Thursday, January 30, 2020

100 hari kabinet Jokowi.



Hari ini saya bersyukur karena bisa bertemu dengan teman analis dari salah satu bank di Singapore. Saya suka diskusi dengan para analis yang bekerja di bank. Mengapa ? karena bukan saja soal data dan informasi yang mereka punya tetapi juga mereka punya akses ke pada the first hand information. Saya berusaha memancing pertanyaan yang karenanya membuat dia tidak pelit menyampaikan informasi dan analisnya. Tentu saya harus jadi pendengar yang baik. Hari ini saya baca berita. Menurut Bank Dunia dalam laporan berjudul Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class menyebutkan bahwa ada 115 juta penduduk Indonesia rentan kembali miskin. Gimana pendapat anda. Seriuskah ini? tanya saya.

Menurutnya, persoalan mendasar Jokowi adalah lemah dalam penegakan hukum. Janji awalnya dengan slogan “ I am nothing to lose” ternyata tidak seperti slogan. Ini sama saja dengan periode pertama, Jokowi masih terjebak dengan pertimbangan politik menyelesaikan masalah hukum.  Kasus Jiwasraya yang sampai kini tidak pernah terbuka berapa sih kerugian Jiwasraya dan gimana sebetulnya skema penyelamatan Jiwasraya. Rapat dengan DPR soal skema penyelamatan, malah dinyatakan tertutup untuk publik. Walau tidak ada bailout secara UU namun bail-in juga tetap menggunakan sumber daya intangible negara dan seharusnya terbuka.  Publik kawatir, jangan jangan penyelamatan jiwasraya ini gerbang emas melahirkan bisnis rente yang lebih besar di bidang asuransi.

Masalah ASABRi juga sama. Awalnya Menko Polkam mengatakan ada potensi kerugian Rp. 10 Triliun. Tetapi disangkal oleh Menteri BUMN dan oleh direksi ASABRI sendiri. Nyatanya barusan diakui juga ada kerugian Rp. 4 Triliun lebih. Masalahnya apakah hanya sebesar itu? Sebagaimana kasus Jiwasraya, ASABRI juga sengaja ditutupi potensi kerugian sebenarnya. Termasuk juga ditutupi gimana solusi dan penyelamatannya. Rakyat hanya dapat tontonan panggung Jaksa Agung mengusut Jiwasaraya dan Polri untuk ASABRI. Tetapi itu bukan panggung yang enak ditonton. Karena mereka yang dijadikan tersangka itu tidak mewakili kerugian yang sebenarnya. Apalagi belum tuntas pengusutan Jiwasraya, menteri BUMN sudah mengumumkan skema penyelamatan. Artinya resiko ditanggung negara secara tidak langsung. Itu akan sama dengan kasus ASABRI. 

Kasus Jiwasraya adalah cermin jelas bagaimana penegakan hukum itu belum sepenuhnya jalan. Pasar menilai seperti itu. Memang ini soal politik. Tetapi justru Jokowi tersandera oleh Politik. Omnibus Law yang rencananya akan disahkan tahun desember 2019. Tetapi ternyata molor sampai sekarang. Ketidak pastian terjadi karena secara politik, elite politik tidak mau dijadikan tukang stempel oleh Pemerintah. Kalaupun disahkan, tentu harus ada barter nya. Apa itu? biasanya berujung kepada kebijakan longgar menyelesaikan kasus hukum. Bisa saja terhadap kepala daerah yang sudah masuk dapat OTT KPK. Atau bisa juga kasus elite partai yang sudah masuk list KPK, di peti eskan. 

Akibat masalah hukum tercluster oleh politik, maka dampaknya terjadi meluas. Para menteri di bidang ekonomi selama 100 hari engga ada gebrakan yang berarti.  Masalah Polkam, tetap belum bisa mengatasi intoleransi. Bahkan semakin menggila dengan munculnya parodi kerajaan yang menjadi berita nasional. Belum lagi hal sepele menyangkut kader PDIP yang kena OTT, tidak bisa di eksekusi karena yang bersangkutan buron. Kasusnya jadi berskala nasional. Jelas merugikan Jokowi.

Masalah konflik laut China selatan malah semakin rumit dengan masuknya AS sebagai mediasi lewat proyek Ibukota baru, membuat hubungan dengan China jadi tidak nyaman. Belum lagi propaganda anti China terus meluas tanpa ada sikap jelas dari pemerintah, dan dibiarkan jadi polemik tiada berujung. Sementara kepastian arus dana investasi belum nampak dalam 100 hari kabinet. Akbat Politik bagaikan rimba belantara tempat habitat para predator, maka jangan kaget sinyalemen Bank Dunia bahwa 45% dari penduduk Indonesia atau sebanyak 115 juta orang akan jatuh miskin. Terutama akibat dari eskalasi kenaikan harga dan rendahnya arus investasi. Artinya kerja keras selama 5 tahun useless. Katanya.

Masih belum terlambat untuk bersikap. Para pemilih Jokowi masih tetap yakin dan berhapap Jokowi bisa bersikap tegas dalam hal hukum. Setidakya tempatkan hukum sebagai panglima. Apalagi sebetulnya para elite politik tidak punya posisi tawar berlebih di tengah kondisi makro ekonomi yang dihantam badi krisis global. Apapun keputusan Jokowi pada akhirnya mereka bisa menerima walau pahit terasa. Omnibus law itu harus selesai sebelum bulan maret kalau ingin arus investasi masuk, Kalau engga Indonesia akan masuk putaran resesi yang mengerikan.  100 hari kinerja kabinet tidak memuaskan.

Karena politik tetap jadi panglima, maka jangan kaget bila ABAS bisa terus bermanuver dengan kekonyolannya. Bahkan  berani berhadapan langsung dengan istana soal revitalisasi Monas. Kalau ingin tahu kelemahan pemerintahan Jokowi, lihatlah kekuatan ABAS sebagai Gubernur DKI. Dia terlalu berani dan kuat berhadapan dengan pemerintah Jokowi. Kalau nanti kasus Monas ABAS lolos lagi, maka dapat disimpulkan bahwa kemenangan Jokowi adalah kemenangan Partai bukan Jokowi sebagai presiden yang dipilih langsung oleh rakyat.  Berharap setelah ini kita bisa menyaksikan kebijakan keras seperti janji Jokowi “ nothing to lose. "

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...