Friday, June 21, 2013

Indonesia, setelah pengumuman the FED.

MInggu lalu Zhiwei Zhang Kepala Ekonom Nomura  mengatakan bahwa Negara berkembang menghadapi risiko lebih besar jika the Fed akhirnya menghentikan stimulus moneter. Hal itu akan membuat arus modal keluar dari wilayah daratan China. China sudah sejak dua tahun lalu bersikap menjaga kemungkinan itu datang. Pembicaraan dikalangan trader didominasi masalah rencana the FED mengurangai stimulus ekonomi. Sinyal akan ada sikap resmi the FED sudah nampak ketika pertemuan rutin dewa Gubernur the FED pada Rabu minggu lalu. Teman di Hong Kong mengatakan kepada saya bahwa ini week end terberat bagi semua trader. Benarlah, kemarin the FED sudah mengumunkan bahwa AS akan mengurangi stimulus ekonomi  secara bertahap dan berakhir tahun 2014. Setelah itu diharapkan ekonomi AS sudah mengarah kepada jalur menuju positif. Ini news berkaitan dengan data fundamental. Pasar langsung bereaksi cepat karena data fundamental ikut mempengaruhi kebijakan arah investasi bagi trader. Mereka harus memberikan advice kepada clientsnya  agar bertindak cepat untuk mengamankan portfollionya. Benarlah, Index Dow Jones dan bursa regional jatuh dan yang terburuk adalah IHSG Jakarta. Hari sebelumnya Candlestick IHSG membentuk dark cloud cover setelah mengalami teknikal rebound diikuti naiknya aksi jual asing. Kedepan adalah bayangan sulit.

Stimulus ekonomi AS bukan berasal dana tabungan AS tapi melalui program QE atau cetak uang. Sebetulnya by design tidak ada rencana AS untuk membanjiri likuiditas pasar uang atas QE itu kecuali memberikan darah segar kepada perbankan untuk terpacu melakukan ekspansi kredit agar dunia usaha bergerak dan angkatan kerja kembali tertampung setelah sebelumnya terkena PHK akibat global crisis. Namun dampak kebijakan QE itu tidak sepenuhnya sesuai dengan grand strategy AS dalam upaya recovery ekonomi. QE justru berakibat banjirnya likuiditas dipasar uang dan modal , dan pada waktu bersamaan pertumbuhan kredit bagi dunia usaha tetap rendah. Mengapa ? QE memang cara smart yang beresiko untuk mencetak uang dan mensuplay nya kepasar lewat pembelian obligasi. Pemerintah AS menerbitkan obligasi dan the FED menjadikan itu sebagai underlying untuk mencetak uang memenuhi kebutuhan APBN Amerika untuk belanja expansi fiscal. Perbankan atau lembaga Keuangan menerbitkan Obligasi lewat sekuritisasi asset atas pinjaman yang diberikannya kepada dunia usaha dan the FED menjadikan itu sebagai underlying untuk membelinya melalui pencetakan uang. Yang jadi masalah adalah ketika uang diterima oleh Lembaga Keuangan, uang itu tidak digunakan untuk ekspansi credit sector riel tapi digunakan untuk  ekspasi kredit derivative.

Hal tersebut terjadi karena  dua hal , pertama, sektor riil masih beresiko besar untuk diberikan pinjaman. Karena over supply dan melemahnya permintaanm pasar serta tingginya ongkos produksi akibat naiknya upah buruh. Hal ini terindikasi jatuhnya index manufacture AS dan China.  Kedua, Dana yang diterima oleh lembaga keuangan dari QE itu bukanlah dana gratis. Ini bukan dana bail out atas NPL perbankan tapi sebetulnya adalah skema pinjaman yang harus ditanggung oleh pasar. Karena dua hal itulah yang akhirnya memaksa perbankan AS untuk mencari saluran investasi yang aman dan menguntungkan. Hukum uang berlaku dimana selalu mencari tingkat  yield ( imbal hasil ) yang tinggi. Targetnya adalah Negara emerging market yang dinilai paling tinggi Yield investasi dipasar obligasi maupun pasar modal, dan Indonesia adalah salah satu Negara emerging market itu. Sejak diluncurkan program stimulus ekonomi AS , uang mengalir deras ke Negara Negara emerging market dan berperan besar meningkatnya index. Para pemimpin Indonesia meng claim bahwa index menguat akibat mekanisme pasar. Rupiah menguat akibat mekanisme pasar. Semua karena kepercayaan pasar akan fundamental ekonomi Indonesia. Ini bohong belaka. ini ketololan Indonesia dijadikan saluran onani perbankan AS terhadap program perbaikan ekonomi yang ilusi itu.

Terbuktilah kini bahwa fundamental ekonomi Indonesia tidak sehebat apa yang dikatakan oleh Statistic. Sejak tahun lalu ,seorang teman yang memegang posisi Dirut Aset manajemen salah satu BUMN mengatakan bahwa pihak otoritas menoter sudah nampak kawatir akan situasi ekonomi Indonesia. Tahun 2012 bulan september , World bank telah merealese laporan jatuhnya index kompetitif Indonesia atau jatuh lima tingkat ratingnyal. Parameter index ini ada beberapa diantaranya system birokrasi, ketersediaan infrastruktur dll. Namun yang paling utama adalah tingkat produktifitas. Dalam laporan ini index produksi jatuh. Apa penyebabnya ? jatuhnya harga komoditas utama yang berbasis SDA, seperti Batu bara, Kopi, Coklat, Karet, CPO. Memang terbukti sepanjang tahun 2012 Rupiah tertekan karena pasar sudah membaca fundamental ekonomi ikut terimbas akibat melemahnya index manufacture AS dan China yang merupakan konsumen utama komoditas Indonesia. Tahun 2013 kwartal pertama , penerimaan pajak meleset dari rencana APBN dan inflasi mulai bergerak seiring semakin tertekannya rupiah dipasar uang. Disamping itu gaung akan ada kebijakan the FED mengurangi dan akhirnya menghentikan stimulus ekonomi semakin membuat ekonomi Indonesia terancam karena akan terjadi capital outflow. Apa solusinya?Tidak ada.! Kecuali patuh akan nasehat  Fund Provider bahwa pemerintah harus focus terhadap komitmen hutang pada APBN dengan cara mengurangi pos subsidi secara significant.

Apakah dengan pengurangan subsidi lantas ekonomi Indonesia akan selamat?  Hari hari kedepan bagi Indonesia tidak akan seindah dulu ketika likuiditas banjir dan daya beli komoditas tinggi. Mekanisme pasar akan menghukum Indonesia dalam jeratan masalah yang menyakitkan, seperti Eropa dan AS. Akibatnya Indonesia dalam kondisi No Alternative To Objection untuk mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh kapitalisme. Segala beban sosial dalam APBN harus dikurangi termasuk subsidi dan dialihkan kepada pembangunan insfrastruktur ekonomi agar modal dapat optimal menghasilkan laba. Jangan lagi bicara negara pengurus. Itu sudah lewat. Itu hanya mimpi kemerdekaan. Kenyataan kini negara harus memastikan rakyat mampu membayar hutang lewat harga yang melambung, SDA yang semakin bebas dikuasai asing, upah yang murah. Inilah era neoliberal untuk melegitimasi neocolonialism bahwa modal yang berkuasa dan pasar mendikte harga agar laba tercipta. Soal rakyat tak mampu membeli, itu bukan urusan Negara. Free entry free fall. Pasar punya cara tersendiri menempatkan rakyat yang gagal bersaing. Mereka tidak tersingkir namun juga tidak sejahtera. Mereka sama seperti hewan, Pagi bangun, bekerja dan mati tanpa makna.

No comments:

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

  Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. ...