Anggaran dana Research and Development ( R&D) Indonesia tahun 2021 sebesar 2 miliar dollar AS, naik menjadi 8,2 miliar dollar AS (2022), kemudian naik lagi menjadi 12,10 miliar dollar AS (2023), lalu kembali turun menjadi 4,5 miliar dollar AS (2024). Rasio anggaran riset selama 10 tahun terakhir juga masih sangat rendah, yaitu antara 0,2 persen-0,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini kalah jauh dibandingkan China (2,08 persen), Singapura (1,98 persen) ataupun Malaysia (1,15 persen) (World Bank, 2023).
Hampir semua akademisi dan politisi sangat paham bahwa prasyarat untuk jadi negara maju ada pada Riset dan pengembangan ( R&D). Tahun 2004, IMF Working Paper yang berjudul “ R&D, Innovation, and Economic Growth: An Empirical Analysis,” memaparkan sejumlah penelitian yang membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan produktifitas terkait erat dengan R&D. Tentu pertumbuhan inklusif yang dimaksud. Bukan sekedar pertumbuhan untuk segelintir orang.
Pertanyaan sederhana adalah mengapa para birokrat dan politisi Indonesia tidak punya pollical will mengalokasikan anggaran R&D minimal sebesar 1% dari PDB. Sementara untuk anggaran yang dibakar setiap hari, yaitu subsidi BBM dari tahun 2011-2022 mencapai rata rata 2,4% dari PDB. Padahal kata kunci kemajuan ada pada R&D. Jawaban awam sebagai berikut.
Pertama. Struktur bangun politik kita itu feodalisme. Ini juga harus dimaklumi karena kita negara ex jajahan. Walau kita sudah merdeka namun belum bisa lepas dari feodalisme. Feodalisme memang enggan membuka mata, telinga dan pikiran rakyat awam akan pengetahuan atau sains. Maklum masyarakat yang melek sains, tidak pernah menghormati feodalisme. Masyarakat yang terbelakang sains, selalu memuja penguasa dan sampai mati tidak pernah mandiri di hadapan politik.
Kedua. Struktur bangun ekonomi kita juga feodalisme. Akses kepada sumber daya ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Makanya peningkatan SDM bagi dunia usaha tidak begitu menjadi perhatian. Tidak ada kompetisi kreatifitas berdasarkan sains ditingkat lokal apalagi global. Kompetisi dunia usaha terfocus kepada perebutan sumber daya ekonomi yang dikuasai negara. Dan itu ditentukan sejauh mana mereka bisa mengakses kekuasaan. Jangan kaget bila segelintir korporat yang menyumbang 80% pajak pada APBN bersifat rente.
Ketiga. Ditataran elite terjadi kompetisi antara akademisi dan penguasa. Keduanya saling berebut pengaruh. Ini konflik feodalismes yang dari dulu kala selalu terjadi. Kalau akademisi kalah, yang menang penguasa. Maka yang jadi korban adalah Lembaga Pendidikan. Metode Pendidikan tidak dirancang untuk lahirnya masyarakat egeliter yang peduli kepada sains. Tetapi dirancang sebagai pekerja yang tingkat kreatifitas dan produktifitasnya rendah.
Keempat. Karena feodalisme itulah makanya arsitektur kelembagaan R&D yang terdiri dari Riset Dasar, Riset terapan dan Riset Pengembangan tidak terbangun secara terintegrasi. Apalagi kolaborasi R&D dengan pihak dunia usaha sector industry hampir hampri tidak ada. Karena tidak ada insentif pajak terhadap pelaku industry yang melakukan R&D.
Empat hal itulah jawabanya. Menjawab pertanyaan ini jauh lebih penting daripada membahas alasan pemerintah atas rendahnya anggaran R&D. Intinya negara ini tidak di-design menjadi negara modern. Tetapi negara puritan yang masyarakatnya masih tunduk kepada feodalisme dan patronisme. Kalau ingin berubah dan bercita cita jadi negara maju, ya ubahlah paradigma politik. Yaitu berubah dari feodalisme menjadi egaliter. Awalilah dengan sikap, jangan apriori dengan kritik dan dialektika. Stop money politik!