Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pemilu. Bahkan dikenal sebagai Pemilu paling jujur dan paling tinggi partisipasi publik. Mengapa? Karena memang proses demokrasi dalam Pemilu tidak mahal. Semua dibiayai sendiri oleh masyarakat secara gotong royong. Dalam konteks demokrasi lebih luas, sebenarnya juga tidak perlu ongkos mahal. Karena adanya keterlibatan atau emansipasi public dalam menyelesaikan masalah keseharian.
Nah menjadi mahal demokrasi itu, kalau ada kepentingan ingin berkuasa dengan cara tidak jujur. Atau rakus kekuasaan. Sehingga menghalalkan segala cara. Tentu partisipasi public bukan kesadaran demokratif tetapi kesadaran kapitalistik. Ada uang kita mendengar dan memilih. Ada uang kita kerja. Saya dapat apa, kamu dapat apa. Jadi kekuasaan itu sudah seperti komoditas. Transaksional sekali. Makanya seperti kata Prabowo. Kalau orang mau calonkan gubernur. Yang pertama dia tanya adalah ada uang engga. Kalau engga ada uang. Pintar gimanapun engga laku.
Kalau ingin mengubah system pemilihan gubernur atau kepala daerah secara tidak langsung, yaitu lewat DPRD. Maka yang patut dipertanyakan, apakah itu solusi mengurangi ongkos politik? Kan kekuasaan tend corrupt. Segelintir orang di DPRD akan melahirkan kartel dan dagang sapi. Lagi lagi money politik bermain. Sama saja mahalnya. Hanya bedanya. Demokrasi langsung, ongkos terdistribusi ke rakyat banyak atau pemilih. Sementara demokrasi tidak langsung berbagi hanya diantara anggota DPRD/dan partai tentunya.
Jadi esensinya bukan pada system politik pemilu langsung atau tidak langsung. Demokrasi atau totalitarian. Tetapi ini soal moral elite politik. Elite politik harus menyadari bahwa kekuasaan itu amanah yang harus dipertanggung jawab secara moral di hadapan rakyat dan dipertanggung jawabkan secara keimanan kepada Tuhan. Maka kekuasaan dan jabatan itu akan mensejahterakan. Dan proses politik dalam pemilu pun jadi murah. Peran publik lewat akar rumput masing masing partai akan terlibat langsung bergotong royong mengatasi biaya. Pemilu akan benar benar jadi pesta rakyat.
Sekali lagi saya tegaskan. Bahwa sistem itu hanya metodelogi mencapai tujuan. Bukan esensi. Esensinya adalah moral dan etika para Elite politik. Nigeria di Afrika dan Venezuela di Amerika Selatan adalah negara kaya SDA minyak dan gas. Keduanya Negara demokrasi. Kalah dengan Arab Saudi dan Emirat Arab yang kaya minyak menganut monarki absolut. China tidak menerapkan demokrasi langsung tetapi sosialis komunis. Partai tunggal. China menjadi kekuatan ekonomi kedua di dunia setelah AS. Tentu ada juga contoh buruk system totalitarian seperti Kurea Utara. Negara demokrasi yang makmur tentu lebih banyak daripada yang gagal.
Daripada berwacana soal perubahan system politik. Lebih baik focus kepada perbaikan mental dan mindset para elite. Karena apa engga lelah, sejak merdeka kita gonta ganti system terus. Sementara SDA kita semakin menipis dan dimasa kini kita terjebak hutang. Lucunya kita masih anggap solusi ada pada perubahan system.
No comments:
Post a Comment