Thursday, February 6, 2020

Sikap Jokowi atas ex 600 kombat ISIS?



Pendahuluan
Saya masih ingat beberapa tahun lalu bagaimana para aktifis khilafah begitu bersemangatnya menggaungkan kemenangan ISIS di Irak dan Suriah. Beberapa video diedarkan seakan kemenangan ISIS sudah sesuai dengan janji Allah yang akan melahirkan khilafah memimpin dunia. Apalagi ada video ISIS memenggal pastur. Itu disambut dengan kalimat Allahuakbar. Empat tahun era kejayaan ISIS, tidak sedikit warga negara Indonesia yang pindah ke Wilayah yang dikuasai ISIS. Mereka dinjanjikan, akan dapat jaminan semuanya: listrik, air rumah, gratis. Dan bahkan utang mereka akan di lunasi oleh ISIS. Yang percaya itu bukan hanya orang awam, banyak juga yang terpelajar. Banyak diantara mereka yang membawa anggota keluarganya. Begitu dahsatnya pengaruh propaganda khilafah.

Ketika bergabung dan menjadi Warga di wilayah pendudukan ISIS, mereka disumpah setia kepada ISIS dan siap berjihad untuk ISIS dimana saja berada. Mereka juga membakar passport Indonesia. Namun sejak kekalahan ISIS dimana mana dan akhirnya terpaksa hengkang dari semua wilayah pendudukannya, para mereka yang sudah terlanjur sumpah setia kepada ISIS menjadi stateless ( tidak punya warga negara ). Mengapa saya katakan stateless ? Tidak ada lagi KTP dan passpor. Karena sudah dibakar sebagai bentuk setia kepada ISIS. Mereka juga tidak lagi melapor kepada kedutaan Indonesia di Irak dan Suriah bahwa mereka warga negara Indonesia. Kini mereka terlunta lunta di Kamp pengungsian di perbatasan Suriah.

Apakah negara perlu bertanggung jawab terhadap nasip mereka? Teman saya aktifis islam berkata bahwa ini soal kemanusiaan. Mereka harus di evakuasi dari kamp pengungsiaan untuk kembali ke tanah air. Karena bagaimanapun mereka adalah korban dari propaganda politik, yang membuat mereka bodoh dan tolol. Kepada warga asing saja seperti rakyat Rohingya yang jadi stateless kita bertanggung jawab menampung mereka. Mengapa kepada mereka yang lahir di Indonesia tidak diperlakukan sama. ? Jangan zolim lah. Katanya.

Namun dari sisi hukum, timbul pertanyaan. Apa dasar hukum nya bahwa mereka masih warga negara Indonesia? toh mereka sudah tidak punya passport. Tidak mematuhi aturan sebagai Warga negara Indonesia di luar negeri. Bukankah mereka sekarang di bawah UNHCR? Lantas gimana caranya pemerintah evakuasi? kalau mengkuti standar evakuasi UNHCR, pemerintah harus memberikan pekerjaan dan tempat tinggal bagi mereka. UNHCR jelas tidak mengizinkan pemerintah melakukan program deradikalisasi kepada mereka. Itu melanggar HAM.

Teman saya pengamat analis investasi punya pendapat lain soal rencana pemerintah memulangkan 600 orang ex kombat ISIS. Menurutnya, sejak posisi AS teracam di Irak akibat konflik dengan Iran dan mundurnya tentara AS dari Suriah, bagaimanapun AS ingin menghidupkan kembali semacam ISIS untuk merebut hegemoni mereka di Timur Tengah khususnya di Suriah dan Irak. Kalau sekarang sikap pemerintah ingin meng evakuasi ex Kombat ISIS, itu bisa saja bagian dari tekanan AS atas dukungan investasi ratusan triliun yang ditandangani di Abudhabi kemarin. AS butuh Indonesia untuk tempat mebran ex ISIS agar setiap saat bisa dikirim kembali ke Suriah dan Irak.

Sejak hubungan Beijing dan Jakarta tidak semesra tahun lalu, bandul politik memang ke Washington, para jihadis dan gerakan syariah islam mendapat angin segar untuk semakin kuat pengaruhnya dalam politik nasional, dan ABAS semakin percaya diri untuk the next presiden. Yang dikawatirkan adalah bagaimana bila ex ISIS itu justru menyerang tempat mebran nya sendiri seperti Virus Corona? Indonesia akan runtuh dan berganti dengan khilafah. Yang terjadi, terjadilah…Kata teman. Saya hanya termenung. Semoga tidak!

Identitas ex Kombatan ISIS?
Secara pribadi Jokowi menolak untuk menerima Ex kombat ISIS. Namun nanti tergantung dari ratas ( Rapat terbatas) kabinet. Hasil Ratas ada dua seperti yang diungkapkan oleh Menko Polkam, dievakuasi atau tidak. Kalau dievakuasi tentu ada syarat dan kalau tidak tentu ada alasan. Dalam bahasa politik sikap presiden jelas sebuah diplomasi untuk mengatakan “ tidak bisa menolak begitu saja”. Ini masalah kemanusiaan dan hukum. Jokowi sebagai pribadi satu hal tetapi Jokowi sebagai kepala negara atau presiden lain hal. Dia harus mendengar menteri dan pejabat terkait soal nasip mereka ex combat ISI.

Menurut pakar hukum tata negara sekaligus Guru besar Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Profesor Dr M Solly Lubis, mengatakan apabila orang-orang itu terbukti membakar atau menyobek paspor Indonesia secara sengaja, maka status kewarganegaraannya dapat dicabut. Mengapa ? Saya pernah punya pengalaman tahun 2011 waktu ke Eropa Timur. Passport saya dibuka paksa dari cover tambahannya oleh petugas Imigrasi Eropa Timur. Sehingga jahitan tengah dari buku passport itu rusak. Waktu masuk Beijing, petugas imigrasi China meminta saya tidak keluar dari China sebelum ada keterangan dari Kedutaan Indonesia mengenai passport saya rusak.

Saya langsung mendatangi konsulat Indonesia di Guangzou. Di konsulat, proses nya tidak mudah. Mereka tanya detail mengapa sampai passport saya dirusak. Untuk dapatkan passport baru, itu harus ada keputusan langsung dari Dubes. Tentu makan waktu lama. Tetapi karena saya ada teman di DPP Partai, saya katakan agar mereka hubungi nama dan telp seseorang yang saya maksud. Entah mengapa, dalam 4 jam selesai. Namun saya tidak dapat passport baru. Tetapi passpor sekali jalan. Saya tetap harus mendapatkan passport baru di Indonesia, dengan melaporkan kasus itu ke Dirjen Imigrasi. Dari mereka saya paham seperti ungkapan dari Profesor Dr M Solly Lubis. Artinya saya harus hati hati menjaga passport itu. Janga sekali sekali dirusak. Kalau ada yang merusak. Segera hubungi keduataan terdekat.  Secara hukum jelas, kalau orang sudah tidak ada passport lagi atau sampai merusak bahkan membakar passpor maka secara hukum stantus warga negaranya bisa dicabut. 

Mengapa mereka bergabung dengan ISIS.
Kompas TV, Kamis (14/9/2017) pernah menayangkan ex ISIS Nurshadrina Khaira Dhania dalam talks show. Dia, gadis berumur 19 tahun. Awal mula dirinya bergabung menjadi simpatisan ISIS sejak 2015 karena bujuk rayu pamannya yakni Djoko Wiwoho eks pegawai BP Batam yang juga simpatisan ISIS. Selain itu, dia juga penasaran dengan sejumlah kabar simpang siur mengenai ISIS.  Saya seorang pribadi yang curious yang ingin tahunya tinggi, cari-cari sendiri di internet," ujar Nurshadrina. Melalui internet, ia menemukan sebuah blog yang isinya tentang cerita kehidupan umat Muslim di bawah kekuasaan ISIS di Suriah. "Ketemu di Tumblr, ada sebuah kisah orang yang sudah sampai di tanah Suriah. Orang itu menceritakan keadaan di sana," ujar dia.

Nurshadrina juga melihat video-video pengakuan simpatisan ISIS lainnya yang membuat keinginannya untuk berhijrah semakin tinggi. "Mereka mengajak semua Muslim hijrah. Saya lihat video mereka semua. Anak-anak sekolah terjamin kehidupannya, semua yang bagus-bagus, sekolah gratis," kata dia. Bahkan, kata dia, ISIS berjanji kepada dirinya dan lima anggota keluarganya untuk mengganti semua biaya keberangkatan dan menjamin kehidupannya usai sampai di Suriah. 

"Mereka sendiri janji, biaya ke sana (Suriah) akan mereka gantikan. Penggantian utang, ada pekerjaan, gajinya tinggi. Jadi jangan takut kehilangan pekerjaan," ujar Nurshadrina. "Saya sudah termakan dengan berita mereka bahwa kewajiban berhijrah nanti akan masuk surga. Ketika ke sana (Suriah), dunianya dapat, akhiratnya pun akan dapat. Jadi saya ingin keluarga saya juga, saya ajak mereka semua," tuturnya.

Di samping itu, ketika ISIS tampil di Suriah dan Irak, pemerintah Indonesia dengan tegas tidak mengakui ISIS. Karena sikap inilah, para mereka yang sudah terpapar paham khilafah di Indonesia merasa terpanggil untuk membantu saudara muslimnya di Suriah. Mereka anggap ISIS membantu umat islam memerangi rezim Assad yang syiah. Memerangi Assad juga sama dengan memerangi rezim yang anti ISIS, termasuk pemerintah Indonesia. Inilah soal pilihan hidup untuk menjadi jihadis.

Penduduk Suriah yang bergabung dengan ISIS hanya ex residivis para pemerkosa, kriminal yang dibebaskan ISIS dari penjara setelah kota ditaklukan oleh ISIS. Sementara pemuda baik baik  di Suriah tidak ada yang mau bergabung dengan ISIS. Karena mereka tahu dan paham siapa itu ISIS. Mereka tidak mudah ditipu oleh propaganda ISIS. Sementara orang Indonesia dan warga asing lain nya bergabung dengan ISIS lebih karena ketidaktahuan informasi. Umumnya informasi didapat dari ustad dan berita internet yang memprovokasi mereka untuk bergabung dengan ISIS. Apalagi tidak ada fatwa MUI ketika itu yang mengharamkan bergabung dengan ISIS. Jadi dasar mereka bergabung benar benar karena faktor  provokasi ustad dan ingin mengubah nasip yang terpuruk di Indonesia. 

Status mereka setelah bergabung dengan ISIS?
Kalau merujuk Pasal 23 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, terdapat sejumlah hal yang bisa menyebabkan seorang warga negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya. Salah satunya adalah seperti tercantum dalam huruf a yang berbunyi “memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;” dan huruf f yang berbunyi “Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;” 

Benarkah UU tersebut bisa diterapkan kepada ex Combatan ISIS? Pertama, mereka tidak pernah pindah warga negara lain. Walau mereka bergabung dengan ISIS, namun ISIS bukan negara. ISIS hanya kolompok kriminal yang melakukan terorisme. Bukan negara yang diakui oleh PBB. Kedua, mereka tidak bisa dilindungin oleh UNHCR. Indonesia yang harus melindungi. Mengapa ? karena mereka tidak diusir karena alasan politik. Mereka pergi atas keinginan sendiri, yang berharap tinggal di negara yang menerapkan hukum islam ( Khilafah Islamiyah). Ketiga, walau mereka sudah tidak ada passport lagi atau passport nya diambil oleh ISIS atau dibakar. Itu tidak otomatis menghilakan status warga negara nya. Itu harus melalui pengadilan untuk memutuskan apakah mereka masih WNI atau tidak.  Mereka kini  bersama warga asing yang tergabung dengan ISIS berjumlah 73.000, dalam status  pengungsi di kamp Al-Hawl dan di kamp lainnya.

Dilema
Ada dua solusi. Pertama, para ex Combatan ISIS itu dievakuasi dari kamp pengungsian. Kedua, tidak di evakuasi. Kalau pilihan pertama, yang jadi masalah adalah mereka bukan hanya dicurigai tetapi memang sudah terpapar paham radikal. Termasuk anggota keluarga yang ikut ayah atau suaminya. Apapun dalih mereka merasa dibohongi, itu tidak menjamin  bahwa mereka sudah tobat. Kalau mereka ditampung di kamp deradikalisasi, timbul lagi permasalahan. Seperti apa Kamp deradikalisasi itu? Jangan jangan akan menimbulkan fitnah baru lagi terhadap pemerintah, seperti kasus muslim Uighur di China yang ditempatkan di Kamp deradikalisasi.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah setelah mereka usai mengikuti program deradikalisasi di kamp dapat dipastikan mereka bersih dan setia kepada NKRI? Masalahnya resiko penyebaran radikalisasi di luar Kamp jauh lebih dahsat. Banyak ormas yang sampai sekarang exist, tidak merasa takut menyebarkan paham khilafah. Bahkan mereka berani menantang  pemerintah yang ingin mengatur dakwah di Masjid agar tidak menyebarkan paham radikal. Belum lagi politisi seperti Gerindra dan PKS ikut membela penyebaran paham radikal. Faktanya sampai sekarang pemerintah masih dianggap gagal meredam radikalisme itu. Mau tambah lagi dengan ex combatan? 

Kedua, kalau pemerintah menolak mengevakuasi mereka dari kamp pengungsian, maka timbul pertanyaan, apakah Indonesia bisa menolak deportasi yang dilakuan pemerintah Suriah terhadap warga negara Indonesia itu? Karena bagaimanapun mereka tidak masuk dalam perlindungan UNHCR. Ya harus indonesia yang tanggung jawab. Penolakan indonesia akan berimplikasi buruk terhadap HAM international. Ini bukan soal politik tetapi soal kemanusiaan.  Dua solusi yang memang dilema. Dimakan roti emak mati, engga dimakan Ayah mati.

Menentukan sikap
Menghadapi dilema tersebut , pemerintah seyogianya jangan memilih  yang mudharatnya lebih besar.  Perhatikan. Ada 73.000 pengungsi Ex Kombatan ISIS di kamp pengungsi. Mereka memang bukan tentara ISIS. Yang jelas tentara berada di penjara di Suriah. Umumnya mereka adalah keluarga dari pendukung ISIS. Namun pengembalian mereka ke tempat asal mereka menimbulkan kekawatiran atas rencana besar khilafah islam untuk menyebarkan pengaruhnya ke negara lain. Tanpa dukungan AS tidak mungkin ISIS dapat melakukan itu. Antara ISIS dan AS saling memanfaatkan. AS punya kepentingan mengamankan geopolitik dan geostrategisnya, sementara ISIS ingin meluaskan pengaruh idiologinya mendirikan khilafah islam di seluruh dunia.

Anda mungkin mengerutkan kening hubungan antara AS dan ISIS.  Tapi semua tahu bahwa ISIS itu terusan dari AL Qaeda yang dibentuk oleh AS. Tujuannya melawan pengaruh Rusia dan Iran. Walau AS bersama koalisi Arab, Irak, Turki, bersama dengan Rusia dan Iran mengusir ISIS di Irak dan Suriah, namun dalam perjalanannya, AS menarik diri dari Koalisi. Secara tidak langsung AS mengingkari kemitraanya dalam koalisi melawan ISIS di Suriah. Tentu keputusan itu merupakan hadiah bagi ISIS dan peluang besar untuk mengulang kejayaannya merebut Suriah dan Irak seperi tahun 2014. 

Ada indikasi dua tahun setelah kehilangan wilayah terakhirnya di negara Iran, ISIS melakukan reorganisasi di Irak. Mereka  bersembunyi di Pegunungan Hamrin Irak. ni adalah pegunungan yang panjang, dan sangat sulit bagi tentara Irak untuk mengendalikan. Ada banyak tempat persembunyian dan gua. AS jelas akan memperkuat ISIS dengan senjatan dan uang. Karena As tidak ingin kehilangan asset ( proxy) yang sangat berharga di Irak sejak kekalahan ISIS dan semakin menguatnya pengaruh Iran di Irak. Apalagi setelah perisitiwa pembuhunah Qasem Soleimani hubungan Iran dan Irak semakin kental dan AS semakin tersudutkan di Irak. Jadi rencana untuk menghidupkan kembali ISIS itu menjadi rasional untuk menyelamatkan perang kepentingan AS di Irak dan Suriah.

Para mereka yang berasal dari beberapa negara , yang bergabung dengan ISIS, itu bukanlah hanya sekedar terpapar radikalisime ISIS. Tetapi lebih dari itu selama mereka berada di Suriah, di pendudukan ISIS, mereka telah menerima dokrin terus menerus. Mereka juga menyaksikan dengan wajah dingin penyembelihan para musuh ISIS. Itu bukan hanya para kombatan tetapi juga keluarga mereka. Anda bisa bayangkan anak anak dan wanita yang bertahun tahun berada di wilayah konflik dengan dokrin jihadis, itu tidak mudah mengubah mereka berbelok haluan. Mereka sudah terlatih bersiasat , termasuk berbohong demi mencapai tujuannya.

Kalau mereka kembali ke tanah air, maka design intelijen mengendalikan mereka pasti terus berlanjut. Apalagi ISIS dalam reorganisasinya mendapatkan dukugan dana besar dari AS. Dana ini akan mengalir untuk membina para jihadis yang pulang ke negara asalnya. Mereka akan jadi agent penyebaran pengaruh khilafah islamiah dan sekaligus sebagai mesin pembunuh kapan saja. Jangan dianggap enteng. 600 orang yang militan itu sama dengan kekuatan 60 juta orang yang diam. Di Irak dan Suriah , tadinya ISIS hanya ratusan saja. Tetapi ratusan itu bisa meluluh lantakan negeri seperti Suriah dan Irak.

Ingat peristiwa teroris di Surabaya yang melibatkan anak dan istri dalam aksi bomb bunuh diri terhadap Gereja.  Aksi ini akan sangat efektif sebagai alat menekan pemerintah untuk mengikuti kebijakan geopolitik AS. Pada waktu bersamaan Partai yang memberikan dukungan kepada ISIS akan mendapatkan dana politik dari AS untuk merebut kemenangan dalam setiap pilkada dan pemilu. Agar mereka menjadi asset ( proxy) AS untuk mengamankan geostrategis AS. Seyogianya pemerintah dalam melihat persoalan pengembalian ex kombatan ISIS ini tidak hanya dari sisi kemanusiaan terhadap nasip 600 orang itu yang ada di kamp pengungsian di Suriah. Tetapi lebih dari itu adalah kemanusiaan yang adil dan beradab bagi 250 juta rakyat Indonesia. 

Mayoritas rakyat Indonesia itu inginkan damai. Secara mental mereka tidak siap ribut seperti Suriah. Kalau sampai terjadi, ini akan jadi perang horisontal yang panjang dan penuh amis darah. NKRI akan pecah. Mengapa ? Selama lebih 10 tahun pemerintah gagal meredam radikalisme. Bahkan sekarang semakin pesat perkembangannya. Karena itu, suka tidak suka, selama lebih dari 10 tahun politik kita seperti api dalam sekam. Hanya butuh ledakan kecil maka akan meluas tanpa bisa dikendalikan lagi. Sebaiknya para elite politik jangan menggampangkan masalah ex kombatan ISIS ini. Jangan karena politik dibawah tekanan AS lantas ragu membela 260 juta rakyat demi menyelamatkan 600 ex kombatan ISIS.

Pendidikan politik.
Kombatan ISIS adalah WNI, seperti juga WNI yang kena ancaman virus korona, mereka juga mesti diurus negara. Karena memang negara mesti hadir. Dan penanganan yang tepat justru jadi management knowledge yang mahal untuk SOP masa depan," kata Mardani dalam keterangan tertulis. Dia membandingkan polemik tersebut dengan pemulangan WNI dari Tiongkok yang terancam wabah virus korona. Kalau dicermati sekilas, ungkapan Mardani itu terkesan sangat bijak. Tetapi sebetulnya ungkapan itu bernuansa politik. Padahal  WNI di Wuhan dan di pengungsian Suriah, dua hal yang berbeda, dalam hal esensi maupun konteks persoalannya.

Umat islam yang merupakan basis suara PKS, khususnya orang awan, langsung punya konotasi “ kalau urusan dengan China , dengan orang kafir , semua gampang. Tapi kalau urusan dengan orang islam, semua jadi sulit”. Orang awam tidak paham siapa dan mengapa WNI ada di China itu. Siapa dan mengapa WNI yang ada di Suriah bersama ISIS. Kalaupun mereka sedikit paham, itu tidak mempengaruhi stigma bahwa pemerintah zolim kepada orang islam. Ini cara berpolitik yang benar benar tidak mendidik.

Mengapa ? Di dalam negara itu ada rakyat, Ormas, tokoh  masyarakat, pemerintah. Semua punya tanggung jawab masing masing. Engga bisa kalau bicara negara artinya itu hanya melulu soal pemerintah. Artinya kalau negara diminta hadir dalam setiap persoalan, maka kita semua juga harus ikut bertanggung jawab terhadap persoalan bangsa ini.

Seharusnya Mardani memanfaatkan momentum polemik evakuasi WNI ex ISIS ini untuk melakukan pendidikan politik. PKS harus berkata kepada publik “ Jangan pernah percaya jargon khilafah islamiah. Itu semua adalah  pembodohan dan penipuan. Lihatlahn contoh umat islam yang sekarang ada di kamp pengungsian. Mereka meratap atas kebodohannya dan berharap dipulangkan ke Indonesia.”

Seharusnya MUI dan Ormas Islam juga mengeluarkan pendapat keagamaan, bahwa mempercayai ISIS atau sejenis yang mempropagandakan khilafah adalah haram. Ini momentum yang tepat. Saat yang tepat untuk mendidik masyarakat dan sekaligus mencerdaskan masyarakat agar tidak melakukan kezoliman terhadap dirinya sendiri.

Seharusnya pemerintah, menteri agama, juga mengeluarkan pernyataan “ Ex ISIS ini adalah bukti nyata kalau rakyat tidak patuh kepada pemerintah. Dulu diperingatkan jangan ke Suriah tetapi bandel dan merasa benar dengan keyakinan beragama. Padahal salah. Kalau sudah begini kan membuat repot semua orang. Bukankah biaya kepulangan itu menggunakan uang pajak rakyat termasuk pajak umat agama lain yang dianggap kafir oleh pengusung khilafah islamiah.”

Dengan sikap seperti tersebut diatas, maka polarisasi di tengah masyarakat, tidak terjadi. Masyarakat focus kepada nilai nilai kemanusiaan terhadap nasip saudaranya yang jadi korban kebodohan ISIS. Tetapi dengan cara membela mereka Ex ISIS itu, dengan alasan kemanusiaan , dan menyalahkan faktor kemiskinan dan ketidak adilan sehingga paksa pemerintah tanggung jawab mengevakuasi mereka, itu semakin menimbulkan persoalan politik, bukan lagi kemanusiaan. Jangan salahkan orang lain bila beranggapan partai dan Ormas juga berperan mempropagandakan orang berangkat dan bergabung dengan ISIS. Lantas mengapa negara harus tanggung jawab memulangkan mereka.?

Lihatlah China ketika ada wabah virus corona, itu kesempatan bagi elite politik mencerdaskan rakyat agar rakyat tidak lagi mengkonsumsi hewan liar, dan mengutamakan kesehatan dengan menjaga kebersihan dan menjaga lingkungan tetap sehat. Tanpa disadari wabah ini menjadi ajang pendidikan mental terbaik secara nasional dan sekaligus upaya revolusi budaya dari hedonis menjadi egaliter seperti prinsip komunisme. Setelah wabah virus ini, China akan menjadi lebih kuat secara mental. 

Bangsa ini terpuruk dan sulit mengatasi hambatan menjadi peluang seperti China, karena para elite tidak pernah mendidik dan mencerdaskan masyarakat secara politik. Mereka justru memperbodoh rakyat dan menggiring narasi dalam setiap persoalan agar rakyat tergantung kepada  elite. Ini benar benar berpolitik dengan cara cara Machiavellianisme. Sangat destruktif terhadap pendidikan mental dan akhlak. Kalau sikap ini tidak diubah, negari ini sangat renta dari pengaruh globalisasi. Kita benar benar berada diatas tungku dan setiap orang mengenggam bara. 

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...