Kalau saya pelajari proses terjadinya krisis minyak goreng, itu lebih banyak politiknya. Dan biang kerok nya adalah ulah menteri yang memang tidak sama visinya dengan Jokowi. Perhatikan, Lebih dari lima Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) diterbitkan untuk meredam gejolak kenaikan harga minyak goreng dalam waktu tiga bulan terakhir, yaitu Permendag No. 1-2022, Permendag 2-2022, Permendag 3-2022, Permendag 6-2022,Keputusan Menteri (Kepmen) no. 170-2022. Semua aturan itu kandas. Engga bernyali menghadapi lobi pengusaha sawit.
Akhirnya pemerintah keok juga dengan lobi pengusaha migor. Terpaksa dihapusnya kewajiban pengusaha pasok CPO ke pasar domestik (domestic market obligation atau DMO), kewajiban harga domestik (DPO) dan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan. Akhirnya harga melambung di dalam negeri, tetapi Migor tersedia di pasar. Selesai masalahnya.
Walau begitu ada lagi pemanis dari kebijakan itu adalah rencana pemerintah akan memberikan subsidi migor kepada orang miskin. Duitnya dari kenaikan pajak ekspor migor sebesar 80% Berharap bisa menjaga pasokan CPO dalam negeri dan membiayai subsidi migor curah dengan Harga Eceran Tertinggi Rp 14 ribu per liter. Waau sudah ada aturannya lewat permendag. Apakah yakin, pemerintah akan menang? I dont think so. Mengapa ?
Hampir semua pengusaha sawit yang berjumlah tidak lebih 12 orang itu adalah konglomerat dan masuk 50 orang terkaya di Indonesia. Bisnis mereka di Indonesia hampir menguasai 1/3 dari PDB kita. Mereka sangat kuat. Bahkan bukan tidak mungkin sudah jadi oiigarki bisnis yang jadi sponsor penentu kemenangan capres dalam setiap pemilu dan pilkada. Mau lawan gimana? itu sudah ditakdir kita.
Apa yang bisa kita ambil hikmah dari kasus migor ini? Ketahuilah bahwa ekonomi Pancasila itu tidak ada. Semua karena bisnis yang terpasung dengan standar kepatuhan pasar uang dan pasar modal serta sistem perbankan. Mereka semua itu berbisnis dan berkembang lewat hutang. Kalau ada aturan yang membuat mereka merugi, akan berdampak sistemik bagi dunia keuangan dan perbankan. Jadi hukum pasar itu keniscayaan. Perkuat saja kemampuan daya beli agar perubahan harga tidak membuat kita jadi korban. Dah gitu aja.
Produksi minyak sawit dan inti sawit pada tahun 2018 tercatat sebesar 48,68 juta ton, yang terdiri dari 40,57 juta ton crude palm oil (CPO) dan 8,11 juta ton palm kernel oil (PKO). Jumlah produksi tersebut berasal dari Perkebunan Rakyat sebesar 16,8 juta ton (35%), Perkebunan Besar Negara sebesar 2,49 juta ton (5%,) dan Perkebunan Besar Swasta sebesar 29,39 juta ton (60%). Jadi paham ya. Mengapa negara dan rakyat tidak berkuasa atas sumber daya sawit ini. Karena penguasaan negara kecil sekali pada bisnis sawit. Sementara swasta yang bermain tidak banyak. Hanya hitungan jari. Baik kita ulas dua saja.
Salim Grouo. Anda mungkin tidak mengenal nama Indofood Agri Resources Ltd ( IAR). Tentu tidak. Itu holding yang terdaftar di Singapore. Pemiliknya adalah Salim group. Nah IAR ini punya anak perusahaan di Indonesia. Namanya Salim Ivomas Pratama ( SIMP). Perusahaan yang sudah Tbk ini pengelola perkebunan sawit di Kalimantan dan Sumatera seluas seluas 253.061 hektare (Ha) per 31 Desember 2020. Itu tidak termasuk lahan sawit, London Sumatra Indonesia yang sudah di bawah kendalinya.
Nah hebatnya. IAR jmemiliki 27 pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas total 7 juta ton per tahun serta 5 pabrik refinasi CPO ( termasuk minyak goreng ) dengan total kapasitas 1,7 juta ton per tahun. Adapun merek minyak goreng yang dimiliki Grup Salim antara lain Bimoli, Delima, dan Happy. Sebagian besar produksi minyak goreng sawit di serap oleh group sendiri yaitu PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, yang notabene memproduksi mi instan merek Indomie. Sebagian lagi di ekspor ke negara-negara Asia, Afrika, Amerika, Timur Tengah, dan Australia.
Nah karena kebutuhan minyak goreng untuk memasok pabrik Mie instant Indofood terus meningkat , sementara lahan sawit tidak bertambah. Apalagi Salim group punya pabrik mi di banyak negara seperti Malaysia, India, Arab, Afrika, Mongolia. Di Indonesia saja pabrik mi milik Salim ada 17 pabrik di 12 kota. Ya terpaksa Salim group ambil lagi minyak goreng dari sumber lain. Salah satunya berasal dari raksasa minyak goreng PT Sinar Mas Agro Resources Technology. Jadi memang raksasa dari segi ukuran kebutuhan akan minyak goreng.
Sinarmas group. Anda mungkin tidak mengenal Golden Agri-Resources Ltd (GAR). Tentu. Itu holding company yang terdaftar di Singapore dan listed di bursa Singapore. Nah perusahaan ini punya anak perusahaan di Indonesia, yaitu PT Sinar Mas Agro Resources Technology Tbk (SMAR) yang memproduksi beberapa merek minyak goreng seperti Filma, Kunci Mas, Mitra, dan Palmvita. Minyak goreng tersebut dihasilkan dari perkebunan sawit yang luasnya mencapai 137.512 Ha.
Mereka mengoperasikan 16 pabrik kelapa sawit dengan kapasitas terpasang sebesar 4,35 juta ton per tahun. Mereka ekspor ke lebih dari 70 negara dengan fokus utama di pasar-pasar yang berkembang seperti Eropa, China, India, Pakistan, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Serikat. Berdasarkan laporan keuangan, SMAR mencatatkan penjualan bersih sebesar Rp 40,38 triliun per kuartal III-2021. Dahsyatkan ? Mau diatur raksasa seperti itu ? Ya saya sih senyum aja liat drama anggota DPR di Senayan yang sok bela rakyat di hadapan menteri.
***
Ketika Harga Eceran Tertinggi dihapus pemerintah, maka otomatis Migor sawit tersedia di pasar. Harga? dua kali lipat dari harga biasa. Orang terkejut. Mengapa? bukankah kita pemilik kebun sawit terbesar. Mengapa kita harus membeli mahal. Orang kadang lupa. Bahwa sistem ekonomi kita adalah ekonomi pasar. Jangan lagi berpikir tentang UUD 45 pasal 33. Itu terlalu melankolis. Pasar? karena kebun sawit itu dibiayai oleh mekanisme pasar uang, lewat sistem perbankan dan bursa. Hukum pasar mengikut hukum permintaan dan penawaran.
Kalau permintaan tinggi ya harga naik. Saat sekarang kebetulan produk Migor dari bahan sawit menjadi satu satunya sumber migor. Karena gagal panennya negara penghasil utama Migor dari biji anggur, bunga matahari, kedelai, dan jagung. Di samping itu kebutuhan CPO bukan hanya untuk migor juga untuk energi ( biofuel). Sementara harga BBM juga naik di pasar dunia. Jadi wajar saja harga Migor Sawit mahal. Bagi produsen, ini adalah peluang bagi mereka untuk meraih laba. Biasa saja. Nanti kalau suplai meningkat, permintaan tetap. Harga akan turun lagi.
Apakah itu adil? Bagi produsen kenaikan harga karena mekanisme pasar itu adalah keadilan. Bagi konsumen tentu terasa tidak adil. Tetapi sebenarnya. Rasa keadilan itu bukan pada harga. Tetapi kepada kemampuan beli. Kalau memang bokek, harga berapapun murahnya akan terasa mahal. Tetapi kalau uang ada, harga berapapun biasa saja. Konsumen juga tidak perlu mengeluh berlebihan. Pasar memungkinkan konsumen mendapatkan migor alternatif. Bisa gunakan minyak coconut atau kurangi kuliner gorengan.
***
Walau kita punya ambisi lead business CPO namun penentu harga CPO masih tetap malaysia. Padahal produksi kita diatas Malaysia. Apa pasal.? Malaysian hilirisasi Sawit itu sangat luas massive. Sebelum membahas lebih jauh, sebaiknya saya jelaskan secara sederhana apa itu hilirisasi sawit.
Pertama adalah Oleopangan (oleofood complex) yakni industri refinery untuk menghasilkan produk antara oleo pangan (intermediate oleofood) sampai pada produk jadi oleopangan (oleofood product). Dari oleopangan akan dihasilkan minyak goreng sawit, margarin, vitamin A, Vitamin E, shortening, ice cream, creamer, cocoa butter/specialty-fat dan lain-lain.
Kedua, Oleokimia (oleochemical complex) yakni industr refinery untuk menghasilkan produk-produk antara oleokimia/oleokimia dasar sampai pada produk jadi seperti produk biosurfaktan, misalnya ragam produk detergen, sabun, shampo), biolubrikan (misalnya biopelumas) dan biomaterial (misalnya bioplastik).
Ketiga, Biofuel (biofuel complex) yakni industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara biofuel sampai pada produk jadi biofuel seperti biodiesel, biogas, biopremium, bioavtur.
Nah mari kita lihat produksi hilir sawit ini. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, pada tahun 2021, pasokan CPO untuk industri oleopangan mencapai 8.249.000 ton ton dan 6.561.000 ton untuk biodiesel. Serta 1.946.000 ton untuk industri oleokimia. Jadi total kebutuhan CPO untuk industri dalam negeri mencapai 16.756.000 ton. Sementara total produksi CPO sebesar 46,88 juta. Apa artinya lebih separuh ( 74% ) CPO diekspor. Konyol kan.
Makanya jangan kaget bila kita kekurangan minyak goreng sawit. Karena CPO yang masuk ke Industri oleopangan bahan baku minyak goreng hanya 8.249.000 ton. Dan itupun produksi minyak goreng tidak semua dijual ke konsumen RT, sebagian masuk ke pabrik mie instant atau industri makanan dan eksport.. Apalagi harga minyak goreng sawit naik di pasar international. Dan HET pemerintah dicuekin. Wajar kan harga minyak goreng ikut pasar international.
Jadi kesimpulannya penyebab kita tidak berdaya terhadap lonjakan harga minyak goreng dunia karena hilirisasi sawit kita gagal. Nilai tambah rendah. Karena hanya didominasi oleh biofuel. Pada laman resmi Kemenperin tercatat ada 47 perusahaan industri minyak goreng dan 2 perusahaan industri margarin. Seharunya ada ribuan industri hilir sawit. Karena produk turunan sawit itu mencapai 170 produk. Kalau downstream Sawit ini berkembang, akan banyak tumbuh industri baru dan jutaan angkatan kerja baru terserap.
Ibu SMI sempat geram. Karena lambatnya proses hiirirasi sawit ini Solusinya hanya satu. Paksa lewat regulasi soal hilirisasi seperti kasus NIkel. Mengapa nikel kita bisa tegas soal hillirisasi. Kok Sawit engga bisa tegas? Dan lagi dipaksa untuk dapat cuan gede, kok ogah. Kan nilai tambahnya 2 kali dibanding CPO
No comments:
Post a Comment