Tuesday, June 7, 2022

Capres 2024?


Ada beberapa teman DDB minta saya endorsed siapa calon Capres. Saya belum bisa confirmed. Mengapa ? Dengar ini alasan babo. Tentu alasan bukan dibuat. Tetapi Babo harus patuh dengan aturan main dan hukum yang mengatur Pemilu, termasuk menilai kinerja calon.


Pertama. Yang berhap menentukan seseorang itu bisa jadi capres adalah Partai. Walau masyarakat menghendaki sia A, dan survey membuktikan itu, itu sah saja sebagai hak demokrasi. Tetap saja tidak menghilangkan hak partai menentukan. Hak rakyat akan ditunaikan ketika Pemilu, bukan sebelum pemilu. Jadi ribut ribut sebelum ada penentuan capres secara resmi, itu buang waktu. 


Kedua, calon yang diangkat oleh lembaga survery, seperti Prabowo, Ganjar. Anies, Ridwan Kamil. Sandi, Risma, Kofifah, Eric dll. Babo engga melihat prestasi mereka fenonemal untuk qualified jadi capres. Mengapa ? Prabowo sejak era reformasi,  tidak ada satupun prestasi yang fenomenal dan dirasakan oleh rakyat. Dia hanya sibuk beriklan dan besarkan partainya saja. Anies diberi kesempatan jadi otoritas DKI, tetapi selama 5 tahun tidak satupun prestasi fenomenal. Cuma retorika aja. 


Ganjar dan Emil, Kofifah juga sama. Dalam UU desentralisasi, otonomi itu ada pada tingkat 2. Nah posisi Gubernur ( selain DKI)  itu hanya kepanjangan kekuasaan dari pusat. Tugasnya hanya sebagai koordinator atas otonomi di daerah tingkat dua. Jadi sulit menilai prestasinya. Karena hak otonomi dalam kebijakan publik di daerah ada pada bupati atau walikota. Prestasi walikota dan Bupati tidak terkait dengan Gebernur.


Soal Erik, Sandi, Airlangga.  Mereka itu pengusaha. Tidak ada prestasi fenomenal mereka terhadap rakyat. Yang jelas prestasi hebat mereka hanya untuk mereka saja dan itu membuat mereka tambah tajir. Sebagai pejabat publik, mereka juga tidak mencatat prestasi hebat kecuali hebat beriklan  untuk diri mereka saja.  


Puan juga belum ada prestasi hebat kecuali dia elit partai PDIP. Sukses PDIP itu berkat kerja kolektif semua kader. Dia tidak punya track record sebagai pengusaha atau kepala daerah. Puan sama saja dengan AHY. Keduanya besar berkat keluarga saja. 


Ketiga. Tahun 2018, saya tahu. Setelah Jokowi menang pilpres 2019, akan ada gerakan intelijent dari kekuatan proxy asing. Sangat canggih. Mereka menggunakan sosial media seperti dulu Trump menang di pilpres di AS. Saya dengar ada team hebat yang mempelajari data cloud secara algoritme soal minat dan emosi rakyat,  untuk kemudian digunakan untuk membentuk persepsi  seseorang pantas jadi presiden dan pada waktu bersamaan membenturkan kekuatan persatuan bangsa dan membonsai partai. 


Kalau itu terjadi, NKRI jadi ancaman. Dan itulah yang diharapkan kelompok fundamentalis. Makanya mereka sekarang diam dan menonton saja. Tidak ada gerakan terorganisir. Tapi mereka siap masuk di tikungan atau jadi burung pemakan bangkai saja. Makanya saya maklum mengapa ada wacana Pemilu ditunda. Karena dalam situasi ekonomi yang rentan sekarang, tidak kuat pemerintah menghadapi badai politik yang ditimbulkan oleh perang asimetris. Tapi semua ribut. Makanya saya  bisa maklum bila Bu Mega, diam saja soal capres. Tetapi publik ribut. 


Perang asimetris sudah dimulai. Kembali kepada kita. Percaya kepada elite atau proxy ?  Dan saya yakin TNI dan BIN pasti sudah tahu soal perang asimetris yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa ini. Jadi kalau ada keputusan politik yang anomali di tahun ini atau tahun depan, tetaplah percaya kepada elite dan konstitusi. Seburuk buruknya orang tua, itu takdir kita. Jauh lebih baik daripada proxy asing. Paham ya sayang


No comments:

Negara puritan tidak bisa jadi negara maju.

  Anggaran dana Research and Development ( R&D) Indonesia tahun   2021 sebesar 2 miliar dollar AS, naik menjadi 8,2 miliar dollar AS (20...