Friday, August 29, 2014

Subsidi atau hutang?

Ketika Obama sikulit hitam yang buyutnya pernah menjadi warga second class di amerika karena politik perbedaan kulit dan perbudakan di Amerika terpilih sebagai Presiden, teman saya sebagai fund manager di New York mengatakan dalam emailnya bahwa sudah saatnya orang bermental dan berpikir sosialis untuk memimpin Amerika. Karena pasar butuh kebijakan kapitalis yang dilakukan oleh mereka yang berpikir sosialis dan dipilih oleh rakyat yang berharap pada sosialisme. Yang pasti kemenangan Obama yang katanya berkat people power adalah hadiah pembujuk tangis rakyat Amerika akibat hancurnya ekonomi Amerika oleh kaum kapitalis. Obama terpilih, rakyat seakan melupakan kesalahan rezim dimasa lalu. Saya sempat bingung membaca arah pembicaraan teman itu. Semua terjawab dengan mudah ketika George Bush berkonsultasi kepada presiden terpilih Obama untuk kebijakan mem bail out kerugian perbankan akibat krisis supreme. Usai Obama dilantik,  tindakan bail out terus berlangsung. Dana bail out itu berasal dari Hutang dan karenanya hutang Pemerintah Amerika terus menggunung dan akhirnya melewati pagu yang ditetapkan oleh UU. Karenanya sempat dua kali pemerintahan Obama di suspended tapi akhirnya kembali DPR menyetujui penambahan hutang diatas pagu. Walau Obama mempunyai program konpensasi seperti  paket kebijakan Jaminan sosial bagi keluarga miskin namun dampak dari kebijakan bail out itu sangat massive dan sistematis membuat sebagian besar rakyat Amerika menderita. Sampai kini proses recovery belum juga nampak. Obama dan rakyat Amerika telah dijebak oleh system yang membuat mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menyelamatkan system dengan cara bail out.

Semua tahu bahwa PDIP yang mengusung Jokowi sebagai Presiden adalah partai sosialis yang nasionalis. Kebijakan subsidi adalah ciri khas sosialisme. Tahun 2012/2013 PDIP menolak kenaikan BBM bukan bermaksud menolak mengurangi besar subsidi tapi tidak setuju program pengurangan susbidi yang dialokasikan untuk Bantuan Tunai Langsung yang bersifat inflatoir.  Karenanya PDIP menolak kenaikan BBM namun menyarankan agar pemerintah menaikan pajak dan melaksanakan efisiensi dengan mendorong terbangunnya refinery baru dan perbaikan Tata niaga BBM. Jadi lebih bersifat struktural , bukan politis. Mengapa ? Karena ketika itu Indonesia masih mengalami surplus penerimaan sektor minyak dan gas. Tapi sekarang total penerimaan migas ditambah PPH migas dikurangi dana bagi hasil dan subsidi itu , net impact nya sudah negatif. Penyebabnya adalah adanya peningkatan konsumsi minyak yang sangat luar biasa, yang pada waktu bersamaan lifting minyak menurun serta program energy alternative gagal total.Tahun ini, sesuai ketetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN-P) alokasi subsidi energi mencapai 453, 3 triliun. Angka ini mencakup subsidi BBM, termasuk Elpiji dan BBN sebesar 350,3 triliun ditambah dengan subsidi listrik tercatat 103 triliun rupiah. Sementara subsidi non-energi sebesar 52,7 triliun rupiah sesuai kesepakatan Sidang Paripurna DPR-RI, belum lama ini. Bandingkan tahun 2010 ketika PDIP menolak kenaikan BBM, subsdi energi masih sekitar 139,9 triliun rupiah. Yang menyedihkan alokasi anggaran subsidi BBM tersebut didanai sebagian besar dari utang pemerintah. Kebergantungan BBM impor tentu menambah beban anggaran sehingga mendorong terus melajunya beban utang. Inilah jebakan kapitalis yang diwariskan oleh SBY kepada Jokowi.

Harap dimaklumi keadaan APBN sudah lampu merah karena melambatnya pertumbuhan ekonomi global yang berdampak kepada turunnya permintaan komoditas andalan Indonesia serta harga export yang terus melemah. Akibatnya nilai tukar rupiah terhadap valas sepanjang tahun 2014 melemah. Pelemahan rupiah itu membuat beban subsidi naik , beban bayar bunga dan cicilan hutang juga naik fantastik, pertumbuhan ekonomi melambat dengan menurunnya penerimaan APBN. Tentu hal ini berdampak buruk terhadap makro ekonomi dengan defisit menganga,  yang terpaksa menambah hutang lagi. Data Ditjen Pengelolaan Utang Kemenkeu, total utang pemerintah hingga Februari 2014 mencapai 2.428,63 triliun rupiah dengan rasio 24,7 persen terhadap PDB namun debt service ratio tahun 2014 ini diperkirakan sudah melewati batas aman yaitu 45%. Sementara tahun 2014 ini, pemerintah masih akan mencari utang untuk menutup defisit anggaran. Salah satunya akan menarik utang baru melalui penjualan surat utang atau obligasi. Disisi lain, nilai inflasi yang sulit dikendalikan oleh Pemerintah membuat investor khususnya di sektor finansial cenderung khawatir akan kondisi makro ekonomi Indonesia. Tingginya ekspektasi inflasi tersebut  membuat suku bunga (yield) obligasi pemerintah naik tajam. untuk obligasi tenor 10 tahun misalnya, naik hingga tiga persen dalam dua bulan terakhir. Akibatnya, beban APBN semakin berat, dan berat. Jokowi bisa saja tidak menaikan BBM namun pemerintah harus menutupi difisit itu dari hutang lagi. Saya rasa salah besar kalau kita memilih Jokowi hanyalah melanjutkan mindset dan mental kekuasaan seperti Presiden sebelumnya; berhutang demi popularitas dan memanjakan rakyat dengan pertumbuhan ilusi. Kita memilih Jokowi karena kita inginkan perubahan,walau karena itu sangat pahit.

Tidak perlu pulalah kita mengutuk masa lalu penuh pesta yang meninggalkan beban utang gigatik. Yang penting sekarang pemerintah harus keluar dari jebakan hutang ini. Apa yang harus dilakukan oleh Jokowi? Pertama, jangan menambah hutang baru. Kedua, ciptakan ruang fiskal dengan menghindari difisit anggaran. Caranya ? kurangi subsidi secara gradual dan pangkas anggaran belanja pegawai sampai 30%.Ketiga, meningkatkan penerimaan negara lewat pajak dan perbaikan pola bagi hasil migas dan Minerba. Namun jangan lagi focus ketergantungan sumber penerimaan devisa dari eksport komoditas SDA seperti migas, minerba, CPO, Kopi, Coklat.  Mulailah membangun dengan paradigma baru yang berlandaskan kepada kemampuan SDM. Indonesia harus mempunyai visi menjadi negara Industri yang kuat. Dengan melakukan ketiga hal tersebut maka pemerintah harus fokus memprovide infrastruktur ekonomi secara luas agar semua  potensi wilayah bisa menjadi potensi ekonomi real, agar arus barang dan jasa menjadi efisien untuk kesejahteraan Rakyat. Memang dalam jangka pendek kebijakan ini akan sangat menyulitkan bagi rakyat kecil karena akan terjadi kenaikan harga sembilan bahan pokok sebagai akibat inflasi effect namun ini tidak akan berlangsung lama. Dalam jangka menengah ekonomi akan bergairah karena adanya ekspansi fiskal menstimulus ekonomi lewat pembangunan jalan raya, jalan kereta, bendungan, pelabuhan laut, bandara, kawasan industri,dan lain lain. Disamping itu kebijakan penguatan industri lewat sistem moneter akan bersinergi mensuplai dana sektor produksi. Semua ini dalam jangka panjang akan membuat rakyat sejahtera karena kesempatan terbuka luas bagi siapa saja yang mau bekerja keras. 

Semoga Jokowi tidak meniru Obama yang mengeluarkan kebijakan sosialis untuk kepentingan kapitalis. Kita ingin Jokowi seperti Deng Xiaoping yang mengeluarkan kebijakan kapitalis untuk kepentingan sosialis. Kebijakan ekonomi yang baik adalah bukan menentukan berapa harga dipasar tapi bagaimana agar rakyat mampu membayar harga. Nah inilah tugas negara yang sebenarnya. Pertumbuhan ekonomi lewat subsidi adalah pertumbuhan ilusi,tidak mendidik rakyat dan tentu tidak terstruktur.Di China , harga BBM dua kali lipat dari Indonesia. Berobat tidak ada yang gratis.Sekolah harus bayar tapi semua rakyat China mampu membayarnya karena mencari nafkah mudah dan setiap kerja keras dihargai secara pantas oleh sistem yang di create oleh negara...

2 comments:

Rinaldy Roy said...

PETRAL Tandingan..

Secara struktur Pertagas dan Petral di bawah Pertamina tapi PGN lepas dari Pertamina. Kenapa tidak dibuat tandingan Petral yg secara struktur mirip dng PGN ?

Rinaldy Roy said...

PETRAL Tandingan..

Secara struktur Pertagas dan Petral di bawah Pertamina tapi PGN lepas dari Pertamina. Kenapa tidak dibuat tandingan Petral yg secara struktur mirip dng PGN ?

Putin memenangkan Pilpres Rusia.

  Pemilu Rusia, memilih empat calon presiden, yaitu Putin, Leonid Slutsky, Nikolai Kharitonov, dan Vladislav Davankov. Hasilnya ?  Komisi Pe...