Sunday, February 23, 2014

Memilih? Pemilu...

Apabila orang punya kemampuan memilih maka ia punya keinginan untuk berubah.  Kata teman saya ketika kami berbicara seputar Golput atau Golongan Putih atau mereka yang tidak ikut memilih dalam sistem Pemilu. Mereka termasuk golongan yang  tidak lagi percaya akan ada perubahan setelah mereka memilih.  Menurut saya Golput adalah dampak dari sistem demokrasi liberal itu sendiri. Walau Golput tidak diharapkan namun dalam demokrasi hak  untuk tidak memilih dan dipilih harus dihormati. Karena tidak memilih juga adalah sikap memilih.  Di Amerika Serikat (AS), negara yang terkenal paling maju kehidupan demokrasinya, partisipasi warga dalam pemilu hanya 60 % dari pemilih yang sah (registered voters). Khusus untuk pemilihan presiden Obama tahun 2008 agak spektakuler, angkanya sedikit diatas 70 %, namun untuk Pipres yang kedua tingkat partisipasi pemilu kembali turun dibawah 60% . Mengapa ? kurangnya kepercayaan pada para pemimpin, kurangnya perasaan positif tentang lembaga-lembaga politik, kurangnya pendidikan berkualitas dan rendahnya lulusan perguruan tinggi, efek memecah-belah akibat  gelombang teknologi komunikasi, dan sinisme terhadap sistem pemerintahan yang hanya membuat segelintir orang kaya raya . Itu semua akan menjadi pendorong mereka untuk menolak berpartisipasi dalam pemilu. Ini hukum sosial bahwa orang memilih karena inginkan perubahan. Jadi Pemilu ada kaitannya dengan kualitas rakyat dan tingkat keperacayaan rakyat kepada negara.

Sebetulnya , kata teman saya bahwa apabila rakyat yang tidak peduli lagi dengan pemerintah dan mereka menerima kenyataan itu tanpa mereka marah maka itu tandanya rakyat semakin kuat dan pemerintah semakin lemah. Justru disitulah kekuatan demokrasi pada akhirnya. Orang terpilih sadar bahwa mereka dipilih oleh segelintir orang saja, hanyalah sebagai pelengkap eksistensi negara. Mereka sadar posisi mereka renta. Orang cenderung bekerja benar apabila dia merasa tidak seratus persen kuat. Dia lemah.  Benarkah analogi ini? Tahun 1960 ketika Amerika menghadapi krisis hebat, rasio tingkat ketergantungan rakyat hanya 10%. Upaya recovery berlangsung cepat sekali dan bahkan membuat AS lebih kuat dari sebelumnya. Ketika terjadi krisis yang terkenal dengan istilah crisis dot.com pada tahun 2000, tingkat ketergantungan rakyat AS kepada pemerintah 21 %. Upaya recovery berlangsung efektif. Ketika Era Obama tingkat ketergantungan Rakyat Amerika kepada pemerintah mencapai level tertinggi yaitu 35% yang juga paling tinggi tingkat participasi pemilu. Upaya economy recovery paska crisis mortgage sampai kini belum juga pulih bahkan membuat AS masuk dalam krisis hutang. Menurut hasil study bahwa ternyata ada hubungan kuat antara rasio tingkat ketergantungan itu terhadap daya tahan ekonomi AS. Artinya apa ? ketika masalah terjadi, bencana terjadi, kekuatan masyarakat sendiri yang melakukan perbaikan karena tingkat ketergantungan kepada pemerintah memang kecil.

Itu sebabnya , China paham betul ketika mereka melakukan reformasi ekonomi, yang pertama mereka lakukan adalah melepaskan ketergantungan rakyat kepada pemerintah. Sebagian besar BUMN yang tidak ada hubungannya dengan Public Service Obligation ( PSO) di tutup. Sementara BUMN yang tingkat PSO nya dibawah 40% di privatisasi. Sisanya yang rasio PSO nya diatas 70% ditingkatkan dukungannya dan diperluas misinya untuk mengawal rakyat dari serangan kekuatan modal dan terkhnologi dalam berhadapan pasar bebas. Deng ketika mencanangkan reformasi menyebut kebijakannya sebagai bentuk lahirnya ”emansipasi ” rakyat kepada negara untuk terlibat langsung dalam proses pembangunan. Pemerintah hanya memberikan kanal untuk tersalurnya emansipasi agar rakyat mampu mengorganisir dirinya sendiri ' untuk menyelesaikan masalahnya dan meraih kemakmuran. Di Indonesia dari tahun ketahun , dari satu rezim ke rezim berikutnya , sifat ketergantungan rakyat kepada pemerintah memang di design semakin besar. Bahkan kita selalu berharap bergantinya rezim akan terjadi perubahan seperti mitos tentang ”satro paningit”. Makanya jangan kaget Pemilu menjadi pesta termahal didunia. Bahkan tak sepi dari keributan. Setelah itu , kembali ribut bila harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Padahal Pemerintah bukanlah Tuhan yang bisa berkata kun faya kun, bukan pula dongeng lampu aladin yang bisa berkata "abrakadabra" Pemerintah hanyalah kumpulan orang yang terdidik baik tapi tak siap mandiri. Lantas apakah pantas kita berharap kepada kumpulan orang seperti ini untuk menjadi undertaker dan provider kebutuhan kita ?

Jadi Pemilu yang akand datang.  Golput atau tidak, itu bukan masalah. Yang paling penting adalah mulai dari sekarang kita harus merubah mindset ini , jangan lagi tergantung kepada pemerintah. Jangan!. Terutama yang Golput harus lebih hebat kemampuan mandirinya. Untuk yang masih berharap kepada pemimpin  maka pilih pemimpin yang amanah yang punya track record tidak pernah korupsi, tidak punya hutang, rendah hati dan dikenal dekat kepada rakyat. Setelah anda pilih maka jangan puji, jangan kultuskan, jangan berharap banyak. Bangunlah kebersamaan dari kalangan terdekat dan bergerak semakin melebar dalam lingkaran kokoh saling menolong, bergotong royong untuk jadi komunitas yang dirahmati Allah. Bukankah sebagian besar penduduk Indonesia, adalah komunitas Islam yang di design oleh Allah untuk berjamaah tanpa tergantung kepada manusia kecuali kepada Allah.


No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...