Saturday, January 4, 2020

Memahami Konflik Laut China Selatan

Awalnya Kepulauan Natuna dengan tujuh pulau di sekitarnya, pada abad ke-19 adalah wilayah Kesultanan Riau. Ketika itu tidak ada batas jelas wilayah laut Natuna. Namun setelah masuk Era kolonial , terjadi perebutan jalur selat Malaka. Belanda merebut Malaka dari Portugis. Mendirikan pusat pertahanan dan pelabuhan di Malaka. Di sebelah Timur Inggris mendirikan pusat pertahanan dan pelabuhan di Bengkulu. Untuk mengontrol jalur perdagangan selat Malaka, Inggris juga membangun markas perdagangan di Tanjung Pinang. Keadaan ini tentu membuat Belanda merasa terganggu. Konflik dengan tujuan ingin menguasai Selat Malaka terjadi. Menimbulkan kerugian dari kedua belah pihak. Akhirnya dibuatlah perjanjian Anglo-Dutch Treaty pada tahun 1824 untuk membagi batas wilayah kekuasaan kolonialnya masing-masing.

Dalam perjanjian tertulis tersebut, batas-batas laut di Selat Malaka dan Laut China Selatan yang sebelumnya kabur ditetapkan secara tegas di antara kedua negara. Inggris mendapatkan wilayah di Utara dan Timur Selat Malaka yang meliputi Semenanjung Malaya dan Singapura. Sementara bagian Selatan dan Barat selat jatuh ke tangan Belanda. Kawasan yang dimiliki Belanda antara lain Pulau Sumatera, Kepulauan Lingga dan Riau. Sebagai gantinya, Inggris juga hengkang dari Bengkulu. Saat perjanjian itu dilakukan, bagian Utara Pulau Borneo masih dikuasai oleh Kesultanan Brunai. Saat kerajaan tersebut mengalami kemunduran, Inggris mengambil alih wilayah tersebut. Alasan ini yang dikemudian hari membuat Natuna yang jatuh ke Indonesia diapit dua wilayah utama Negeri Jiran.

Yang di kemudian hari setelah kemerdekaan Malaysia dari Inggris, wilayah tersebut terbagi menjadi dua yakni Sabah dan Sarawak. Sementara di sisi Selatan Kalimantan masuk Indonesia setelah merdeka, sebagai konsekuensi warisan semua wilayah Hindia Belanda, termasuk Kepulauan Natuna. Tetapi Indonesia baru mendaftarkan ke PBB pada 18 Mei 1956 sebagai milik Indonesia. Wilayahnya seperti Anglo-Dutch Treaty. Jadi sebetulnya antara Malaysia , Singapora , Brunei, Indonesia tidak ada masalah soal batas wilayah teritorial. 

Walau China pada waktu mendirikan negara Republik di bawah kekuasaan Partai Kuomintang memasukan eleven-dash line ( 11 garis putus putus) di wilayah laut China selatan sebagai wilayahnya. Dan Era partai Komunis yang berkuasa di China, pada 1953,  menjadi nine dash line. China mengeluarkan wilayah Teluk Tonkin dari peta 'eleven-dash line' buatan Kuomintang. Namun pada 9 garis putus putus ( nine dash line)  ini, tidak termasuk Kepulauan Natuna. Jadi dari awal sampai sekarang memang tidak ada sengketa antara China dan Indonesia mengenai wilayah territorial atas kepulauan Natuna.

Masalah perbatasan maritim baru muncul setelah diketahui bahwa wilayah laut China Selatan mengandung Sumber daya alam yang besar. Ini berhubungan dengan batas maritim. Pertanyaan muncul. Apakah hanya negara kepulauan dan yang punya laut saja boleh menikmati sumber daya laut? Bagaimana dengan negara lain yang tidak punya laut? Bukankah sebelumnya laut lepas itu adalah laut bebas.  Mengapa harus di claim oleh negara yang punya perairan? untuk menjawab pertanyaan ini, maka masalah batas maritim dibawa ke PBB. Konverensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diadakan di Jenewa tahun 1958 dan 1960 telah menekankan perlu adanya suatu Konvensi tentang hukum laut yang baru dan yang dapat diterima secara umum. 

Namun AS dan negara yang tidak punya perairan di LCS  berpatokan kepada prinsip-prinsip yang termuat dalam resolusi 2749 (XXV) 17 Desember 1970 dimana Majelis Umum dengan khidmat menyatakan inter alia bahwa baik kawasan dasar laut dan dasar samudera dan tanah di bawahnya, di luar batas yurisdiksi nasional, maupun sumber kekayaannya, adalah warisan bersama umat manusia, yang eksplorasi dan eksploitasinya harus dilaksanakan bagi kemanfaatan umat manusia sebagai suatu keseluruhan, tanpa memandang lokasi geografis negara-negara.

Akhirnya tahun 1982 dibentuk UNCLOS ( Convention on the Law of the Sea). China waktu sidang UNCLOS telah mengajukan peta resminya yakni Haijiang Xian Nei (batas garis laut teritorial). Namun PBB menolak. Dalam UNCLOS setiap Negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya sampai suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal. Selebihnya disebut landas kontinen harus diselesaikan secara bilateral dengan negara yang bersinggungan. Tapi tidak boleh diluar batas 200 mil atau ZEE. Itu disebut sui generis.

Nah bagaimana soal hukum ZEE atau sui generis itu? Bahwa kewenangan negara dalam ZEE bukanlah sebuah kedaulatan (sovereignty), melainkan hak berdaulat (sovereign rights). Artinya semua negara berhak melintasi wilayah ZEE, kecuali kalau ingin memanfaatkan SDA diatas maupun di bawah laut, harus izin dari negara yang punya hak atas ZEE itu. Karena inilah China walau menanda tangani UNCLOS tetap kecewa karena hak kedaulatan yang diclaim nya waktu mendirikan Republik ditolak PBB. Tapi bukan hanya China, AS juga sama. AS tidak bisa menerima laut bebas di kavling kavling oleh negara perairan. Termasuk Andorra, Eritrea, Israel, Kazakhstan, Kyrgyzstan, PerĂº, San Marino, South Sudan, Syria, Tajikistan, Turkey, Turkmenistan, Uzbekistan, the Vatican, and Venezuela, juga menolak ratifikasi karena mereka anggap bertentangan dengan prinsip  resolusi PBB No. 2749 (XXV) 17 Desember 1970 

Dampak dari UNCLOS ini bukan hanya kekecewaan China,  AS dan negara lainnya. Jusru terjadi kekacauan hukum batas maritim. Terjadi tumpah tindih hukum dengan sesama negara ASEAN. Sebagian wilayah utara Pulau Natuna masih terdapat batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang belum disepakati antara Indonesia dan Vietnam. Selain dengan Vietnam, Indonesia hingga saat ini juga masih memiliki pekerjaan rumah untuk menyelesaikan perbatasan laut teritorial dengan Malaysia, Singapura, dan Timor Leste. Perbatasan ZEE dengan Malaysia, India, dan Palau serta perbatasan Landas Kontinen dengan Malaysia dan Palau. Sementara semua negara ASEAN dan negara yang berada di kawasan Laut China Selatan , juga bertikai soal ZEE dengan China. Karena China belum mengubah UUD nya berkaitan dengan nine dash line sebagai wilayah teritorialnya.

Tahun 2013, Philipina mengajuka gugata ke  Pengadilan Arbitrase (PCA) di Den Haag, Belanda. Filipina mengklaim kepemilikan Kepulauan Spratly. Alasannya? lokasi geografisnya yang dekat dengan Kepulauan Spratly sehingga menganggap kepulauan itu sebagai bagian dari wilayahnya. Kawasan sengketa ini berada sejauh 160 kilometer dari daratan Filipina dan berjarak lebih dari 800 kilometer dari China. Filipina dan China berebut gundukan Scarborough yang di dalam bahasa China disebut dengan nama Pulau Huangyan, rangkaian pulau karang seluas 46 kilometer persegi. Kasus sengketa ini tahun 2016, dimenangkan oleh Philipina. 

Namun sebelum keputusan pengadilan keluar, China justru mengeluarkan UU nasional sesuai UUD atas haknya di Laut China Selatan. Dengan demikian China keluar dari UNCLOS. Akibatnya kemenangan Philipina di Pengadilan Arbitrase (PCA) di Den Haag, Belanda, tidak bisa di eksekusi. Pengadilan PBB memang tidak berhak memaksa negara lain untuk menerima keputusan berkaitan dengan UNCLOS. Sejak itu, sengketa China atas wilayah yang diatur UNCLOS meluas keseluruh negara yang ada di Laut China Selatan, termasuk kepada Indonesia khususnya di ZEE. 

Pertanyaan terakhir, mengapa China sampai begitu ngotot atas wilayah yang di claimnya di Laut China Selatan?  Pertama, faktor historis. Bahwa memang sejak zaman dinasti Ming, nelayan China sudah mengarungi laut China selatan. China punya bukti sejarah soal ini. Karena ketentuan yang diatur UNCLOS, itu jelas menempatkan China hanya punya perairan secuil. Walau awalnya ketika UNCLOS disahkan, China setuju namun belakangan ketika mereka temukan kekayaan SDA dibawah laut China selatan, mereka merasa perlu memperjuangkan claimnya atas Laut China Selatan.

Kedua, dua pertiga jalur logistik MIGAS China dan AS melintasi Laut China Selatan. Kalau mereka tidak bisa mengontrol Laut China selatan, maka ini akan beresiko terhadap ekonomi mereka dalam jangka panjang. Apalagi AS, punya kepentingan juga menguasai SDA yang ada di Laut China Selatan. AS tidak merasa terganggu dengan adanya batas maritim yang diatur UNCLOS, karena AS tidak meratifikasi UNCLOS dari sejak tahun 1982. Ditambah lagi, AS mempertahankan hegemoninya di Laut China selatan dengan menghadirkan dua kapal induknya.

Praktis, semua kesepakatan investasi untuk pengelolaan SDA di kawasan Laut China selatan harus dapat restu dari AS. Kalau engga , AS berhak menggunakan UU nasionalnya untuk melakukan aksi militer. Makanya sampai sekarang explorasi Gas dan Minyak oleh negara manapun di kawasan ZEE LCS selalu gagal dilaksanakan. Itu sebabnya sejak tahun 2016, China balas dengan pembangunan, dan kemudian militerisasi, pulau-pulau buatan di kawasan LCS. Itu untuk mengamankan geostrategis dan geopolitiknya. 

Pendekatan diplomasi AS kepada negara ASEAN dilakukan dengan intensif. Tahun 2019 bulan september AS menggelar latihan militer di Laut China selatan bersama sama dengan 10 negara ASEAN. Ini tentu sinyal kepada China untuk semakin waspada dan semakin meningkatkan militerisasi di Laut China Selatan. Padahal bulan oktober 2018, China juga melakukan latihan militer bersama dengan 10 negara ASEA. China juga melakukan pendekatan diplomasi dengan Negara ASEAN lewat bantuan ekonomi dalam kuridor OBOR. Malaysia, Philipina, Thailand, Vietnam, Indonesia, berpartisipasi dalam proyek OBOR. Karena China menawarkan bukan hanya bantuan uang tetapi juga kerjasama investasi secara luas di bidang pengolahan bahan baku, sampai kepada pembangunan insfrastrutkur.

Antara China dan AS akan terus saling tarik menarik dan berusaha menyeret negara ASEAN dalam konflik LCS. Tetapi ASEAN sudah punya kuridor menghadapi konflik ini. Bahwa focus ASEAN adalah kerjasama ekonomi. Baik AS maupun China, selagi menawarkan kerjasama ekonomi yang equal maka negara ASEAN akan menerima, namun ASEAN tidak dalam posisi memihak kepada salah satu kekuatan AS atau China. Itulah proposal Indonesia yang disepakati oleh semua negara ASEAN. 

Penyelesaian konflik batas maritim antar negara ASEAN akan diselesaikan secara bilateral, G2G tanpa melibatkan negara manapun. Termasuk konflik dengan China akan diselesaikan secara damai dan bersahabat dalam semangat CAFTA.  Namun soal batas territorial 12 mil dari pantai Natuna itu wilayah Indonesia yang tidak mungkin indonesia mundur walau sejengkalpun.  Mau China atau AS, kalau masuk perairan itu tampa izin, TNI harus melaksanakan SOP menjaga kedaulan negara. Yaitu tenggelamkan! Perang! Tetapi diluar 12 mill, haruslah dihadapi melalui pendekatan hukum dan diplomasi , bukan perang. Karena wilayah itu lahir dari konsesus UNCLOS yang tidak semua negara meratifkasi. Itu grey area.

Bukan masalah besar 
Berdasarkan Kuputusan Southern Chinese Sea (SCS) Tribunal tahun 2016 menyatakan China tak memiliki hak atas Laut China Selatan terhadap wilayah Indonesia. Karenanya Indonesia itu tidak punya konflik perairan dengan china, kecuali ZEE. Berbeda dengan negara ASEAN lainnya yang tumpang tindih claim wilayah perairan. Jadi kalau sampai kapal China masuk perairan Indonesia, jangan lantas disikapi bahwa China nantang atau bully Indonesia atau mau jajah Indonesia. Dalam situasi china sedang komplik dengan negara lain, wajar saja dalam operasi mereka kadang masuk wilayah Indonesia. Apalagi bulan September 2019 ada latihan militer gabungan antara ASEAN dan AS di perairan wilayah disengketakan dengan China. Ini jelas alarm bagi china untuk meningkatkan patroli di perairan laut china selatan yang disengketakan. China hanya melakukan SOP menjaga teritori yang di claim nya.

Dan terbukti pelanggaran perairan Indonesia oleh kapal china, itu tidak dengan niat provokasi. Ketika di shadow oleh kapal Polisi perairan kita, kapal china langsung keluar. Mereka tahu diri. Ketika kita protes melalui jalur diplomatik, mereka hormati. Artinya, kita harus melihat persoalan sengketa laut china selatan itu dengan smart. Sebetulnya yang sedang bersiteru itu adalah China dan AS. Ini berkaitan dengan Geostrategis bagi china dan geopolitik bagi AS. Perang tidak akan pernah terjadi. Karena antara ASEAN sudah terjalin kesepakatan dengan China tahun kemarin. Pun dengan AS- ASEAN juga sudah ada kesepakatan. Jadi engga mungkin ada anggota ASEAN bisa terprovokasi untuk memulai perang. Engga mungkin salah satu anggota ASEAN jadi proxy china atau AS. Jadi berbeda di timur tengah. Dimana terbelah jadi dua proxy Rusia dan AS. Makanya mudah tersulut perang.

Jadi sikap Indonesia seharusnya normatif saja. Sudah benar sikap dari TNI AL yang menggelar operasi di laut china selatan, perairan Natuna. Itu bukan tujuan berperang. Tetapi melaksanakan SOP menjaga teritorial Indonesia. Biasa saja. Mengapa? Ya seharusnya sikap TNI itu dilakukan secara rutin. Bukan hanya karena ada insiden masuknya kapal china di perairan Indonesia di laut Natuna, tetapi selagi laut china selatan masih meredam konplik, patroli harus terus dilakukan. Memang mahal ongkosnya tetapi akan sangat membantu menteri luar negeri dalam melakukan diplomasi kepada semua pihak yang bertikai di laut china selatan. Dan memastikan kita memainkan kartu strategis di dalam konplik laut china selatan.

Apa tujuannya? Posisi tawar Indonesia dengan china dalam proyek OBOR, mengurangi defisit perdagangan dengan china dan posisi tawar Indonesia dalam hal perundingan tarif dagang dengan Eropa dalam beberapa komoditi yang di sengketakan di WTO. Ya, kita tidak main dua kaki, tetapi bermain didua kaki untuk kepentingan dalam negeri. Itulah yang disebut dengan politik bebas aktif. Semua teman, tapi teman yang nguntungi secara ekonomi. Kalau engga nguntungi, ya Sorry aja. Selagi AS dan china, berhadapan di laut China selatan, justru memastikan perang tidak akan pernah terjadi. Apalagi China sudah siap memberikan dana miliaran dollar kepada Indonesia untuk membangun check Point jalur pelayaran selat Sunda dan selat Lombok, untuk mengurangi ekses dari konplik laut china selatan.

Hubungan billateral
Kita semua tahu bahwa antara AS dan China secara politik seperti Kucing dengan anjing. China dan AS masuk dalam perang dagang. China dan AS bertarung berebut pengaruh di Laut China Selatan dan Asia Tengah, Timur Tengah. Tetapi apakah secara Ekonomi mereka bermusuhan? Tidak.  AS meminjam jauh lebih banyak ke China daripada negara proxy nya seperti Jepang, Jerman dan lainnya. Investasi AS di China jauh lebih besar daripada di negara lainnya. Begitu juga investasi China di AS jauh lebih besar dibandingkan dia investasi di negara lain. Sampai kini, wisatawan China ke AS jauh lebih banyak daripada ke negara lain. Bahkan putri Xijinping sekarang sedang menyelesaikan pendidikannya di Harvard University.

Phiilipina berseteru dengan China di Laut China Selatan soal Kepulauan Spratly. Bahkan Philipina menggugat China di Artbitrase International di Denhag.  Tapi apakah secara ekonomi China bermusuhan dengan Philipina? Tidak. Bahkan semakin mesra aja.  Investasi China di Philipina, jauh lebih besar dibandingkan negara ASEAN lainnya. Tahun 2019 saja, China sudah teken investasi sebesar USD 9 miliar, termasuk ekspansi $ 4,3 miliar dan peningkatan jaringan jalan dan kereta api di sekitar Metro Manila. Itu setara dengan 1,2% dari PDB. Beijing dan Manila telah menandatangani sekitar $ 300 juta perjanjian pinjaman untuk mendanai proyek air dan irigasi, setara dengan 0,1% dari PDB. Pertumbuhan Ekonomi Philipina yang diatas Indonesia itu berkat investasi dari China.

Vietnam berseteru dengan China di Laut China selatan di Kepulauan Paracel. Bahkan China menyerbu wilayah pulau itu dengan mengalahkan satu garnisun Militer Vietnam. Sampai kini kedua negara itu masih konflik secara politik. Tetapi walau begitu secara ekonomi, hubungan antara China dan Vietnam semakin mesra. China membuktikan investor terbesar kedua di Vietnam, menyumbang 15,5 persen dari total FDI tahun 2019. Hanya sedikit dbawah Korea Selatan dengan $ 2,91 miliar, atau 19,8 persen dari FDI. FDI dari Cina tahun 2019 jauh melebihi tahun-tahun sebelumnya, yang masing-masing mencapai $ 1,22 miliar, $ 1,41 miliar, dan $ 1,26 miliar pada tahun 2018, 2017 dan 2016.

Malaysia juga berseteru dengan China di Laut China selatan. Namun secara ekonomi, hubungan China dan Malaysia sangat dekat. Bahkan jauh lebih dekat dengan AS dan Eropa. Walau investasi AS jauh lebih besar dibandingkan China, namun hubungan dagang, dan pinjaman lunak, China jauh lebih besar memberikan sumbangan kepada Malaysia. Itu sebabnya walau oposisi di Malaysia terkesan anti China, namun tidak mempengaruhi kebijkaan investasi Malaysia yang memberikan kemudahan yang begitu besar kepada China.

Apa yang saya sampaikan diatas, bahwa dalam hubungan politik regional bisa saja terjadi koflik karena faktor geopolitik dan geostrategis. Namun selagi pemimpin negara itu waras dan tidak dalam posisi sebagai proxy negara manapun, serta tidak ada emosi Agama terlibat dalam kebijakan politik international, maka politik hanya sebatas retorika yang tidak mungkin mengabaikan kepentingan kerjasama bidang ekonomi. Satu satunya yang membuat negara bisa mengubah tensi politik hanya karena faktor ekonomi. Selagi antara negara terjalin hubungan bisnis yang saling menguntungkan, masalah politik regional hanyalah kembang api. Besar suara dan ledakannya namun ia indah, tidak ada dampaknya apapun.

Kebijakan Jokowi dalam menghadapi konflik laut China selatan, ditempatkan dalam politik bebas aktif, dan untuk kepentingan domestik. Jokowi mampu mengelola konflik itu dengan baik, sehingga posisi tawar indonesia di hargai secara ekonomi. Kita sudah cukup pengalaman selama lebih 50 tahun di bawah aneksasi AS di laut China selatan, namun hanya jadi anjing penggertak. Sementara yang mendapatkan keuntungan adalah Singapore sebagai check point di selat Malaka dan pangkalan perang AS. Di era Jokowi baik China maupun AS, harus punya kebijakan jelas soal ekonomi yang menguntungkan Indonesia kalau ingin menjadi mitra.  

Jadi udahanlah baper soal konflik laut China Selatan. Engga mungkin TNI terprovokasi mau perang dengan China hanya sekedar kapal patroli masuk perairan ZEE , yang grey area karena tafsir hukum yang berbeda , dan keduanya punya landasan hukum yang kuat. Kita bukan negara islam di timur tengah yang gampang emosian dan mudah di adu domba dengan negara tetangga untuk berperang. Dan lagi China tidak melakukan serangan provokasi apapun terhadap kapal perang Indonesia. Biasa saja. Bagi China, kerjasama dengan Indonesia jauh lebih menguntungkan secara geopolitik dan geostrategis daripada bertikai. Politik boleh panas, tetapi bisnis tetap dingin. Itu waras namanya.

***
Provokasi Proxy AS di Indonesia
Selama lebih seminggu, seluruh media massa memberitakan tentang pelanggaran perairan Natuna oleh China. Berita itu seakan China mengangkangi wilayah kedaulatan Indonesa. Seakan China melecahkan batas teritorial Indonesia. Seakan China akan merampas Pulau Natuna. Berita itu terus diulang ulang. Lewat sosmed, maupun lewat TV. Talked show, dan berita silih berganti menggiring opini bahwa China itu jahat. Bahwa presiden lemah. Prabowo pengecut.  Mahasiswa, dibawah Menwa berdemontrasi di depan keduataan China. Mereka akan mengancam semua warga negara China yang ada di seluruh  Indonesia bila China tidak keluar dari Natuna. 

Pembicaraan di media sosial dari Bani kadrun, menyiratkan agar Indonesia tegas kepada China, bila perlu ledakan kapal China. Narasi nasionalisme, menggema. Mereka yang ingin mengubah NKRI menjadi NKRI bersyariah, mendadak jadi nasionalis. Mereka yang anti Pancasila, mendadak jadi pembela NKRI, dan siap mati berjihad perang dengan China. Semua itu dihadapi pemerintah dengan tenang. Bahkan Prabowo yang terkenal garang soal nasionalisme, malah lebih tenang daripada Jokowi. Mengapa ? sebagai Menhan, tentu Prabowo punya akses ke data inteligen TNI dan BIS. Atas dasar itulah, Prabowo bisa bersikap tenang dan terukur dalam bersikap terhadap China. 

Lantas mengapa oposisi terutama PKS sangat ingin rakyat terprovokasi kebencian terhadap China?  Secara pribadi saya tahu percis, bahwa PKS tidak punya kebencian terhadap China. Namun sebagai proxy AS, PKS harus menyuarakan kepentingan AS. Bahwa Indonesia itu sangat strategis dalam konflik laut China selatan. Peran Indonesia sangat menentukan kemana arah bandul geopolitik AS dan China. Apakah China yang diuntungkan ataukah AS.  Mengapa? karena jalur strategis laut China selatan ada di Indonesia. Dan antara Indonesia bersama Vietnam, philipina, Malaysia punya masalah dengan CHina soal tumpang tindih hukum di wilayah ZEE. Negara ASEAN tergantung sikap indonesia sebagai ketua IndoPacific.

Masalahnya Jokowi tidak berpihak kepada siapapun. Sepertinya Jokowi menganggap soal geopolitik itu urusan Menlu. Dia tidak mencampuri kebijakan Menlu yang melaksanakan UUD 45 soal politik bebas aktif. Makanya Jokowi ogah datang dalam setiap rapat tahunan dengan PBB. Dia tahu bahwa soal PBB itu berputar soal kepentingan China dan AS. Jokowi tidak ingin ditempatkan dalam posisi sulit secara politik international. Dan lagi Jokowi tidak berambisi untuk populer sebagai negarawan yang berpihak kepada salah satu negara itu. 

Makanya Jokowi selalu bisa bersikap tegas secara Hukum soal kedaulatan Indonesia. Bahwa dia focus kepada kedaulatan negara, sementara kedaulatan ekonomi batas maritim di ZEE dia serahkan secara hukum kepada Menlu untuk selesaikan. Karena Menlu sudah punya platform untuk selesaikan itu, yaitu UUD 45. Jokowi tidak mau intervensi soal itu. Teman saya mengatakan berulang ulang AS menekan Jokowi agar berpihak ke AS. Namun Jokowi tidak merespons apapun. Itu sudah ada UUD yang atur. Kecuali kalau UUD diubah. Bantuan China kepada Indonesia soal OBOR ditolak Jokowi kecuali kerjasama itu tidak melibatkan istilah OBOR. Kalau nantinya proyek China itu berhubungan dengan OBOR, itu ditempatkan dalam UU PMA. Tidak ada keistimewaan.

Kedatangan Jokowi ke Natuna sebagai isyarat tentang sikap Jokowi soal batas teritorital yang harus tegas dan batas ZEE yang harus dirundingkan. Mengapa? Indonesia akan masuk wilayah konflik di laut China selatan hanya apabila indonesia tidak netral. Selagi indonesia netral, baik China maupun AS, tercluster dengan Hukum, dan tanpa diapa-apain, kedua negara itu akan capek sendiri dan akhirnya mau berunding untuk memanfaatkan ZEE sebagai kawasan kerjasama ekonomi bagi semua. Tanpa berpihak kemanapun justru menurut media online internasional gzeromedia.com, membuat Jokowi lebih populer dari Trumps dan Putin. Orang waras paham itu kecuali bani kadrun. 

Yang pasti konflik meluas antara China-Indonesia tidak terjadi, tentu ekonomi indonesia akan baik baik saja. Tahun ini China akan menggelontorkan bantuan miliaran dollar untuk proyek OBOR. AS akan juga turunkan uang miliaran dollar melalui OPIC. Bahkan sekutu AS , Emirat Arab akan berinvestasi puluhan miliar tahun ini.  Ya semua mau kerjasama dengan Indonesia, karena indonesia negara netral. Itulah kelebihan Jokowi…tentu itu karena ia menjalakan amanah UUD 45.


No comments:

Putin memenangkan Pilpres Rusia.

  Pemilu Rusia, memilih empat calon presiden, yaitu Putin, Leonid Slutsky, Nikolai Kharitonov, dan Vladislav Davankov. Hasilnya ?  Komisi Pe...