Sunday, March 31, 2019

Catatan Debat Capres ke empat.

Pertahanan.
Prabowo mengatakan bahwa ketika dia masih AMN, para jenderal mentornya bilang, tidak akan ada perang dalam 20 tahun Kedepan. Namun kenyataannya dia keluar dari AMN terjadi perang di Timor timur. Saya tidak tahu apakah benar para jenderal itu bicara seperti itu. Namun yang jelas era dulu dengan sekarang berbeda. Dulu ketika PS di AMN perang dingin antara blok AS berhadapan blok USSR ( uni Soviet ) sedang berlangsung. Jadi perang kapan saja bisa terjadi, baik perang dunia maupun Perang regional seperti invasi Indonesia ke Timor timur yang dikuasai partai komunis. Tetapi sekarang keadaannya berbeda. Semua negara sedang suffering karena krisis moneter sebagai dampak dari economic imbalance. Perang regional kecil sekali kemungkinan terjadi. Kecuali karena alasan agama yang lebih kepada perang proxy secara internal. Kalaupun akhirnya asing terlibat itu bukanlah invasi secara langsung tetapi menerapkan hukum PBB.

Prabowo menilai anggaran TNI di era Jokowi kurang. Makanya dia punya rencana menaikkan anggaran TNI. Benarkah? Mari cek fakta dan data. Tahukah anda bahwa sejak Jokowi berkuasa Anggaran belanja Kementerian Pertahanan atau Kemenhan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kian meningkat sejak 2014. Kenaikan dana tersebut berdasarkan prioritas pembangunan. Kementerian Pertahanan menerima anggaran sebesar Rp 86,4 triliun pada 2014. Pada 2015, anggaran itu meningkat cukup signifikan hingga Rp 108,7 triliun. Angka itu meningkat pada 2016 dengan anggaran senilai Rp 112,4 triliun. Tahun 2017, anggaran Kementerian Pertahanan kembali meningkat hingga Rp 114,9 triliun. Tahun 2018 sebesar Rp 107,7 triliun. Tahun 2019 Rp. 108 Triliun. Walau anggaran turun namun tetap peringkat dua terbesar dalam hal alokasi anggaran di APBN. Bila bandingkan data 10 tahun kebelakang maka aka terjadi peningkatan 10 kali lipat.

Saat sekarang di ASEAN dalam hal anggaran pertahanan, Indonesia negara terkuat kedua setelah Singapor. China dan AS berpikir ulang menekan Indonesia ketika Jokowi bersikap atas perairan Natuna. Mengapa ? Jokowi menempatkan kekuatan penuh armada laut di Natuna. Pada tahun 2018, Natuna menjadi show force hilir mudik alutsista (alat utama sistem pertahanan) TNI. Secara bergantian armada kapal perang permukaan serta angkatan udara, seperti Sukhoi Su-35, Su-30, Su-27, F-16, T-50i mendatangi pangkalan udara Ranai untuk saling isi, saling lengkap, saling sinergi menjaga batas teritori yang di utara.

Lalu, pangkalan AL Natuna juga disebar berbagai jenis KRI kombatan, Ahmad Yani class, Diponegoro class, Bung Tomo class, Martadinata class, dan tentu saja kapal selam. Juga bergabung dengan 5 kapal selam baru dari jenis Changbogo class. Selain itu, pangkalan udara Supadio di Kalimantan Barat juga dikuatkan sebagai PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) bersama pangkalan AL Pontianak yang berfungsi sebagai pangkalan sinergitas dengan pangkalan militer di Natuna. Diharapkan, pembangunan kekuatan militer tahun 2018 sudah mendapatkan titik tumpu pertahanan yang mampu menjangkau seluruh wilayah tanah air. Termasuk jalur pelayaran alternatif kedua ke Pasifik.

Dalam konsep pertahanan modern, kekuatan militer bukan bertujuan menciptakan perang tetapi menciptakan perdamaian. Artinya semakin kuat militer suatu negara semakin besar peran negara untuk ambil bagian dalam perdamain dunia. Dan bagi Indonesia , ini sesuai dengan pembukaan UUD45. Hanya di era Jokowi militer Indonesia disegani dipanggung dunia. Dan menguntungkan diplomat Indonesia dalam memenangkan perundingan multilateral disegala bidang. Paham ya pak Prabowo..

***
Pengelolaan Pemerintah.
Dalam hal pengelolaan pemerintahan, antara Prabowo dan Jokowi sangat berbeda sekali. Kalau Prabowo berfokus kepada kepemimpinan yang kuat dan tegas. Karenanya Prabowo berprinsip menciptakan lembaga pemerintah yang kuat. Sementara Jokowi lebih kepada pendekatan sistem. Pemberantasan korupsi dan kualitas birokrasi ditentukan oleh system. Yaitu system yang berorientasi kepada tranparansi dan akuntabiltas. Gimana caranya ? Ya tersedianya sarana pendukung dalam bentuk IT atau e goverment. Dua capres ini menunjukan sikapnya secara vulgar didepan publik tentang karakter mereka. Prabowo masih percaya gaya kepemimpinan otoriter dan top down. Sementara Jokowi menerapkan kepemimpinan meritokrasi atau melayani. Bersandar kepada system yang dijalankan. Dengan standar SDM yang punya kompetensi. Jadi bukan besar kecil gaji yang membuat orang itu korupsi atau tidak. Tetapi kompetensi, yang tentu didalamnya sudah termasuk integritas dan loyalitas, dedikasi kepada tugas.

Anda semua tahu akan China. Itu negara lebih luas dari Indonesia. Populasinya 6 kali lebih besar dari Indonesia. Andaikan china tidak pernah menerapkan e-goverment, mungkin sampai kini china masih hidup dalam kegelapan. Mengapa ? Mereka tidak pernah bisa membuat kebijakan yang cepat dan terukur. Karena terjebak oleh birokrasi yang gemuk dan lambat. Tetapi sejak tahun 96 China sudah membangun infrastruktur IT untuk mendukung egoverment. Lima tahun setelah itu, china sudah berhasil menerapkan egovement secara menyeluruh. Apa yang terjadi ? Terjadi pengurangan PNS mencapai 25 jura orang. Terjadi peningkatan pelayan publik di front Office di semua instansi pemerintah. Karena adanya dukungan back office yang handal berkat IT system dengan server dan jaringan yang berkecepatan tinggi.

Dengan IT system, semua pembayaran gaji PNS melalui bank. Semua ID PNS terhubung dengan database kependudukan. Sehingga setiap transaksi keuangan seperti menabung, belanja barang atau jasa, terhubung ke database pemerintah dan lembaga anti korupsi. Jadi sangat sulit bagi PNS mau korupsi. Nah secara system korupsi terawasi lewat IT. Apakah PNS dikecewakan ? Tidak. Karena berkat IT system pula indek prestasi setiap PNS terukur dengan jelas dan insentif ditentukan karena itu. Makanya jangan kaget bila pendapatan kepala stasiun lebih tinggi dari walikota. Pendapatan guru TK bisa lebih tinggi dari dosen. Orang dibayar bukan karena posisinya tetapi karena kinerjanya. Semakin baik kinerjanya semakin tinggi penghasilannya. Makanya engga aneh di china bila lulusan terbaik universitas menempatkan PNS sebagai pilihan utama dalam berkarier. Berbeda dengan kita, dimana lulusan terbaik ITB dan UI lebih memilih berkarier di MNC.

Era kedepan pengelolaan pemerintahan secara top Down dan otoriter udah jadul. Kini era IT dan transparansi sebagai buah dari demokrasi. Pengelolaan pemerintah melalui pendekatan system lebih manusiawi. Karena manusia dianggap Aset atau sumber daya, bukan kerumunan orang banyak yang hanya jadi mesin politik seperti di Korea Utara.

***
Bandara dan Pelabuhan.
BPada waktu debat capres ke empat kemarin, Prabowo dengan tegas menolak penjualan atau pengelolaan bandara atau pelabuhan kepada swasta asing. Alasannya bahwa bandara dan pelabuhan itu adalah kawasan strategis secara militer, yang harus dikuasai negara sebagai lambang kedaulatan. Dengan retorik PS mengatakan bahwa dia belajar di militer yang mendidik soal itu. Namun dengan tangkas Jokowi menjawab itu ? Bahwa sampai sekarang bandara dan pelabuhan masih dikuasai oleh Angkasa Pura dan Pelindo. Kalaupun ada dikola swasta, itu dalam rangka investasi dibidang infrastruktur yang memang hampir semua negara menerapkan itu. Namun Prabowo tetap dengan sikapnya. Saya melihat dalam debat ini pertama, pemahaman PS soal undang undang infrastruktur publik sangat minim. Kedua, PS tidak bisa membedakan pangkalan militer dengan pangkalan komersial. Dinegara manapun pangkalan militer ( pelabuhan dan bandara ) berada ditempat khusus yang tidak menyatu dengan kawasa publik.

Sesuai UU, pelabuhan dan bandara itu dikuasai oleh Negara. Tetapi itu berhubungan dengan otoritas bandara dan pelabuhan. Apa saja otoritas bandara dan pelabuhan itu? Pertama , Kepabean, kedua, pengaturan lalu lintas pesawat dan kapal. Artinya boleh atau tidak pesawat mendarat dan terbang yang menentukan adalah negara. Boleh atau tidak kapal sandar di pelabuhan atau berlayar yang menentukan adalah pemerintah. Ketiga. Keimigrasian dan administrasi sepenuhnya di tangan negara. Artinya keluar masuk orang di bandara dan pelabuhan dibawah pengawasan dan aturan pemerintah. Nah dimana peran swasta atau asing sebagai investor? Peran mereka sebagai pengelola hanya sebatas terminal saja yang berupa bangunan dan fasilitas bandara atau pelabuhan. Itupun bukan hak memiliki tetapi hak konsesi dalam bentuk MBO ( management boyout). Artinya mereka hanya berhak mengelola saja sesuai kontrak. Mengapa ?

Karena UU pelayanan publik sampai kini belum berubah. Bahwa pelabuhan, kereta api, bandara dikuasai oleh negara. Dikuasai ini bukan harus negara secara langsung memiliki tetapi melalui BUMN. Nah untuk bandara dipegang oleh Angkasa Pura. Untuk pelabuhan oleh Pelindo dan ASDP. Untuk kereta api dipegang oleh PT. KAI. Semua saham BUMN itu di kuasai oleh negara dan direksinya diangkat oleh pemerintah. Jadi dapat disimpulkan bahwa sampai kapanpun selagi UU belum diubah maka selama itu pula kedaulatan negara atas bandara, pelabuhan, kereta api sepenuhnya dikuasai oleh negara. Kapan saja kalau negara mau gunakan dalam rangka darurat seperti perang, penanganan bencana, Infrastuktur itu bisa dikuasai langsung dengan menugaskan Militer. Semoga PS memahami aturan dan peran infrastruktur publik dalam pembangunan nasional. Paham mana pangkalan militer dan infrastruktur publik. Walau keduanya berbeda namun prinsipnya tetap sama yaitu milik negara dan tidak akan pernah dijual ke asing. Semoga Team Ahli PS juga memahami ini.

No comments:

Jebakan hutang membuat kita bego

Politik Global dulu jelas. Seperti adanya block barat dan timur dalam perang dingin. Arab-israel dalam konflik regional di timur tengah. Dim...