Saturday, October 8, 2011

Sharing power

Korupsi , korupsi , lagi lagi korupsi berita Koran. Terlalu banyak kasus di negeri ini. Demikian sungut teman. Saya melirik kearah teman yang sedang asik membaca Koran di konsulat. Apakah tidak ada pikiran para elite selain bagaimana menjarah uang Negara. Dulu kita bersama sama menjatuhkan Soeharto karena kita kesal Negara seperti kerajaan yang dikelola oleh keluarga dan teman teman. Kita sebut ulah itu sebagai KKN. Ketika Soeharto jatuh , elite reformasi bangkit dari tempat pesembunyiaannya. Di senayan, para elite dibawah kekuasaan UUD 45 atas nama MPR mengeluarkan ketetapan tentang dibentuknya KPK. Ini amanah reformasi. Semua orang tahu dan semua orang berhak mengawal amanat ini. Demikian kata teman saya. Tak kita persoalkan soal demokrasi yang dirancang , yang pada akhirnya melibas MPR sebagai kekuasaan tertinggi di republic ini.

Tidak sampai disitu saja. Keliatannya para elite reformasi sudah memetakan dengan baik korupsi itu seperti apa. Hakim diawasi dengan ketat. Dibentuklah Komisi Yudisial. Kemudian agar tidak ada lagi kolusi antara pejabat dan pengusaha yang melahirkan monopoli bisnis seperti era Soeharto, maka dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU ), Mereka para elite juga sadar mereka manusia yang bisa lalai dan alfa dalam amanahnya membuat UU yang sehingga merugikan rakyat. Maka dibentuklah Mahkamah Konstitusi. Apakah itu cukup ? belum. Kita masih saja trauma dengan Soeharo yang membungkam PERS dan menjadikan TV hanya satu channel berita yaitu TVRI, yang menjadikan corong kebenaran hanya milik rezim. Maka UU kebebasan PERS dibuat agar bebas sebebasnya mengemban misi menyampaikan kebenaran.

Belum puas lagi, rakyatpun boleh mengorganisir dirinya mengawasi negara. Maka LSM tak perlu izin berbelit untuk berdiri kecuali cukup mendaftarkan diri. Kita trauma dengan ABRI yang melindungi rezim Soeharto maka ABRI yang kita cintai , yang terlatih baik secara structural untuk melahirkan pemimpin berkelas nasional harus keluar dari gelanggang politik dan masuk barak. Hanya sipil yang boleh berkuasa. Karena itu semua , tak kita persoalkan UUD 45 harus di amandemen. Semua kita berbulat hati untuk lahirnya perubahan. Era kebebasan bagi semua. Tak boleh siapapun sangat berkuasa di negeri. Ini sharing power. Presiden tak lagi sacral. Gubernur tak lagi sacral. Bupati ataupun walikota, tak lagi sacral. Semua bekerja diatas bara api. Tak nyaman memang, Makanya tak heran bila Pemerintah feeling uncomfortable lagi bekerja karena terlalu banyak pengawasan. DPR yang disebut orang terhormat pun sudah merasa tak lagi terhormat ketika banyak anggotanya masuk bui dan terakhir terdengar suara lantang dari anggota DPR yang ingin membubarkan KPK. Mereka anggap KPK sebagai teroris hanya karena pimpinan Banggar ( Badan Anggaran ) suspect terlibat korupsi.

Keliatannya 10 tahun reformasi berlalu, euphoria demokrasi yang dulu menjadi icon perjuangan kelompok menengah untuk tegaknya kebenaran, kebaikan dan keadilan , tak lagi menetramkan bagi elite yang berkuasa. Tak berlebihan bila ada salah satu anggota Partai Islam yang juga anggota DPR mengatakan Soeharto masih lebih baik ketimbang sekarang. Tentu rakyat yang tidak tahu banyak mulai bingung ditengah bertebarnya institusi pengawas dan sederet media massa yang lantang memberitakan tiada henti kebobrokan itu. Juga tak ketinggalan para LSM berbicara membawa suara para pengamat social politik dan ekonomi, bahwa elite politik tak becus mengurus Negara. Institusi berisi maling dan satu sama lain teriak saling tuduh maling Lantas apa sebetulnya yang terjadi ? mau dibawa kemana negeri ini. Salahkan demokrasi itu ? kalau salah , apalagi pilihan kita ? Apakah sosialis seperti komunis china yang membelenggu kebebasan dan mengclaim kebenaran hanya milik Partai atau monarkhi yang menjadikan pituah raja sebagai hukum tertinggi?

Soal pertanyaan ini saya teringat dengan ajaran guru saya ketika belajar ilmu tasauf. Beliau menyebutkan tentang hukum keseimbangan yang ada dalam diri kita. Beliau mengibaratkan jiwa kita adalah suatu komunitas yang dipimpin oleh tiga unsur kekuasaan. Yang pertama adalah Akal , kedua, nafsu, ketiga , Hati. Idealnya menurut Allah adalah gunakan akalmu sebagai pemimpin dalam dirimu. Namun jadikan hatimu sebagai hakim agung dan penasehat agung dan jadikan nafsu sebagai laskar/executive. Antara akal dan hati boleh berdialogh panjang tentang setiap persoalan sebelum diputuskan. BIla tak ada kata temu maka hati sebagai hakim agung akan meminta kepada akal untuk bicara langsung dengan penguasa tertinggi yaitu Allah lewat sholat istiqarah. Apabila sudah bulat kata dan mufakat maka tugas nafsu untuk melaksanakannya sesuai dengan will yang ditetapkan oleh akal. Soal ini nafsu ahlinya alias profesional dan memang jago menghadapi segala rintangan untuk mencapai tujuan sesuai kehedak akal yang sudah disesuai apa kata hati.

Jadi sebetulnya manusia itu struktur dan organisasinya dirancang Allah sangat demokratis namun yang menggerakan organisasi itu adalah jiwa yang memang dasarnya free will. Nah disinilah letak persoalannya. Kadang jiwa kita ingin agar Hati jadi penguasa tunggal maka jadilah kita manusia yang kurang struggle dan sedikit berpikir, sedikit spiritual sosialnya dengan lebih banyak berzikir. Ada pula , jiwa ingin akal menjadi penguasa tunggal maka jadilah kita manusia buta hati. Ada juga, Jiwa ingin nafsu berkuasa penuh maka jadilah dia manusia binatang yang hanya berperturutkan nafsu hewaninya. Andaikan susunan kekuasaan dalam diri kita itu sesuai dengan fungsinya masing masing tentu manusia itu akan menjadi sempurna. Begitupula, ,bila unsur kekuasaan kenegaraan itu berjalan sesuai dengan fungsinya masing masing ,tentu akan membuat Negara itu kuat, kokoh dalam keseimbangan.

Yang bikin runyam keadaan tata negara kita sekarang karena masing masing ingin lebih tampil berkuasa dan pengendali. Karena masing masing telah menempatkan nafsu sebagai pemimpin dirinya. Terus bersiteru. Tak ubahnya anak remaja dalam masa pancaroba. Namun negara kita tidak lagi remaja tapi sudah uzur. Kapan mau berubah?

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...