Saturday, October 22, 2011

Belajarlah...

Teman saya sebagai konsultan project mengatakan bahwa konsep jalan Toll di ASIA pertama kali diterapkan oleh Indonesia tahun 1978, dengan diawali pembangunan Toll Jagorawi. Sampai kini ruas jalan Toll dibangun baru mencapai 700 KM. Sementara China membangun jalan Toll diawali tahun 1980 dan kini panjang ruas jalan Toll telah mencapai 46,000 KM atau setiap tahunnya terbangun sepanjang 1500 KM. Amerika sebagai Negara penggagas privatisasi jalan darat dikalahkan oleh China , yang kini merupakan Negara yang memiliki jalan Toll terpanjang didunia setelah AS. Namun yang harus dicatat bahwa bagi China jalan Toll tak lain hanyalah jalan alternative bagi pengguna jasa yang ingin cepat , nyaman namun mau keluar uang. Semenata Jalan utama tetaplah disediakan oleh Negara yang bebas biaya. Dan ini terus dibangun dengan dukungan berbagagai sarana alternative transfortasi seperti Rell Kereta untuk layanan train missal. Beda dengan kita , jalan Toll sebagai solusi penyediaan Jalan darat. Yang sehingga terkesan pembangunan jalan umum bebas biaya dibuat ala kadarnya.

Mengapa China begitu cepat membangun jalan Toll , padahal idiologi mereka adalah komunis sosialis yang tak punya konsep utama privatisasi sarana umum. Persoalannya tidak melihat kepada idiologi. Kapitalisme hanya dipandang sebagai sebuah metode membangun dan bukan idiologi., Penerapannya tetaplah bergantung dengan platform sosialis komunis. China hanya memisahkan dengan jelas mana ranah bagi orang yang punya kemampuan berswasembada layanan umum dan mana yang belum mampu. Bagi yang mampu, Negara melepaskan diri dari social obligationnya dan ditransfer kepada mereka yang tidak mampu. Artinya, alokasi anggaran untuk mereka yang mampu di cross kepada mereka yang tidak mampu melalui penyediaan jalan Negara yang lebih baik. Semakin luas jalan toll dibangun untuk orang berduit semakin besar pula anggaran tersedia untuk menyediakan sarana bagi yang tidak mampu. Berjalannya waktu, orang yang tidak mampu ,menjadi mampu karena roda ekonom bergerak cepat akibat sarana jalan yang prima. Merekapun akan menjadi pelanggan jalan Toll.

Pola pendekatan inilah yang dijual kepada investor asing. Bahwa jalan Toll memang di rancang secara independent yang tidak ada campur tangan pemerintah dari segi tariff maupun biaya. Semua diserahkan kepada mekanisme pasar. Investor asing pun sadar bahwa pada waktu jalan Toll dibangun, negarapun akan terlibat membangun jalan alternative bagi yang tidak mampu agar ekonomi mereka bangkit untuk menjadi pengguna jalan Toll dikemudian hari. Ada future consumer by design yang diyakini oleh investor akan menjadi konsumen potensial, untuk menjamin Return investment. Disamping itu , memang keberadaan Toll di China sebagai property private. Seluruh asset , tanah maupun bangunan dimiliki oleh Investor. Artinya tak menghalangi bagi Investor untuk melakukan refinancing bila jalan Toll itu selesai dibangun. Beda dengan Indonesia, dimana investor hanya berhak atas konsesi bisnis yang menarik tariff dari pengguna jalan. Sementara investasi tanah , bangunan walau semua dana berasal dari investor namun secara hokum tetaplah pemiliknya adalah Negara.

Menurut teman banker, sangat sulit di binding asset Business Toll untuk memenuhi risk management. Kecuali untuk perusahaan pengelola jalan Toll yang sudah lebih dulu eksis. Itupun yang di binding bukannya asset Toll tapi saham atau Corporate bond, yang volume kapitalisasi sangat terbatas likuiditasnya. Itu senbabnya pemain baru jalan Toll , sangat sulit mendapatkan financial resource baik melaui investor institution maupun private placement. DItambah lagi , hamper sebagian besar pemilik konsesi jalan Toll adalah bukan investor real tapi hanyalah pencari rente, yang berharap mendapat deal fee dari real investor dan EPC. Disisi lain ada lagi yang membuat investor berkerut kening yaitu tidak mudahnya melakukan pembebasan tanah. Karena hak tanah tetaplah di pemeritah Daerah yang nota bene tidak mendapatkan PAD dari keberadaan Jalan toll itu. Ini juga salah satu sebab terjadinya restriction pembebasan lahan.

Jadi tidak terbangunnya jalan Toll sehebat China lebih disebabkan iklim investasi yang tidak konduktif. Iklim investasi tidak konduktif disebabkan kebijakan nasional soal privatisasi tidak jelas. Berada di grey area. Mau privatisasi namun kepentingan politik populis tak bisa dihilangkan atau tepatnya tidak punya grand design yang menjaga keseimbangan program privatisasi layanan public dengan Public Service Obligation yang harus disediakan pemerintah. Ya mencontoh china mungkin terlalu jauh digapai, tapi setidaknya berguru dari kesuksesan Malaysia yang awalnya belajar bangun jalan Toll dari Indonesia namun kini panjang ruas jalan Toll Malaysia ( 1200 KM ) lebih panjang dari Indonesia. Belajarlah untuk lebih baik , untuk rakyat tentunya.

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...