Hari sabtu lalu saya diskusi
dengan partners saya yang mengelola sumur minyak. Kami membicarakan tentang
ambisi Jokowi-JK untuk membangun dua kilang minyak baru di daerah Bontang,
Kalimantan Timur dan satu lagi di Indonesia bagian Timur, dengan kapasitas
masing-masing mencapai 500.000 barel per hari. Tujuannya untuk menekan impor
BBM yang selama ini mencapai 80% dari kebutuhan dalam negeri. Sebetulnya rencana
membangun dua kilang minyak baru ini sudah ada sejak era SBY, sayangnya hingga
kini belum juga terealisasi. Mengapa? Masalahnya disamping dana juga adalah tidak ada supply
guarantee atas bahan baku. Bahan baku refinery adalah Crude oil (CO). Walau berdasarkan
PSC ( Produc Sharing Contract ) dengan investor ( perusahaan minyak) , bagian
pemerintah adalah 85% dan investor 15%
namun setelah dipotong cost recovery ,
bagian pemerintah berupa Crude oil tinggal hanya mungkin 15%. Kalau lifting minyak
sekarang sebesar katakanlah 804.000 barel perhari maka hak Indonesia hanyalah
sebesar kurang lebih 120.000 barel. Dan kalau ditambah Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 15% maka ada tambahan pasokan crude oil sebesar 120.000 barel. Jumlah
ini masih kurang untuk memenuhi kebutuhan kilang akan crude oil . Makanya engga aneh
bila Pertamina harus mengeluarkan segala sumber dayanya untuk mendapatkan
pasokan crude melalui pasar international agar kilangnya di Dumai, Aceh, Balongan, Cilacap, Balikpapan dan
Kasim Papua dapat berproduksi. Itupun dalam kapasitas tidak penuh maklum
sebagian besar kilang itu sudah berumur lebih dari dua puluh tahun.
Kita tidak bisa memaksa investor
( perusahaan minyak ) yang sebagian besar perusahaan asing untuk menjual crude oil hasil produksinya ke Indonesia. Karena kebijakan negara mereka memberikan izin beroperasi
di Indonesia bertujuan untuk memenui kebutuhan akan kilang dalam negeri mereka
sendiri. Contoh Chevron, harus mensuplai kilang di negaranya. Contoh lain yakni
seperti PetroChina, kebijakan pemerintah China setiap minyak yang didapat di
luar negeri wajib dibawa masuk ke China. Mengapa ? karena kilang minyak bukan
hanya menghasilkan BBM tapi juga menghasilkan downstream industry yang sangat tinggi
nilai tambahnya seperti Industry Petrochemical ( PPC/PVC), aspal, lem, minyak
pelumas dan lain lain. Disamping itu untuk menjamin kemandirian akan kebutuhan
BBM. Lantas bagaimana supply guarantee untuk kilang dengan kapasitas 500.000 barel perhari? Pemerintah bisa melakukan renegosiasi dengan operator minyak untuk meningkatkan DMO dan FTP (First Tranche Petroleum) yang besarnya 20% dari produksi gross. Ini tidak mudah namun berapapun kenaikan DMO dan FTP sangat membantu kemampuan supply crude oil. Menggandeng Investor yang mampu menyediakan supply guarantee crude oil. Ada beberapa perusahaan asing
seperti dari Aramco, Qatar yang akan
membangun kilang karena mereka juga adalah produsen crude oil. Namun proposal
mereka tidak sesuai dengan peraturan pemerintah. Ada juga pemerintah Irak berkomitmen akan membangun kilang di Bontang, Kalimantan dan menjamin supply crude oil 300.000 barel per hari. Namun saya tidak begitu yakin ini akan terealisir. Karena maklum
sebagian besar investasi sumur minyak di irak dimiliki oleh investor asing yang
juga punya kilang sendiri. Saya kawatir rencana investasi ini sama dengan 20 investor lain yang mendapatkan izin dari pemerintah namun menjadi kisah tak berujung sampai kini.
Saat sekarang yang paling masuk akal untuk membangun kilang adalah kekuatan Pemerintah sendiri. Jangan lagi berharap supply guarantee Crude oil dari produsen karena itu pasti omong kosong. Sebaiknya crude oil didapat melalui pasar international. Caranya adalah pemerintah membentuk trading oil company khusus ( BUMN) dengan mission membeli langsung kepasar
dengan kekuatan dana sendiri ( tanpa tergantung payment guarantee dari broker).
Sehingga harga akan lebih murah atau terhindar kewajiban membayar fee kepada
broker, yang umumnya berkisar USD 2-5 per barel. Sebagai salah satu buyer terbesar dunia dan juga produsen minyak, Indonesia harus menempatkan diri secara smart dalam business minyak dunia. Indonesia harus menempatkan diri sebagai Trader berkelas dunia. Pembangunan kilang ini merupakan bagian dari strategi menempatkan Indonesia sebagai key player dunia dalam trading oil. Karenanya Pembangunan kilang juga pembangunan bunker untuk menempatkan Indonesia sebagai hub perdagangan minyak dunia. Indonesia harus menggeser Singapore, dan bila perlu menjadikan Indonesia sebagai clearing house trading oil bagi negara OKI. Tentu investment cost bukan hanya biaya
pembangunan kilang tapi juga biaya penyediaan stock bahan baku ( crude oil )
minimum 180 hari kebutuhan produksi dengan
kapasitas 500,000 barel perhari. Untuk itu harus dibangun bunker oil yang bisa
menampung 90 juta barel.! Kalau diuangkan stok 90 juta barel ini maka nilainya USD 9 miliar atau
setara dengan Rp. 90 triliun. Apabila biaya pembangunan untuk kilang USD 3,5 miliar atau Rp. 35 triliun maka total investment cost adalah Rp. 125 Triliun.
Andaikan subsidi BBM dan efisiensi belanja pegawai di APBN dapat dihemat 30% saja maka Pemerintah mempunyai dana lebih dari cukup untuk membangun kilang sendiri dan sekaligus sebagai trader oil world class. Zaman SBY, niat membangun kilang
itu dihadang oleh DPR karena kawatir mengganggu fostur APBN yang sarat dengan
subsidi. DPR berharap pembangunan kilang
itu dibiayai diluar APBN atau melalui investor Swasta. Karena investasi kilang
sangat besar yang tentu resikonya juga besar sementara margin keuntungan kilang
tidaklah terlalu besar makanya perlu proteksi dari pemerintah. Namun anehnya pada
waktu bersamaan UU perbendaharaan negara tidak memungkinkan investor
mendapatkan proteksi kerugian karena kewajiban supplai dalam negeri dan tax
holiday selama 5 tahun. Juga pengembangan kilang menjadi industri value added
seperti petrochemical tidak otomatis menyatu izinnya dengan kilang. Padahal
salah satu daya tarik luar biasa dari business kilang adalah industri
petrochemical. Makanya memang by design, investasi kilang di Indonesia dibuat stuck
dengan alasan tidak ada space fiscal APBN untuk membangunnya dan bagi swasta tidak
menarik dan tentu tidak menguntungkan,agar
pemerntah terus tergantung dengan import minyak untuk menguntungkan para mafia
minyak yang berkolusi dengan elite politik didalam negeri. Jadi kalau nanti
DPR, menghalangi Jokowi membangun kilang maka tahulah kita bahwa Indonesia
masih dikuasai oleh para mafia....
No comments:
Post a Comment