Politik Global dulu jelas. Seperti adanya block barat dan timur dalam perang dingin. Arab-israel dalam konflik regional di timur tengah. Dimana jelas musuh dan teman. Kalau kita menerapkan non block, sebenarnya juga adalah bagian dari block, yang mudah dibaca juga dimana anti barat. Tapi sekarang? Konstelasi politik global jadi rumit. Engga mudah memahaminya.
Rusia jelas menyerang Ukraina. Jelas diembargo ekonominya oleh AS dan Eropa ( NATO). Namun yang tekor justru Eropa dan AS. Keuntungan geopolik justru di nikmati oleh China. Karena China dapatkan sumber daya Rusia dengan murah dan mudah. Turki yang berada di teras Rusia, juga menikmati konflik itu berkat bantuan dana militer dari AS dan bukan tidak mungkin tidak semua dipakai untuk militer tapi untuk perbaikan ekonominya.
Negara teluk mulai melirik Israel sebagai teman karena motive ekonomi. Tidak lagi musuh idiologi. Tapi konflik Iran dan Israel, Israel -Libanon dan jatuh nya Bashaar di Suriah menyeret AS bertindak langsung untuk mengontrol Suriah. China yang tidak ingin pipa gas nya dari Iran ke Kumning terancam. Mulai melakukan manuver politik. Arab yang punya kepentingan ekonomi lebih besar ke China, mulai mengubah sikapnya terhadap Israel.
Utara- Selatan, yang tadinya merupakan Kerjasama strategis dalam kuridor G20, kini berubah ke BRICS. Dari BRICS berkumpul negara Selatan yang punya kepentingan melawan hegemoni AS terhadap mata uang. Tapi dalam perkembangan terbarunya, India, China dan Rusia mulai berebut pengaruh menjadi boss negara selatan. Pada waktu bersamaan Global Selatan disikapi oleh Trumps dengan ancaman tarif yang lebih besar kepada negara mitra BRICS. Ya rumit kan.
AS mulai menggunakan kebijakan moneter nya untuk kepentingan geopolitik. Perang mata uang terjadi. Negara emerging market berdarah darah menahan kejatuhan kurs mata uang. Eh Eropa juga kena imbas. Bahkan lebih buruk dari negeri emerging market. Udah kena kebijakan proteksionisme dagang AS, kena juga akibat kurs USD menguat, sebelumnya udah babak belur akibat embargo gas dari Rusia.
Pada waktu bersamaan China sebagai kekuatan ekonomi nomor dua dunia, mendevaluasi mata uangnya. Yang korban hampir semua negara mitranya yang tergabung dengan BRI ( bell road initiative ). Utang mereka jadi bertambah dalam mata uang yuan. Produk mereka semakin tidak kompetitif masuk ke China. Harga barang supply chain China semakin mahal. Ini akan menekan permintaan ekspor dan impor negara mitra china, termasuk Indonesia.
Nah dengan keadaan tersebut. Engga bisa lagi politik luar negeri kita dikelola dengan cara jadul. Semua perjanjian yang terkait dengan globalisasi, free trade dan lain sebagainya udah jadi sampah. Jadi bagaimana dengan Indonesia? Memang ekonomi kita hanya 20% bergantung kepada ekspor. Lebih 50% ditopang konsumsi rumah tangga. Seharus nya sejak 5 tahun lalu, kita focus ke inward looking policy dengan mengurangi hutang luar negeri.
Tapi yang jadi masalah, justru pemerintah terus meningkatkan hutang luar negeri terutama BI. Akibatnya sector jasa kita 90% tergantung luar negeri, terutama modal. Selalu dibayangi ketakutan akibat fenomena global. Kita seperti babi kena trap pemburu. Lari kesana kemari engga jelas. Tetap tidak beranjak kemana mana. Ya debt trap itu kutukan, memang membuat kita jadi lemah dan bego.
Contoh, dalam kaitan DHE atau devisa hasi ekspor, pemerintah keluarkan aturan. Bagi eksportir yang menyimpan valas nya di dalam negeri dapat insentif pajak. Caranya penyimpananya pada term deposit ( SRBI) atau deposito setelah dikonversi ke Rupiah.
1. Tarif sebesar 0%, untuk instrumen dengan jangka waktu penempatan lebih dari 6 bulan.
2. Tarif sebesar 2,5% untuk instrumen dengan jangka waktu penempatan 6 bulan.
3. Tarif sebesar 7,5% untuk instrumen dengan jangka waktu penempatan 3 bulan sampai dengan kurang dari 6 bulan, atau
4. Tarif sebesar l0% untuk instrumen dengan jangka waktu penempatan 1 (satu) bulan sampai dengan kurang dari 3 bulan.
Perhatikan. Segitunya pemerintah ngemis valas kepada pengusaha. Sampai sampai tax ratio dikorbankan demi valas. Sementara pajak tidak langsung (PPN) dinaikan untuk menutupi defisit anggaran.
Pengusaha happy saja. ASALKAN, selisih Bunga real dalam negeri dengan luar negeri tidak negative, tetapi positif. Artnya harus lebih tinggi income bunga di Indonesia daripada luar negeri, setelah dikurangi inflasi real juga.
Terus apakah valas pengusaha terkunci dengan berganti cash jadi instrument? Ya engga. Oleh pengusaha, Instrument itu di linked dengan surat utang untuk dapatkan valas di luar negeri . Dia dapat valas lagi dan parker di luar negeri sebagai motive berjaga jaga. Apa artinya? itu sama saja BI utang ke luar negeri.
Udah muter muter dan pakai rapat KSSK untuk lahirnya solusi aturan soal DHE agar IDR menguat dan valas masuk, Eh ternyata walau duitnya dari eksportir dalam negeri, namun tetap aja skema nya utang luar negeri. Sementara Pengusaha udah dapat diskon PPH. Apa akar masalahnya ? Rakus!.
***
Target penerimaan pajak tahun 2024 kemungkinan tidak tercapai. Mengapa ? hingga 31 Oktober penerimaan pajak baru mencapai 76,3% dari target. Sementara, waktu yang tersisa untuk mengejar target pajak 2024 itu tinggal 2 bulan lagi. Maksimum tercapai 90% dari target.
Mari kita lihat data.
Realisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan hingga Oktober 2024 adalah Rp262,67 triliun. Namun, penerimaan ini mengalami kontraksi sebesar 26,3%. Apa artinya? Dunia usaha memang tidak baik baik saja. Itu fakta. Penyebabnya karena harga ekspor khusus komoditas utama kita jatuh di pasar dunia. Daya beli domestic drop. Itu bisa dilihat PPN domestic sampai dengan septermber minus pertumbuhannya. Baru tumbuh tipis sekitar 4 % pada oktober.
Realisasi pajak tahun ini lebih rendah dari tahun sebelumnya. Nah pertanyaannya adalah apa mungkin tahun depan ( 2025) bisa capai diatas target 2024? Padahal total APBN meningkat dari tahun sebelumnya? Mungkin saja bisa. Caranya ada dua.
Pertama, kurangi defisit anggaran dengan memotong APBN sampai 30%. Tapi itu sulit dilakukan. Akan sangat beresiko secara politik bagi Pemerintah.
Kedua, naikan PPN. Itu logis disaat potensi penerimaan PPH turun akibat ketidak stabilitan ekonomi. Tapi kenaikan 1% PPN, masih kurang untuk tutupi defisit. Cara lain, kurangi dana transfer ke daerah dengan menaikan tarif pajak daerah seperti pajak kendaraan dan penetapan asuransi wajib untuk kendaraan. Masih kurang? Ya naikan cukai rokok lewat peningkatan harga eceran rokok.
Tapi masih kurang. Makanya perlu tambah hutang. Nah agar likuiditas bisa menyerap SBN, ya tarif BPSJ Kesehatan dinaikan. Aturan dana pension direpatriasi agar dana BPJS tenaga kerja bisa menyerap SBN lebih banyak. Memberlakukan iuran Tapera. Biar tambah likuid SBN. Dengan cara tersebut diatas, diharapkan target APBN tahun 2025 bisa dicapai. Memang caranya masih tradisional pengelolaan ekonomi negara, masih berkutat seperti era colonial yaitu iuran, cukai, pajak dan kalau kurang ya utang lagi. Tidak transformative dan terkesan dungu.
No comments:
Post a Comment