Saya tidak pernah kawatir utang selagi utang itu berfungsi bukan hanya liabilities tapi juga sebagai leverage untuk meningkatkan pertumbuhan. Contoh Anda berhutang Rp. 1 juta agar omzet anda meningkat USD 2 juta dan aset meningkat Rp 1,5 juta. Itu artinya rasio penjualan terhadap utang 2 kali. Rasio aset terhadap utang 1,5 kali. Dengan rasio itu anda berkembang karena waktu. Itulah gunanya utang. Nah bagaimana dengan situasi Indonesia ? Saya hanya akan hitung utang luar negeri aja, engga usah utang dalam negeri (SBN Rupiah).
Total utang luar negeri Pemerintah dan BI pada kwartal 3 tahun 2022 mencapi USD 394,6 miliar. Sementara utang luar negeri swasta dan BUMN mencapai USD 204,1. Kalau ditotalkan utang pemerintah dan BI serta swasta/BUMN maka utang luar negeri Indonesia USD 598,7 miliar atau dengan kurs Rp. 15.600/USD maka total utang luar negeri mencapai Rp. 9340 Triliun. Ini mendekati Rp. 10.000 triliun. Mari kita hitung indikator ekonominya.
Rasio utang terhadap PDB. Pertama, terhadap utang pemerintah dan BI . Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga akhir 2021, total PDB Indonesia mencapai Rp 16.970,8 triliun. Rasio utang luar negeri terhadap PDB adalah 36%. Apa artinya? lebih 1/3 PDB kita berasal dari utang luar negeri. Kedua, terhadap utang luar negeri Indonesia ( Plus swasta/BUMN). Rasio utang luar negeri terhadap PDB adalah 55%. Apa artinya ? lebih separuh PDB kita berasal dari utang luar negeri.
Kemampuan leverage atas utang. Mari perhatikan peningkatan PDB. PDB Indonesia tahun 2014, USD 891 miliar. Tahun 2021, USD 1,2 triliun atau naik usd 300 miliar atau 33% dari tahun 2014. Artinya peningkatan PDB USD 300 miliar, itu hampir sama dengan jumlah peningkatan utang. Secara tidak langsung, utang itu tidak menciptakan leverage value. Mengapa ? Karena penambahan utang kita sebagian besar untuk bayar utang. Bukan untuk produksi. Hanya sebagian kecil saja untuk produksi. Itu ditandai dengan angka defisit APBN terus melebar. Tahun 2014 defisit APBN sebesar Rp. 226 triliun, tapi tahun 2022 sebesar Rp 732,2 triliun.
Engga percaya ? Mari kita lihat debt service ratio terhadap bayar bunga dan cicilan utang. Data dari Bank Indonesia tahun 2020. Perhatikan. umber : Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, Bank Indonesia. Dari sisi pembayaran ULN meliputi pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka panjang dan pembayaran bunga atas utang jangka pendek tahun 2018 (25,11%), tahun 2019 (26,90%) dan tahun 2020 (27,86%). Kwartal 3 tahun 2022, 16,90%. Artinya hampir 1/4 pendapatan devisa ekspor habis untuk bayar bunga dan utang jangka pendek.
Kalau diihat dari pembayaran pokok dan bunga atas utang dalam rangka investasi langsung selain dari anak perusahaan di luar negeri, serta pinjaman dan utang dagang kepada non-afiliasi, tahun 2018 (54,05%), 2019 ( 54,12%), 2020 ( 52,59%). Tahun 2022 kwarta 39,38%. Artinya hampir separuh devisa ekspor habis untuk bayar bunga dan cicilan. Berdasarkan Debt Services Framework (DSF) IMF dan Bank Dunia ditetapkan batas (threshold) atas yang aman untuk rasio debt services terhadap ekspor adalah sebesar 25 persen. Makanya sebagian besar cadangan devisa untuk belanja impor dari utang.
Jadi kalau berdasarkan indikator tersebut diatas, sebenarnya kita sedang tidak baik baik saja. Siapapun yang jadi presiden nanti tahun 2024, engga mudah mengatasi hutang itu. Karena konsekwensinya APBN akan terus defisit dan utang bukan lagi alat leverage pertumbuhan tetapi kebutuhan untuk hidup. Engga berhutang ya bangkrut. Solusi ? tingkatkan rasio pajak dan lakukan transformasi ekonomi ke arah industrialisasi.
No comments:
Post a Comment