Friday, February 28, 2014

Strategy...?

Tahukah kamu kata teman waktu ketemu kemarin sehabis acara presentasi proyek infrastruktur, bahwa dulu era Soeharto semua kekuatan hanya bertumpu ditangan President. Lembaga President menjadi lembaga tak tertandingi. Inilah kesaktian kekuasaan yang berdasarkan UUD 45. Hanya dikawal oleh 500.000 personel tentara namun dia dapat berkuasa selama 32 tahun dalam kondisi yang sangat stabil mengendalikan lebih dari 150 juta rakyat. Program yang dikenal ketika itu adalah stabilitas politik , stabilitis ekonomi dan stabilitas keamanan. Ketiga hal ini yang dijaganya dengan all at cost. Soeharto tidak merasa berdosa bila karena itu harus membunuh orang tanpa diadili (Petrus), tidak merasa melanggar HAM bila menangkap lawan poltik  dan diadili dengan sesukanya atau mencekal lawan politik tanpa ada pengadilan. Namun dari stabilitas itulah strategy nya bekerja untuk membangun SD diseluruh desa untuk mengurangi angka buta hurup. Membangun Puskesmas  diseluruh Desa untuk memastikan pelayanan kesehatan terjangkau bagi semua rakyat. Membangun basis ekonomi rakyat lewat koperasi. Membangun irigasi, bendungan dan mencetak sawah baru, untuk mencapai swasembada pangan.Membangun jalan trans sumatera, trans kalimantan dan tran sulawesi untuk membuka wilayah dan mengembangkan potensi wilayah. Dan banyak lagi program berjalan dengan terencana dengan tujuan yang jelas.

Bagaimana Soeharto bisa menggerakan kekuatannya dengan sangat efektif dalam keadaan demokrasi dipasung dibawah dokrin pancasila? Itulah pertanyaan saya kepada teman ini.Dia mengatakan bahwa pada era Soeharto kekuatan itu sebetulnya berasal dari elemen masyarakat  namun semua elemen masyarakat itu ditempatkan dalam satu kata yang disebut ‘tentara”. Tentara itu dalam bahasa Yunani adalah srategois dan stratos atau strategy yang artinya adalah pelaksana atau pihak yang menjalankan. Makanya diera Soeharto tentara itu disebut Angkatan. Ada angkatan yang dipersenjatai atau disebut dengan ABRI, dan ada juga angkatan yang tidak dipersenjatai ( aparatur negara termasuk direktur BUMN dan rakyat). Kedua angkatan ini bekerja sesuai bidang keahliannya masing masing untuk mencapai tujuan nasional. Mereka  tidak melakukan politik tapi hanya pelaksana dari politik yang tertuang dalam GBHN.Tugas mereka menterjemahkan GNHN itu dalam bentuk kegiatan ekonomi,sosial dan budaya. Sementara Politik tetap ada pada President. Hanya presiden yang boleh berpikir dan bersikap tentang politik. Makanya barisan semua kekuatan nasional selalu rapat dan lurus. Gerakan barisan tidak pernah berkelok atau bergeser dari tujuan nasional. Kekuatan seperti ini tidak bisa dimasuki oleh kekuatan asing yang ingin memecah belah dan menguasai dengan cara neokolonial.

Meski cara kepemimpinan Soeharto tidak lepas dari kritik para aktivis atau lawan-lawan politiknya, namun Soeharto menjadi berkah bagi rakyat kecil. Bagi rakyat kecil , era Soeharto merupakan era terbaik karena sembilan kebutuhan pokok yang mereka butuhkan sangat terjangkau. Harga beras murah, minyak tanah juga, bahkan harga cabai tak sampai semahal sekarang. Keamanan buat mereka pun terjamin, yang paling membanggakan lagi, di era Soeharto, Indonesia menjadi negara yang paling berpengaruh dan disegani di Asia Tenggara. Tak ada negara ASEAN yang berani menyinggung Indonesia seperti yang dilakukan oleh Malaysia sekarang. Perkembangan GDP perkapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya US$70 dan pada tahun 1996 telah mencapai lebih dariUS$1.000, sukses transmigrasi, sukses KB, sukses memerangi buta huruf, pengangguran minimum, sukses Gerakan Wajib Belajar, sukses Gerakan Orang Tua Asuh, sukses keamanan dalam negeri, investor asing mau menanamkan modal di Indonesia, dan sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri. Setiap lima tahun program pembangunannya selalu terjadi perubahan yang significant. Janjinya selalu dipenuhinya. Ini bukan hanya retorika tapi memang dirasakan oleh rakyat.

Lambat laun lawan politiknya menjadi kehilangan alasan untuk berseberangan dengan Soeharto. Puncaknya adalah ketika masuknya barisan kekuatan intelektual Islam ( ICMI) dalam lingkaran kekuasaan Soeharto. Inilah yang sangat mengkawatirkan Barat/AS yang punya prinsip apapun kekuatan islam harus dihabisi.  Soeharto tidak lagi dianggap good boy di Asia Tenggara sejak dia menunaikan rukun Islam ke Lima. Kembali cara lama dipakai oleh Barat/AS yaitu menggunakan  tokoh tokoh  islam yang dibina dan didik  oleh agent demokrasi Amerika untuk menjadi agent perubahan di Indonesia.Menjadi pressure group terhadap kekuasaan Soeharto.Issue yang dipakai adalah KKN. Gelombang tuntutan reformasi walau sayup namun telah mengakibat berderaknya kesatuan kekuatan angkatan dalam Tentara. Karenanya hanya dengan sedikit sapuan gelombang hedge fund dari George Soros telah membuat ekonomi Indonesia limbung dan politikpun ikut limbung. Seoharto nampak menua yang lelah menghadapi tekanan dari segala sudut agar dia mundur. Soeharto jatuh dan Elite reformasi yang dimotori oleh tokoh islam seperti Amin Rais ( Muhammadiah), Abdul Rahman Wahid ( NU), Nurcolis Madjid ( Cendikiawan Islam) tampil menjadi pahlawan.  Melalui mereka reformasi di design. Tidak di design sesuai syariat islam tapi sesuai  design dari USAID. UUD 45 di amandement menjadi UUD 2002 yang menempatkan Indonesia menjadi negara demokrasi liberal. Terjadi perubahan dari single power menjadi group power yang flexible yang tak mudah dirubuhkan karena ia lentur seperti ular.

Sebagian orang menganggap system demokrasi adalah system yang paling baik untuk mendistribusikan kebaikan, kebenaran dan keadilan. Kata saya. Teman itu mengatakan bahwa dia tidak mempermasalahkan demokrasi. Tapi yang harus diketaui bahwa system demokrasi bukanlah seperti nilai nilai demokrasi yang bicara tentang kedamaian, kebebasan, dan kesetaraan. Demokrasi adalah alat untuk lahirnya tiran baru. Rezim yang ingin menguasai dunia dalam satu genggaman. Merupakan bagian dari program neoliberal yang memungkinkan dunia terintegrasi menjadi wilayah private. Tak ada lagi idiologi sebagai perekat rakyat dalam barisan teratur. Kecuali semua mengarah kepada kepentingan kapitalisme global. Pada waktu bersamaan meminggirkan semangat nasionalisme, semangat kebersamaan, semangat kasih sayang. Yang ada hanyalah individualisme. You win you take all. Sebagai sebuah system politik maka konsep neoliberal menjauhkan tanggung jawab social dan ekonomi negara kepada rakyat. Artinya hal yang berkaitan dengan social dan ekonomi harus dipisahkan dari struktur pemerintahan.  Karenanya jangan kaget banyak negara tak berdaya terhadap tuntutan neoliberal. Seakan tangan pemerintah dirantai untuk bebas melindungi rakyat yang lemah akibat persaingan kapitalis. Demokrasi yang kita kenal hanya ada dalam konsep yang melangit namun tak pernah membumi. Ia hannya menjadi sekedar sebuah procedural dan pemerintah hasil pemilu menjelma menjadi pemerintahan oligarhis atau plutokratis. Yang ada kini demokrasi bukannya seperti konsep idealnya dimana dari rakyat , oleh rakyat tapi dari pasar, oleh pasar dan untuk pasar. Asing (AS/Barat) melalui para bedebahnya dapat dengan  mudah menjatuhkan Tentara Soeharto untuk menguasai Indonesia dan terjajahlah sudah ...

Sunday, February 23, 2014

Memilih? Pemilu...

Apabila orang punya kemampuan memilih maka ia punya keinginan untuk berubah.  Kata teman saya ketika kami berbicara seputar Golput atau Golongan Putih atau mereka yang tidak ikut memilih dalam sistem Pemilu. Mereka termasuk golongan yang  tidak lagi percaya akan ada perubahan setelah mereka memilih.  Menurut saya Golput adalah dampak dari sistem demokrasi liberal itu sendiri. Walau Golput tidak diharapkan namun dalam demokrasi hak  untuk tidak memilih dan dipilih harus dihormati. Karena tidak memilih juga adalah sikap memilih.  Di Amerika Serikat (AS), negara yang terkenal paling maju kehidupan demokrasinya, partisipasi warga dalam pemilu hanya 60 % dari pemilih yang sah (registered voters). Khusus untuk pemilihan presiden Obama tahun 2008 agak spektakuler, angkanya sedikit diatas 70 %, namun untuk Pipres yang kedua tingkat partisipasi pemilu kembali turun dibawah 60% . Mengapa ? kurangnya kepercayaan pada para pemimpin, kurangnya perasaan positif tentang lembaga-lembaga politik, kurangnya pendidikan berkualitas dan rendahnya lulusan perguruan tinggi, efek memecah-belah akibat  gelombang teknologi komunikasi, dan sinisme terhadap sistem pemerintahan yang hanya membuat segelintir orang kaya raya . Itu semua akan menjadi pendorong mereka untuk menolak berpartisipasi dalam pemilu. Ini hukum sosial bahwa orang memilih karena inginkan perubahan. Jadi Pemilu ada kaitannya dengan kualitas rakyat dan tingkat keperacayaan rakyat kepada negara.

Sebetulnya , kata teman saya bahwa apabila rakyat yang tidak peduli lagi dengan pemerintah dan mereka menerima kenyataan itu tanpa mereka marah maka itu tandanya rakyat semakin kuat dan pemerintah semakin lemah. Justru disitulah kekuatan demokrasi pada akhirnya. Orang terpilih sadar bahwa mereka dipilih oleh segelintir orang saja, hanyalah sebagai pelengkap eksistensi negara. Mereka sadar posisi mereka renta. Orang cenderung bekerja benar apabila dia merasa tidak seratus persen kuat. Dia lemah.  Benarkah analogi ini? Tahun 1960 ketika Amerika menghadapi krisis hebat, rasio tingkat ketergantungan rakyat hanya 10%. Upaya recovery berlangsung cepat sekali dan bahkan membuat AS lebih kuat dari sebelumnya. Ketika terjadi krisis yang terkenal dengan istilah crisis dot.com pada tahun 2000, tingkat ketergantungan rakyat AS kepada pemerintah 21 %. Upaya recovery berlangsung efektif. Ketika Era Obama tingkat ketergantungan Rakyat Amerika kepada pemerintah mencapai level tertinggi yaitu 35% yang juga paling tinggi tingkat participasi pemilu. Upaya economy recovery paska crisis mortgage sampai kini belum juga pulih bahkan membuat AS masuk dalam krisis hutang. Menurut hasil study bahwa ternyata ada hubungan kuat antara rasio tingkat ketergantungan itu terhadap daya tahan ekonomi AS. Artinya apa ? ketika masalah terjadi, bencana terjadi, kekuatan masyarakat sendiri yang melakukan perbaikan karena tingkat ketergantungan kepada pemerintah memang kecil.

Itu sebabnya , China paham betul ketika mereka melakukan reformasi ekonomi, yang pertama mereka lakukan adalah melepaskan ketergantungan rakyat kepada pemerintah. Sebagian besar BUMN yang tidak ada hubungannya dengan Public Service Obligation ( PSO) di tutup. Sementara BUMN yang tingkat PSO nya dibawah 40% di privatisasi. Sisanya yang rasio PSO nya diatas 70% ditingkatkan dukungannya dan diperluas misinya untuk mengawal rakyat dari serangan kekuatan modal dan terkhnologi dalam berhadapan pasar bebas. Deng ketika mencanangkan reformasi menyebut kebijakannya sebagai bentuk lahirnya ”emansipasi ” rakyat kepada negara untuk terlibat langsung dalam proses pembangunan. Pemerintah hanya memberikan kanal untuk tersalurnya emansipasi agar rakyat mampu mengorganisir dirinya sendiri ' untuk menyelesaikan masalahnya dan meraih kemakmuran. Di Indonesia dari tahun ketahun , dari satu rezim ke rezim berikutnya , sifat ketergantungan rakyat kepada pemerintah memang di design semakin besar. Bahkan kita selalu berharap bergantinya rezim akan terjadi perubahan seperti mitos tentang ”satro paningit”. Makanya jangan kaget Pemilu menjadi pesta termahal didunia. Bahkan tak sepi dari keributan. Setelah itu , kembali ribut bila harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Padahal Pemerintah bukanlah Tuhan yang bisa berkata kun faya kun, bukan pula dongeng lampu aladin yang bisa berkata "abrakadabra" Pemerintah hanyalah kumpulan orang yang terdidik baik tapi tak siap mandiri. Lantas apakah pantas kita berharap kepada kumpulan orang seperti ini untuk menjadi undertaker dan provider kebutuhan kita ?

Jadi Pemilu yang akand datang.  Golput atau tidak, itu bukan masalah. Yang paling penting adalah mulai dari sekarang kita harus merubah mindset ini , jangan lagi tergantung kepada pemerintah. Jangan!. Terutama yang Golput harus lebih hebat kemampuan mandirinya. Untuk yang masih berharap kepada pemimpin  maka pilih pemimpin yang amanah yang punya track record tidak pernah korupsi, tidak punya hutang, rendah hati dan dikenal dekat kepada rakyat. Setelah anda pilih maka jangan puji, jangan kultuskan, jangan berharap banyak. Bangunlah kebersamaan dari kalangan terdekat dan bergerak semakin melebar dalam lingkaran kokoh saling menolong, bergotong royong untuk jadi komunitas yang dirahmati Allah. Bukankah sebagian besar penduduk Indonesia, adalah komunitas Islam yang di design oleh Allah untuk berjamaah tanpa tergantung kepada manusia kecuali kepada Allah.


Saturday, February 15, 2014

Pencucian Uang...?

Ketika kasus impor sapi, KPK begitu hebatnya membuka aliran dana Fathanah ke beberapa wanita yang kebetulan semua adalah artis. Kemudian , Akil tertangkap, KPK juga menemukan aliran dana ke beberapa artis tenar. Baru baru ini berita tentang ditemukannya aliran dana dari Wawan kepada beberapa artis. Semua yang menerima aliran dana itu adalah wanita dan tersangka korupsi adalah pria. Siapakah yang begitu hebatnya mampu menemukan aliran dana para koruptor ini? dia adalah PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Walau undang undang perbankan dengan tegas dan keras menyebutkan bahwa rekening dan informasi seputar nasabah bank adalah rahasia yang tidak bisa dibuka kepada siapapun walau itu untuk kepentingan pengusutan pajak, kecuali ada izin dari Pengadilan.  Namun khusus mereka yang masuk ICU (Investigation Crime Unit ) KPK, hal tersebut tidak berlaku. KPK bisa memerintahkan PPATK untuk membukan informasi aliaran dana melalui cross check dengan BI dan Financial Service Intelligent. PPATK sangat power body ketika dia mendapat perintah dari KPK. Kehebatannya teruji begitu canggihnya sehingga sekecil apapun aliran dana itu , dapat dilacak. Kita patut berbangga bahwa sistem demokrasi mampu melahirkan lembaga yang mampu melacak aliran dana para koruptor sehingga dipastikan siapapun yang bersinggungan dengan koruptor harus hati hati atau harus segara menghindar. Dengan demikian akan menutup celah bagi koruptor untuk mencuci uangnya. Karena kejahatan itu sulit dihapus bila para penjahat bebas menyimpan hasil kejahatannya.

Benarkah PPATK telah melaksanakan fungsinya sebagai lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang?. Yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pencegahan dan pemberantasaan pencucian uang sekaligus membangun rezim anti pencucian uang dan kontra pendanaan terorisme di Indonesia. Benarkah? Minggu lalu saya bertemu dengan teman yang bekerja sebagai periset dilembaga consultant berkelas international. Dia mengatakan kepada saya bahwa saat sekarang diperkirakan jumlah dana  asal Indonesia yang ditempatkan di OFC (offshore financial center ) regions  seperti Swiss, Bahama, BVI, Caymand Island dll, mencapai USD 200 billion lebih. Jumlah ini jauh lebih besar dari cadangan devisa negara kita. Yang jelas data yang dipublikasikan oleh Ford Foundation melalui laporan Global Financial Integrity dari tahun 2002 sampai dengan 2010 jumlah dana asal Indonesia yang parkir diwilayah offshore mencapai USD 108,89 billion. Ini harta dalam bentuk uang tunai.Tidak termasuk dalam bentuk property, Stock, Bond dll yang dokumen kepemilikannya ditempatkan di lembaga custodian yang juga berada di OFC negara tax haven. Walau penempatan dana pada OFC adalah bebas pajak namun hampir semua negara restriction dengan lalulintas dana offshore. Disamping itu ongkos penempatan dana dan mobilisasi dana offshore juga tergolong mahal. Jadi hanya satu alasan orang menempatkan dananya pada rekening offshore yaitu untuk menyembunyikan kepemilikan dana tanpa kehilangan hak mengendalikan dana. Simpulkanlah sendiri siapakah mereka itu? Kata teman saya. 

Saya teringat dengan materi presentasi Prabowo Subianto sebagai capres Partai Garindra yang mengatakan bahwa "Setiap tahun kita kehilangan Rp 1.000 triliun uang rakyat yang dirampok para koruptor,"Jadi benarlah bahwa telah terjadi perampokan sistematis melalui cara cara yang canggih dan dilakukan oleh orang orang yang punya niat merampok. Tapi orang orang ini tidak pernah tersentuh hukum. Mereka kelas VVEP ( Very Very Exclusive Person) yang untouchable bagi KPK dan terlarang untuk di access oleh PPATK.Yang ditangkap hanya koruptor kelas kambing. Lantas dari mana saja dana sebanyak itu terkumpul? Menurutnya yang paling banyak berasal dari transfer pricing dan komisi haram. Transfer pricing pada dasarnya merupakan transaksi atas barang dan jasa atau aset tertentu -biasanya dilakukan- dalam satu kelompok usaha  yang dilakukan pada harga yang tidak wajar melalui proses menaikkan harga (mark up) maupun menurunkan harga (mark down). Tujuan transfer pricing ini umumnya bersifat negatif karena berkaitan dengan false treatment pada perpajakan dan bisa juga digunakan untuk merugikan pemegang saham publik bila perusahaan sudah listed dibursa. Hal ini banyak terjadi di perusahaan yang mengolah Sumber Daya Alam seperti Migas dengan mengelabui cost recovery agar mengecilkan bagian pemerintah , Tembaga, Emas , batubara , CPO, termasuk Industry dan manufaktur berkelas MNC. Proses ini tidak akan terjadi begitu saja tanpa keterlibatan penguasa. Disamping itu dengan berbagai skema terjadilan proses yang melahirkan komisi haram secara canggih untuk kegiatan project APBN, monopoli import, illegal logging, illegal mining, peredaran narkoba, prostitusi. Dari level terendah seperti Gayus Tambunan sampai kepada level tertinggi dan menyebar kekiri dan kekanan lini kekuasaan. Semua menikmati  mata rantai dana haram ini. Mereka memang penjahat yang tahu bagaimana menyembunyikan dana haram tersebut. Para Fund Manager dan Consultant ahli dan settlor terlibat membantu mereka untuk melakukan placement,layering, integration.

Apakah PPATK tahu dan punya infrastruktur untuk melacak dana haram dari hasik transfer pricing dan komisi haram itu? Tanya saya. Tentu PPATK punya kemampuan untuk itu. Ingat bahwa PPATK itu berdasarkan UU berhak mendapatkan access lalu lintas uang melalui BI dan secara international PPATK adalah member dari Egmont Group, Financial intelligent Unit yang punya access sampai kepusat clearing US Dolar ( Nostro ) dan Euro ( Bassel ). Jadi tidak sulit bagi PPATK untuk melacak lalulintas uang haram yang ada dibank dalam negeri maupun yang ada diluar negeri ( offshore). Yang jadi masalah adalah mengapa  kehebatan PPATK itu hanya digunakan oleh KPK untuk melacak aliran dana yang semuanya adalah habis dikosumsi atas barang yang tidak punya value added bila dijual lagi alias nilai recehan bila dibanadingkan nilai hasil korup yang terbang ke luar negeri ? Mengapa bukan digunakan untuk melacak aliran dana hasil kejahatan transfer pricing dan komisi haram itu? Teman saya tersenyum,dan berkata dengan suara  lirih” The worst thing about corruption as a system of governance is that it works so well.”...System harus dirubah kalau ingin memberantas korupsi. Selagi system yang ada sekarang dipakai maka selama itu juga pemberantasan korupsi hanyalah dagelan politik yang engga lucu. KPK hanyalah mastur keadilan, ilusi tentang kebenaran dan kebaikan.

Saturday, February 8, 2014

Koalisi dan demokrasi?

Amandemen UUD 45 telah merombak structure constitutional dan bersifat controversial, membuka peluang kepada parpol untuk memberi interpretation subjective mengenai posisi parpol didalam lembaga legislative. Bahkan ada yang menganggap bahwa amendment ini telah merubah system pemerintahan dari presidential menjadi semi parlementer, dan karena itu merasa tidak mempunyai pegangan untuk bisa menyatakan posisi dirinya dan fungsinya di DPR. Makanya ada istilah kubu Oposisi dan kubu pemerintah. Pada sejatinya, dalam UUD 45, fungsi DPR adalah bertugas secara fungsional tanpa kecuali untuk mengawasi tugas eksekutive, membuat UUD, menetapkan APBN. Jadi tidak ada istilah kubu pemerintah ataupun oposisi. Makanya , dengan amendment ini terjadi perpecahan kelompok pemikiran di DPR sesuai kepentingannya terhadap kebijakan pemerintah. Akibatnya menciptakan ketidak pastian yang tak berujung, sehingga melahirkan politik dagang sapi. Pasal UU diperdagangkan atau dibarter dalam sharing kekuasaan di parlemen. Makanya, jangan aneh bila UU dicreate bukan untuk kepentingan rakyat tapi kepentingan partai /kekuasaan/modal. Jangan aneh  walau anggota DPR dipilih langsung oleh Rakyat namun kapan saja bila dia berseberangan dengan kebijakan partai,dia bisa disingkirkan oleh partainya lewat aturan mengenai PAW ( pergantian antar waktu). Makanya anggota DPR setelah terpilih tidak lagi loyal kepada rakyat tapi loyal kepada Partai. Dia harus menghamba kepada partainya agar korsinya aman, walau dia tahu kebijakan partainya tidak sesuai dengan kehendak pemilihnya.
Kini menjelang pemilu partai sibuk loby sana loby sini. Tujuannya adalah menggalang kekuatan dalam bentuk koalisi. PDIP adalah partai yang diibaratkan wanita cantik yang diincar oleh banyak partai genit seperti Golkar,  Partai Demokrat. Maklum PDIP mempunya elektabilitas yang tinggi dan organisasi partai yang paling solid. Dari kader akar rumput samai dengan jajaran elite politiknya tunduk dengan single commander. Dua periode kekalahan PDIP dalam pemilu telah mengajarkan banyak kepada kader PDIP untuk kembali kepada jati diri perjuangan mereka untuk wong cilik. Kini PDIP telah menjelma menjadi partai modern yang bekerja berdasarkan idiology tanpa terjebak dengan pragmatisme. Namun sampai kini PDIP belum bersikap untuk menentukan koalisi walau elite PDIP sadar mereka harus menjalin koalisi. Karena dengan ambang batas Presidential Threshold, tidak ada satupun partai yang bisa berjalan sendiri kecuali ada miracle. Idealnya bila koalisasi terbentuk karena kesamaan idiologi namun pada prakteknya adalah bagi bagi kekuasaan dengan mengedepankan politik pragmatis. Sehingga tujuan koalisi menjadi tidak efektif. Pemerintah menjadi lemah dan sulit mengambil keputusan penting yang strategis. Didunia ini hanya empat negara penganut sistem presidensialisme yang berhasil dalam menciptakan pemerintah yang efektif dan stabil. Keempat negara tersebut adalah Amerika Serikat, Costa Rica, Columbia, dan Venezuela.Itupun karena partainya tidak banyak, yaitu paling banyak 3 dengan idiologi yang jelas sehingga jelas pula chemistry nya dalam berkoalisi.

Dalam tesisnya , tentang, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination”, Comparative Political Studies, Scott Mainwaring telah memperingatkan bahwa sistem presidensial yang diterapkan dalam kontrsuksi multi partai, akan melahirkan ketidakstabilan pemerintahan dan menghasilkan presiden minoritas dan pemerintah yang terbelah. Hal ini terbukti sudah dalam system politik kita. Tapi para elite sibuk mencoba mengatisipasi kelemahan dari multipartai itu. Caranya dikeluarkan aturan tentang ambang perolehan suara di pemilu (electoral threshold) dan penerapan ambang batas perolehan kursi di parlemen (parliamentary threshold) melalui pembagian daerah pemilihan (Dapil). Ini akan mendorong terciptanya secara alamiah system multipartai yang sederhana. Hanya masalahnya proses menuju multipartai yang sederhana itu memakan waktu lama dan biaya yang mahal. Padahal ujungnya sudah diketahui akan menimbulkan masalah bagi kekuatan politik nasional. Lantas mengapa tetap juga dijalankan?. Yang pasti, Pemilu yang akan datang tetap akan menhasilkan dua kamar kekuasaan yang saling berseteru. Walau koalisi terbentuk di parlemen untuk mendukung president maka mindset politik yang berkata “ tidak ada teman sejati, yang ada hanyalah kepentingan “maka sehebat apapun koalisi dibangun, satu saat dia akan rontok dimakan politik kepentingan. Inilah yang membuat kekuatan unity bangsa ini sangat renta dipecah belah dan akibatnya lemah sebagai bangsa yang besar untuk menjawab masalah besar yang terus berkembang dari tahun ketahun.

Kita tidak mengatakan system demokrasi ala Orde Baru lebih baik untuk menopang persatuan atau lebih buruk karena terkesan dictator atau centralist. Juga kita tidak bisa mengatakan system politik ala barat dan AS lebih baik. Dan system kita sekarang sudah final. Tidak.! Apapun system yang dibangun selagi hak politik rakyat tidak menyatu dalam nafas kekuatan politik formal di parlement atau dipemerintahan maka jangan berharap potensi 200 juta lebih rakyat akan menjadi symbol kebesaran bangsa kita. Selama aspirasi kolektive rakyat tidak terbangun maka konspirasi kepentingan golongan akan terus terjadi, dalam system apapun. Demokrasi hanya akan melahirkan gerombolang politisi culas. Terbangunnya aspirasi kolective hanya mungkin bila dilakukan melalui pendekatan budaya local dengan menempatkan agama sebagai tulang punggung untuk mencerahkan rakyat tentang hak haknya dibidang politik, budaya, ekonomi maupun social. Dari sinilah akan lahir kepemimpinan yang berakar dengan komunitasnya. Apapun system politik yang diterapkan , dia akan hidup dan terlindungi karena dia dalam rahmat Allah, yang pantas melegitimasi dirinya sebagai “suara rakyat adalah suara tuhan.”

Tuesday, February 4, 2014

Gita Wiryawan?

Menguasai  tidak harus memiliki tapi bisa juga mengendalikan. Mengapa negara harus memiliki segala hal yang berhubungan dengan sumber daya alam dan sarana umum? Kalau swasta bisa melakukannya, sebaiknya negara berfokus saja kepada pengendalian melalui UU dan peraturan. Negara tidak perlu ambil resiko mengeluarkan dana investasi untuk mengelola SDA dan pelayanan publik itu. Negara tidak perlu keluar dana besar untuk riset penguasaan tekhnologi. Negara cukup membuat aturan agar swasta nasional maupun  asing mau bergairah melakukan kegiataan usaha dari hulu sampai kehilir, dan untuk itu negara mendulang pajak untuk memastikan APBN dapat berfungsi untuk kesejahteraan rakyat. Artinya kalau negara membangun kemandirian dengan riset dan tekhnologi, penguasaan sumberdaya alam , pengendalian distribusi produksi dari hulu ke hilir maka itu jauh lebih mahal dan beresiko bila dibandingkan dengan memberikan bantuan langsung kepada rakyat melalui APBN untuk sejahtera. Mengapa? Karena  penguasaan negara yang begitu besar dalam bentuk kepemilikan dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan celah korupsi. Demikianlah dasar berpikir neoliberal. Bahwa peran negara harus sekecil mungkin dan menyerahkan segala hal kepada pasar. Biarkan mekanisme pasar bekerja efektif untuk kegiatan produksi dan perdagangan. Mereka yakin bahwa mekenisme pasar bebas sangat efektif untuk terjadinya efisiensi produksi, kompetisi harga dan pelayanan , yang pada gilirannya yang diuntungkan adalah konsumen.

Pemikiran neoliberal tersebut disampaikan dalam bahasa laba rugi (financial aspek) oleh seorang Gita Wiryawan yang  menulis di Kompas pada 7 Oktober 2010 tentang gugatan Struktur Kepemilikan dalam Ekonomi Politik. Dalam tulisan itu , Gita tidak mempercayai kepemilikan negara untuk mensejahterakan rakyat. Gita lebih percaya biarkan swasta bekerja dan negara ambil pajak untuk kebutuhan APBN bagi kesejahteraan rakyat. Teori ini tidak salah karena begitulah yang dipelajari oleh Gita yang  alumni Harvard University jurusan administrasi publik. Harvard dikenal sebagai kampus penyokong berkembangnya creativitas free market ala Milton Friedman. Setamat kuliah dia berkarir di lembaga keuangan kapitalis Goldman Sachs di Singapura. Kemudian pindah ke JP Morgan cabang Indonesia. Di JP Morgan inilah ia pegang banyak jaringan dana asing yang bisa berinvestasi di Indonesia. Dia dikenal sebagai analis bursa yang handal dan menjadi referensi oleh banyak media rating. Dan karena itu Gita dikenal luas oleh publik pasar modal dan uang. Itu sebabnya tidak sulit bagi dia untuk punya akses ke top kekuasaan di Indonesia.  Sebelum usianya mencapai 50 tahun, ia sudah pernah menduduki posisi Komisaris Pertamina, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal pada 2009, dan  Menteri Perdagangan, kini ia siap bertarung untuk calon Presiden RI. Gita is acceptable by market. Dia akan mengembangkan ekonomi Indonesia yang sudah liberal menjadi lebih liberal. Andaikan kelak dia terplih sebagai Presiden maka negara akan berfungsi hanya sebagai service provider dan mendapatkan service fee ( pajak, royalty, bagi hasil, dll) dari Swasta nasional maupun asing. Artinya biarkan modal bekerja untuk mendatangkan modal bagi kesejahteraan rakyat. Apakah itu baik ? 

Ketika awal negeri ini membuat dasar negara,sebetulnya para pendiri negara bukanlah orang tolol. Mereka terdidik baik dan  sebagian besar dididik di luar negeri oleh paham sekular yang kapitalisme dan sosialisme sebagai turunannya. Mereka paham sekali apa itu kapitalisme, sosialisme. Paham sekali soal pasar bebas. Namun dengan niat baik mereka berprinsip bahwa apapun konsep ekonomi itu harus berbasis kepada kekuatan kolektif bangsa untuk melahirkan keadilan dbidang ekonomi agar tercapai masyarakat sejahtera. Karena nya dibentuklah tiga pilar kekuatan ekonomi yaitu Koperasi, PT (Perseroan Terbatas) dan BUMN. Ketiga pelaku ekonomi ini harus menjadi kekuatan kaki segitiga untuk menopang bangun ekonomi bangsa melawan segala bentuk kekuatan asing yang ingin menguasai Indonesia melalui neocolonialism. Rakyat yang lemah akan ilmu, modal serta pasar harus diperkuat keberadaannya. Caranya adalah menggunakan kekuatan budaya dan agama. Maka koperasi dinilai tepat untuk basis ekonomi rakyat. Ini adalah kekuatan kolektif rakyat untuk mengurus dirinya sendiri dalam memenuhi permintaan dan penawaran dbidang barang, jasa maupun modal. Negara harus memastikan melalui UU dan Peraturan bahwa keberadaan PT dan BUMN memberikan peluang tumbuh berkembangnya Koperasi dari tingkat desa sampai ke pusat. Itu sebabnya Koperasi dijadikan soko guru perekenomian Nasional, dan mendapat tempat terhormat dalam UUD 45. Bukankah tugas negara melindungi komunitas mayoritas, apalagi mereka tergolong lemah.  

Nah bagaimana dengan kapitalisme? Negara memberi ruang untuk itu melalui UU. Bagi yang mempunyai kemampuan ilmu , modal serta tekhnologi yang besar, diberi kesempatan untuk tampil menciptakan laba secara sendiri sendiri ( CV) atau kelompok ( Firma atau PT). Negara bahkan menyediakan wahana dan kesempatan luas kepada dunia usaha ( swasta asing maupun swasta nasional) untuk kegiatan produksi. Wilayah ini dimungkinkan terjadinya akumulasi modal melalui sistem perbankan (tabungan)  dan pasar modal , pasar uang. Negara butuh kekuatan kapitalis murni dengan tujuan agar dapat dilahirkan distribusi ( barang, modal ) dan tekhnologi yang efisen. Kebebasan adalah trigger bagi kekuatan modal untuk masuk dalam kegiatan investasi real. Negara sadar akan kebebasan itu namun tidak ingin kebebasan itu mematikan yang lain. Kebebasan harus dikendalikan. Karenanya negara menjaga wilayah ini agar terjadi persaingan yang sehat tanpa ada monopoli , oligopoly dan lain sebagainya yang dapat mengganggu kekuatan sektor riel. Artinya para pendiri negara kita tidak melarang modal bermain dan bertarung untuk menjadi pemenang,asalkan rakyat lemah yang miskin modal tidak dilibatkan sehingga tidak terkena dampak dari permainan itu. Kebebasan pasar dan modal tetap dibawah kendali negara demi kesejahteraan rakyat dan rasa keadilan dibidang ekonomi.  

Sementara sarana dan prasarana ekonomi meliputi jalan, jembatan, kerata api, pelabuhan Listrik, Air Bersih, Pendidikan, Kesehatan ( rumah sakit ), Telekomunikasi, industri strategis yang berhubungan dengan Industri hulu  (padat modal dan tekhnologi ) harus dikuasai oleh negara melalui BUMN. Karena wilayah ini menuntut resiko management yang tinggi untuk tercapainya peran sebagai penyangga ekonomi nasional. Peran sosialnya sangat tinggi untuk mendukung kekuatan ekonomi rakyat ( koperasi ) dan Swasta (PT, CV, Firma ) makanya negarapun ( BUMN) diberi hak untuk menguasai seluruh sumber daya alam seperti MIGAS, Sumber daya Mineral dan lain sebagainya. Jadi by design tiga pilar itu sebagai tulang punggung negara untuk menciptakan kesejahteraan tanpa menjadikan rakyat sebagai beban yang harus dibantu melalui APBN. By design negara menciptakan system dimana rakyat mampu mandiri untuk menghidupi dirinya sendiri tanpa harus ada charity.  Negara modern dan beradab adalah negara yang mampu menciptakan keadilan ekonomi by system dan negara berada digaris depan untuk keadilan produksi, distribusi dan modal. Sejak diamandemen nya UUD 45, keberadaan BUMN , PT dan Koperasi bukan lagi sebagai segitiga penyangga ekonomi nasional atas dasar gotong royong tapi telah berubah menjadi hal yang berdiri sendiri sendiri. Dihadapan UU semua pelaku ekonomi ( Asing maupun swasta/BUMN) adalah sama dan berhak atas segala resouce yang ada untuk mendatangkan laba, untuk saling bersaing menguasai, membunuh untuk menjadi pemenang. Dan selalu modal yang menang. Dibalik modal , ada asing! Demikian tentang Gita...


Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...