Saturday, February 8, 2014

Koalisi dan demokrasi?

Amandemen UUD 45 telah merombak structure constitutional dan bersifat controversial, membuka peluang kepada parpol untuk memberi interpretation subjective mengenai posisi parpol didalam lembaga legislative. Bahkan ada yang menganggap bahwa amendment ini telah merubah system pemerintahan dari presidential menjadi semi parlementer, dan karena itu merasa tidak mempunyai pegangan untuk bisa menyatakan posisi dirinya dan fungsinya di DPR. Makanya ada istilah kubu Oposisi dan kubu pemerintah. Pada sejatinya, dalam UUD 45, fungsi DPR adalah bertugas secara fungsional tanpa kecuali untuk mengawasi tugas eksekutive, membuat UUD, menetapkan APBN. Jadi tidak ada istilah kubu pemerintah ataupun oposisi. Makanya , dengan amendment ini terjadi perpecahan kelompok pemikiran di DPR sesuai kepentingannya terhadap kebijakan pemerintah. Akibatnya menciptakan ketidak pastian yang tak berujung, sehingga melahirkan politik dagang sapi. Pasal UU diperdagangkan atau dibarter dalam sharing kekuasaan di parlemen. Makanya, jangan aneh bila UU dicreate bukan untuk kepentingan rakyat tapi kepentingan partai /kekuasaan/modal. Jangan aneh  walau anggota DPR dipilih langsung oleh Rakyat namun kapan saja bila dia berseberangan dengan kebijakan partai,dia bisa disingkirkan oleh partainya lewat aturan mengenai PAW ( pergantian antar waktu). Makanya anggota DPR setelah terpilih tidak lagi loyal kepada rakyat tapi loyal kepada Partai. Dia harus menghamba kepada partainya agar korsinya aman, walau dia tahu kebijakan partainya tidak sesuai dengan kehendak pemilihnya.
Kini menjelang pemilu partai sibuk loby sana loby sini. Tujuannya adalah menggalang kekuatan dalam bentuk koalisi. PDIP adalah partai yang diibaratkan wanita cantik yang diincar oleh banyak partai genit seperti Golkar,  Partai Demokrat. Maklum PDIP mempunya elektabilitas yang tinggi dan organisasi partai yang paling solid. Dari kader akar rumput samai dengan jajaran elite politiknya tunduk dengan single commander. Dua periode kekalahan PDIP dalam pemilu telah mengajarkan banyak kepada kader PDIP untuk kembali kepada jati diri perjuangan mereka untuk wong cilik. Kini PDIP telah menjelma menjadi partai modern yang bekerja berdasarkan idiology tanpa terjebak dengan pragmatisme. Namun sampai kini PDIP belum bersikap untuk menentukan koalisi walau elite PDIP sadar mereka harus menjalin koalisi. Karena dengan ambang batas Presidential Threshold, tidak ada satupun partai yang bisa berjalan sendiri kecuali ada miracle. Idealnya bila koalisasi terbentuk karena kesamaan idiologi namun pada prakteknya adalah bagi bagi kekuasaan dengan mengedepankan politik pragmatis. Sehingga tujuan koalisi menjadi tidak efektif. Pemerintah menjadi lemah dan sulit mengambil keputusan penting yang strategis. Didunia ini hanya empat negara penganut sistem presidensialisme yang berhasil dalam menciptakan pemerintah yang efektif dan stabil. Keempat negara tersebut adalah Amerika Serikat, Costa Rica, Columbia, dan Venezuela.Itupun karena partainya tidak banyak, yaitu paling banyak 3 dengan idiologi yang jelas sehingga jelas pula chemistry nya dalam berkoalisi.

Dalam tesisnya , tentang, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination”, Comparative Political Studies, Scott Mainwaring telah memperingatkan bahwa sistem presidensial yang diterapkan dalam kontrsuksi multi partai, akan melahirkan ketidakstabilan pemerintahan dan menghasilkan presiden minoritas dan pemerintah yang terbelah. Hal ini terbukti sudah dalam system politik kita. Tapi para elite sibuk mencoba mengatisipasi kelemahan dari multipartai itu. Caranya dikeluarkan aturan tentang ambang perolehan suara di pemilu (electoral threshold) dan penerapan ambang batas perolehan kursi di parlemen (parliamentary threshold) melalui pembagian daerah pemilihan (Dapil). Ini akan mendorong terciptanya secara alamiah system multipartai yang sederhana. Hanya masalahnya proses menuju multipartai yang sederhana itu memakan waktu lama dan biaya yang mahal. Padahal ujungnya sudah diketahui akan menimbulkan masalah bagi kekuatan politik nasional. Lantas mengapa tetap juga dijalankan?. Yang pasti, Pemilu yang akan datang tetap akan menhasilkan dua kamar kekuasaan yang saling berseteru. Walau koalisi terbentuk di parlemen untuk mendukung president maka mindset politik yang berkata “ tidak ada teman sejati, yang ada hanyalah kepentingan “maka sehebat apapun koalisi dibangun, satu saat dia akan rontok dimakan politik kepentingan. Inilah yang membuat kekuatan unity bangsa ini sangat renta dipecah belah dan akibatnya lemah sebagai bangsa yang besar untuk menjawab masalah besar yang terus berkembang dari tahun ketahun.

Kita tidak mengatakan system demokrasi ala Orde Baru lebih baik untuk menopang persatuan atau lebih buruk karena terkesan dictator atau centralist. Juga kita tidak bisa mengatakan system politik ala barat dan AS lebih baik. Dan system kita sekarang sudah final. Tidak.! Apapun system yang dibangun selagi hak politik rakyat tidak menyatu dalam nafas kekuatan politik formal di parlement atau dipemerintahan maka jangan berharap potensi 200 juta lebih rakyat akan menjadi symbol kebesaran bangsa kita. Selama aspirasi kolektive rakyat tidak terbangun maka konspirasi kepentingan golongan akan terus terjadi, dalam system apapun. Demokrasi hanya akan melahirkan gerombolang politisi culas. Terbangunnya aspirasi kolective hanya mungkin bila dilakukan melalui pendekatan budaya local dengan menempatkan agama sebagai tulang punggung untuk mencerahkan rakyat tentang hak haknya dibidang politik, budaya, ekonomi maupun social. Dari sinilah akan lahir kepemimpinan yang berakar dengan komunitasnya. Apapun system politik yang diterapkan , dia akan hidup dan terlindungi karena dia dalam rahmat Allah, yang pantas melegitimasi dirinya sebagai “suara rakyat adalah suara tuhan.”

No comments:

Masa depan IKN?

  Jokowi mengatakan bahwa IKN itu kehendak rakyat, bukan dirinya saja. Rakyat yang dimaksud adalah DPR sebagai wakil rakyat. Padahal itu ini...