Sunday, March 10, 2019

Utopia ala Prabowo?


Prabowo bertemu dengan petani yang mengeluh karena harga jual rendah. Dengan tegas Prabowo mengatakan akan menaikan harga petani. Lain waktu dia bertemu dengan konsumen di pasar yang mengeluhkan harga kebutuhan pokok naik. Dia berkata dengan lantang bahwa dia akan menurunkan harga pangan. Dia bertemu dengan masyarakat kelas bawah yang mengeluh BBM mahal, listrik mahal. Dengan responsip dia berkata bahwa akan menurunkan harga BBM dan listrik. Lain kesempatan dia bertemu dengan orang yang mempertanyakan BUMN merugi. Dia segera menjawab akan membuat BUMN untung. Pada satu kesempatan dia berorasi bahwa akan melunasi hutang negara. Lain waktu kita membaca berita dia digugat karena default bayar utang perusahaannya. Bertemu dengan Dokter dan pengelola RS yang mengeluh karena pelayanan BPJS merugikan mereka. Prabowo menjawab akan membuat BPJS suplus tanpa merugikan dokter dan RS.

Kalau anda cliping semua perkataan Prabowo dari waktu ke waktu, anda akan sampai pada kesimpulan bahwa apa yang dia katakan itu bukan berangkat dari akal  sehat. Mengapa ? dari waktu ke waktu katanya katanya adalah paradox. Dulu kala dimana dimensi iman memonopli kebenaran, orang percaya akan deus ex machina, dewa yang keluar tiba-tiba dari ”mesin” dan menyelamatkan manusia dari tebing jurang bencana. Orang percaya dengan kata mujizat atau utopia. Kalau Tuhan mau semua bisa. Tidak ada yang tidak mungkin. Bahkan di negara komunis yang katanya anti Tuhan, pernah mempercayai seorang Trofim Lysenko petani asal Ukraina yang menjanjikan utopia. Dia menjanjikan bisa mengubah padang gersang Transkaukasus jadi hijau di musim dingin, hingga ternak tak akan punah karena kurang pangan, dan petani Turki akan mampu hidup sepanjang musim salju tanpa perlu kawatir menghadapi hari esok. 

Menjelang akhir 1950-an, rakyat China yang sedang tertindas oleh kapitalisme dari rezim Kuomintang, percaya dengan mukjizat sosialisme yang disampaikan oleh Mao Zedong. Kepada  rakyat China yang lapar dan miskin, dia katakan bahwa sosialisme membawa mereka kepada sorga di dunia. Semua hal yang berhubungan dengan kebutuhan pangan, sandang, papan, energi, diurus negara dan memastikan rakyat bisa mendapatkannya dengan harga murah dan mudah. Pendidikan dan kesehatan sepenuhnya dijamin oleh negara. Orang kaya akan diburu dan dimiskinkan agar keadilan sosial terjadi. Ia dengan tegas mengatakan bahwa sosialisme adalah ilmiah, bukan sekedar mimpi. ”Loncatan jauh ke depan” bagi China bukan hal yang tidak mungkin. Mao dapat dengan mudah mempengaruhi rakyat untuk menjatuhkan rezim Kuomintang. Yang mempertanyakan jargonnya dia habisis di kamp kerja paksa dalam masa revolusi kebudayaan.

Istilah mukjizat atau utopia memang hadir dan diterima dalam sistem politik totaliter. Agama dan komunis sama saja. Benarkah utopia itu terjadi ? 1964, hampir sedasawarsa setelah Stalin mangkat, ilmuwan terkemuka Andrei Shakarov secara terbuka mengecam mukjizat yang dijanjikan oleh Lysenko. Justru dialah yang bertanggung jawab atas jatuhnya produksi pangan yang berdampak kepada kelaparan. Lysenko juga bertanggung jawab atas penyebaran pandangan pseudo-ilmiah. Memang selama Lysenko dipercaya oleh partai dan Stalin, tak seorang pakar pertanian pun yang berani membantahnya.  Kalau ada pakar pertanian yang berani membantahnya akan disingkirkan dan dihabisinya. Selama Mao berkuasa dia ingin melakukan masinasi pertanian dengan memproduksi sendiri alat pertanian. Ribuan tanur tinggi untuk produksi baja dibangun dengan mengerahkan segala bahan yang ada. Apa hasilnya ? baja yang tak bermutu. Sementara itu, di seantero Cina yang luas, selama dua tahun berjuta-juta petani telah dikuras tenaganya untuk itu, hingga sawah dan ladang telantar. Kelaparan pun datang. Puluhan juta rakyat mati kelaparan.
Memang, keberadaan Lyzenko dan Mao tidak datang begitu saja. Itu terjadi karena situasi dan kondisi memang mendukung. Orang percaya  Lysenko ketika Uni Soviet menghadapi krisis pangan setelah ladang-ladang pertanian diambil alih negara dan panen gagal bertubi-tubi. Begitu juga dengan Mao yang tak bisa dipisahkan dari trauma melihat keseharian China ditahun 1928. Bocah bocah pekerja perajut sutra di Shanghai, yang berbaris panjang, berdiri selama 12 jam di depan kuali-kuali perebus kepompong yang mendidih. Anak-anak berumur sekitar sembilan tahun itu menatap lelah, sementara jari tangan mereka bengkak memerah memunguti kepompong ulat sutra yang direbus itu. Para mandor berdiri di belakang mereka dengan cambuk kawat, tak jarang mendera bocah yang salah kerja. Ada yang menangis kesakitan. Di ruangan yang penuh uap dan panas itu, mereka terlalu sengsara untuk bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Sejarah mengajarkan kepada kita. Utopia hanya laris ketika yang terkecoh dan yang mengecoh bersatu. Ketika nafsu lebih dominan untuk memenuhi keinginan dimana semua serba mudah dan murah. Makanya retorika bernada ancaman selalu bersanding dengan harapan akan mimpi sosialisme dimana semua kebutuhan di urus negara.  Sejarah mencatat bahwa program utopia itu selamanya gagal, bahkan ketika ia didukung Firman Tuhan, dan filsafat sekalipun.  Program utopia menjadi mudah diterima oleh orang banyak ketika sifat rakus lebih dominan. Ingin segala sesuatu terjadi dengan mudah. Too Good To be true.  Atau bisa saja keinginan untuk mendapatkan mukjizat mungkin sebanding dengan tingkat putus asa karena insecure secara financial. Kehidupan rumah tangga yang Insecure karena ekonomi yang labil dan kehidupan sex yang buruk. Makanya disituasi itu para penipu semacam Lysenko, politikus semacam Mao bisa hadir dan diterima.

Tapi kini di Indonesia , situasi dan kondisinya tidak sama dengan Uni Soviet di era Stalin dan China di era Mao. Kini Indonesia masuk dalam anggota G20 dan masuk dalam kelompok negara yang punya PDB diatas 1 triliun dollar AS. Pembangunan terjadi meluas. Jaminan sosial diterapkan secara menyeluruh. Demokrasi hidup dan kebebasan diutamakan. Memang belum semua merasakan kemakmuran tetapi proses menurunkan angka kemiskinan terus terjadi dari tahun ketahun. Rasio GIni juga turun untuk semakin menuju kepada keadilan sosial. Di era Jokowi ”iman” dan ”ilmu” tak dibiarkan memegang monopoli. Informasi mengalir leluasa, pertanyaan dan keraguan dengan bebas dinyatakan, dan tiap pengetahuan diperlakukan hanya sampai kepada tingkat pengetahuan, bukan kebenaran. Dan di sini, bahkan kantor kepresidenan tak bisa dan tak hendak membungkam perdebatan. Jokowi tidak bicara mukjizat tapi proses kerja keras, dan dari sana dia membangun insprasi untuk orang  beriman secara ikhlas.

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...