaikan. Yang terjadi adalah bancakan. Apalagi inflasi diatas 3% itu bisa terbang jadi dua digit. Cepat sekali collapse nya.

Sebetulnya engga perlu panik soal kebutuhan anggaran mengatasi pandemi COVID-19 dan krisis ekoomi. Mengapa? Ibarat orang kaya, Indonesia itu pintar nabung dan smart berhutang. Jadi memang pemerintah Jokowi itu smart financial. Kebutuhan dana sebesar Rp 405 Triliun, itu bukan masalah besar. Pemerintah punya sumber dana alternatif untuk membiayai kebutuhan dana stimulus COVID-19 itu.  Dari mana duitnya ?

Dulu sebelum era Jokowi, setiap Sisa Anggaran Lebih (SAL) dari APBN diberikan kepada DPR untuk disalurkan langsung ke Dapilnya. Tetapi Era Jokowi. Uang itu ditabung oleh Menteri keuangan di BI. Jumlahnya sebesar Rp160 triliun. Pemerintah juga punya dana Abadi yang dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP),  diperkirakan jumlahnya Rp. Rp51,117. Uangnya ada di BI. Kemudian ada lagi penghematan belanja sekitar Rp190 triliun dalam APBN 2020. Angka itu berasal dari tiap kementerian/lembaga (k/l) sebesar Rp95,7 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp94,2 triliun.  Dari hasil realokasi APBN  juga tersedia dana siaga sebesar sebesar Rp54,6 triliun. Jadi engga ada masalah soal dana. Dana tabungan lebih dari cukup.

Yang jadi masalah keliatanya DPR tidak sepenuhnya sependapat dengan Pemerintah atas kebijakan realokasi APBN yang begitu besar. Maklum dana SLA itu juga diambil dari dana SiLPA pemda dan realokasi dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp94,2 triliun. Sebentar lagi mau PILKADA serentak. Kalau dana APBD cekak, ya partai terpaksa manyun. 

Berkaitan dengan stabilitas moneter dan keuangan, sistem moneter kita sangat solid. Resiko bank sudah ada yang cover yaitu LPS ( lembaga Penjamin Simpanan). Akumulasi premi LPS lebih dari 10 tahun itu praktis engga terpakai. Karena engga ada bank yang  bankrut yang harus di bailout. Memang pernah ada century, tetapi akhirnya ketika Century dijual, malah LPS dapat untung. Dana akumulasi ini, LPS bisa investasikan ke SBN. Untuk apa ? memberikan subsidi bunga kepada debitur, sehingga Bank tidak suffering karena kehilangan pendapatan dari bunga. Jadi dana stimulus itu kepada dunia usaha yang bergerak disektor real, namun karena itu perbankan selamat. Bandingkan dengan QE yang dapat subsidi perbankan lewat likuiditas dan bunga murah.

Bagaimana kalau COVID-19 terus berlangsung sampai akhir tahun? pemerintah masih punya ruang menerbitkan SBN lewat skema internal settlement  dengan BI sebagai the last resource. Sampai Rp. 800 triliun masih eligible. Karena asset BUMN yang dipegang pemerintah saja mencapai Rp. 8.092. Kalau ditotal semua bisa mencapai Rp. 12000 Triliun.  Pasar mengetahui ini semua, makanya Global bond kita Oversubscribed di bursa international. Jadi bukan soal uang tetapi bagaimana uang di create untuk memastikan sistem bekerja efektif untuk menstabilkan moneter dan keuangan. Itulah ilmu ekonomi sesungguhnya.

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...