Monday, December 5, 2022

Realita di balik layar


“ Mau tahu , siapa penipu terhormat ? Tanya teman. Saya mengerutkan kening. Karena mana ada pula penipu yang dihormati. Dalam kebingungan ini, teman saya menjawab sendiri pertanyaannya “ Artis “. Semakin hebat dia bermain memerankan tokoh yang diinginkan oleh sutradara , semakin terpukau kita menonton adegannya. Setelah film usai , kita semua sadar bahwa kita baru saja ditipu oleh sekelompok team yang terdiri dari sutradara, penulis scenario, cameraman , visual effect dll. 


Film yang hebat menguras emosi anda. Tokoh utama film itu menjadi idola anda. Begitu sederhananya sebuah tayangan ilusi membentuk persepsi anda. Tapi dibalik film itu ( behind of scene ) tentu bukanlah hal yang sederhana. Dikerjakan lewat proses yang rumit. Film lahir dari ide,  novel atau cerita roman. Gagasan itu dituangkan dalam bentuk skenario yang detail. 


Semua aspek teknis seperti lokasi shooting, penentuan artis pemeran utama dan piguran, izin produksi, anggaran, market, promosi, direncanakan dengan baik dan dalam pelaksanaanya diperlukan skil mengorganisir semua sumber daya  itu dan dikendalikan dengan ketat.


Film , drama, teater adalah alat propaganda social engineering dan kemudian berkembang juga dalam Politic engineering. Acara kolosal yang melibatkan ratusan ribu orang seperti acara Nusantara Bersatu di GBK dari relawan Jokowi, gerakan bela ulama  412, 212 dan gerakan relawan Anies capres juga menerapkan standar seperti sebuah film dikerjakan. Tujuan juga sama seperti film, yaitu menarik penonton sebanyak mungkin untuk tampilnya tokoh utama ke panggung dan…menghasilkan uang.


Dalam buku, the Propaganda Industry: A Conversation With Sheldon Rampton. Kita bisa pahami bila penipuan itu sudah jadi industri yang mendatangkan uang. Film adalah seni penipuan terbaik yang dilahirkan oleh abad 20 dan di abad 21, ia sudah masuk ke kantong anda lewat gadget hape, Youtube channel, tiktok. Untuk itu semua kita harus membayar dan berterima kasih kepada artis yang telah berhasil memancing emosi kita. Artispun kita hormati dan kagumi. Tapi tidak banyak orang sadar bahwa artis  tanpa sutradara sampah. Sutradara tampa modal, nothing.


***


Cara berpikir kita itu lucu dan menggemaskan. Sama seperti melihat anak kecil diberi mainan. Saat dia suka, jangan coba dilarang. Ngamuk dan nangis dia. Kalau dia tidak suka, jangan pula dipaksa, nangis dia. Hanya terkait soal suka dan tidak suka. Makanya di Indonesia apapun konten sosial media, hanya ada fitur suka ( like). Engga ada fitur dislike ( tidak suka). Cara berpikir seperti kanak kanak dan menggemaskan. Udah jelas facebook mengawali “ Apa yang sedang anda pikirkan” Eh postingnya tentang apa yang dirasakan dan dikeluhkan. Kan lucu.


Semua suka konten Sambo. Berita ter framing yang begitu massive membentuk persepsi pertama, tentang dugaan“ perselingkuhan” antara Putri dengan ajudan atau supir. Kedua, keborbokan polisi dalam melakukan proses penyidikan dan penyelidikan. Jangan coba coba balik kan persepsi itu, pasti ditolak. Tapi tidak banyak yang berpikir di luar berita itu. Kalaulah mau sedikit kritis” Apa iya hanya kasus pembunuhan mengakibatkan lebih dari 90 perwira kena kasus obstruction of justice?


Semua tahu Anies sedang safari Politik ke seluruh Indonesia. Berita begitu massive dan terstruktur ( Love and hate ), sehingga membuat Anies semakin populer. Mengapa? karena konten tentang politik identitas, dan anti tesis Jokowi telah membentuk persepsi orang untuk terus membicarakan Anies. Cobalah lihat fakta“ Emang siapa Anies,? politisi bukan, pimpinan partai bukan, kader juga engga , pengusaha juga bukan. Seleb bukan. Cendikiawan jauh.” Mengapa begitu besar magnitnya?


Kalaulah mau kritis, persepsi anda akan berubah. Masalah Sambo, bukan sekedar pembunuhan Josua, tetapi ada agenda lebih besar dari itu yang sedang dipertaruhkan. Bukan sekedar pencalonan Anies sebagai presiden. Tapi ada agenda lebih besar dari sekedar pencalonan Anies itu. Kedua kasus itu bukan pula sekedar agenda doang, tetapi ini berkaitan dengan sumber daya ekonomi yang sedang direpebutkan oleh kelompok politik di Indonesia. Siapapun yang menang, anda akan jadi korban.


Kalaulah logika itu dipakai, maka persepsi anda pasti akan berbeda dengan konten berita yang keliatan sederhana itu. Tetapi orang Indonesia itu memang lucu dan menggemaskan. Mereka euforia bicara tentang politik, tapi pada waktu bersamaan mereka lupa bahwa mereka sedang dihabisi.


No comments:

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...