MInggu lalu Zhiwei Zhang Kepala
Ekonom Nomura mengatakan bahwa Negara
berkembang menghadapi risiko lebih besar jika the Fed akhirnya menghentikan
stimulus moneter. Hal itu akan membuat arus modal keluar dari wilayah daratan
China. China sudah sejak dua tahun lalu bersikap menjaga kemungkinan itu datang. Pembicaraan dikalangan trader didominasi masalah rencana the FED mengurangai
stimulus ekonomi. Sinyal akan ada sikap resmi the FED sudah nampak ketika
pertemuan rutin dewa Gubernur the FED pada Rabu minggu lalu. Teman di Hong Kong
mengatakan kepada saya bahwa ini week end terberat bagi semua trader. Benarlah,
kemarin the FED sudah mengumunkan bahwa AS akan mengurangi stimulus ekonomi secara bertahap dan berakhir tahun 2014.
Setelah itu diharapkan ekonomi AS sudah mengarah kepada jalur menuju positif. Ini
news berkaitan dengan data fundamental. Pasar langsung bereaksi cepat karena
data fundamental ikut mempengaruhi kebijakan arah investasi bagi trader. Mereka
harus memberikan advice kepada clientsnya agar bertindak cepat untuk mengamankan
portfollionya. Benarlah, Index Dow Jones dan bursa regional jatuh dan yang terburuk
adalah IHSG Jakarta. Hari sebelumnya Candlestick IHSG membentuk dark
cloud cover setelah mengalami teknikal rebound diikuti naiknya aksi jual asing.
Kedepan adalah bayangan sulit.
Stimulus ekonomi AS bukan berasal dana tabungan AS tapi melalui program QE atau cetak uang. Sebetulnya by design tidak ada
rencana AS untuk membanjiri likuiditas pasar uang atas QE itu kecuali memberikan
darah segar kepada perbankan untuk terpacu melakukan ekspansi kredit agar dunia
usaha bergerak dan angkatan kerja kembali tertampung setelah sebelumnya terkena
PHK akibat global crisis. Namun dampak kebijakan QE itu tidak sepenuhnya sesuai
dengan grand strategy AS dalam upaya recovery ekonomi. QE justru berakibat
banjirnya likuiditas dipasar uang dan modal , dan pada waktu bersamaan
pertumbuhan kredit bagi dunia usaha tetap rendah. Mengapa ? QE memang cara
smart yang beresiko untuk mencetak uang dan mensuplay nya kepasar lewat
pembelian obligasi. Pemerintah AS menerbitkan obligasi dan the FED menjadikan
itu sebagai underlying untuk mencetak uang memenuhi kebutuhan APBN Amerika
untuk belanja expansi fiscal. Perbankan atau lembaga Keuangan menerbitkan
Obligasi lewat sekuritisasi asset atas pinjaman yang diberikannya kepada dunia
usaha dan the FED menjadikan itu sebagai underlying untuk membelinya melalui
pencetakan uang. Yang jadi masalah adalah ketika uang diterima oleh Lembaga
Keuangan, uang itu tidak digunakan untuk ekspansi credit sector riel tapi
digunakan untuk ekspasi kredit derivative.
Hal tersebut terjadi karena dua hal , pertama, sektor riil masih beresiko
besar untuk diberikan pinjaman. Karena over supply dan melemahnya permintaanm
pasar serta tingginya ongkos produksi akibat naiknya upah buruh. Hal ini
terindikasi jatuhnya index manufacture AS dan China. Kedua, Dana yang diterima oleh lembaga
keuangan dari QE itu bukanlah dana gratis. Ini bukan dana bail out atas NPL
perbankan tapi sebetulnya adalah skema pinjaman yang harus ditanggung oleh
pasar. Karena dua hal itulah yang akhirnya memaksa perbankan AS untuk mencari
saluran investasi yang aman dan menguntungkan. Hukum uang berlaku dimana selalu
mencari tingkat yield ( imbal hasil )
yang tinggi. Targetnya adalah Negara emerging market yang dinilai paling tinggi
Yield investasi dipasar obligasi maupun pasar modal, dan Indonesia adalah salah
satu Negara emerging market itu. Sejak diluncurkan program stimulus ekonomi AS
, uang mengalir deras ke Negara Negara emerging market dan berperan besar
meningkatnya index. Para pemimpin Indonesia meng claim bahwa index menguat
akibat mekanisme pasar. Rupiah menguat akibat mekanisme pasar. Semua karena
kepercayaan pasar akan fundamental ekonomi Indonesia. Ini bohong belaka. ini ketololan Indonesia dijadikan saluran onani perbankan AS terhadap program perbaikan ekonomi yang ilusi itu.
Terbuktilah kini bahwa
fundamental ekonomi Indonesia tidak sehebat apa yang dikatakan oleh Statistic. Sejak tahun lalu ,seorang teman yang memegang posisi Dirut Aset manajemen salah satu BUMN mengatakan bahwa pihak otoritas menoter sudah nampak kawatir akan situasi ekonomi Indonesia. Tahun 2012 bulan september , World bank telah merealese laporan jatuhnya index
kompetitif Indonesia atau jatuh lima tingkat ratingnyal. Parameter index ini ada beberapa
diantaranya system birokrasi, ketersediaan infrastruktur dll. Namun yang paling
utama adalah tingkat produktifitas. Dalam laporan ini index produksi jatuh. Apa
penyebabnya ? jatuhnya harga komoditas utama yang berbasis SDA, seperti Batu
bara, Kopi, Coklat, Karet, CPO. Memang terbukti sepanjang tahun 2012 Rupiah
tertekan karena pasar sudah membaca fundamental ekonomi ikut terimbas akibat
melemahnya index manufacture AS dan China yang merupakan konsumen utama
komoditas Indonesia. Tahun 2013 kwartal pertama , penerimaan pajak meleset dari
rencana APBN dan inflasi mulai bergerak seiring semakin tertekannya rupiah
dipasar uang. Disamping itu gaung akan ada kebijakan the FED mengurangi dan akhirnya menghentikan
stimulus ekonomi semakin membuat ekonomi Indonesia terancam karena akan terjadi capital outflow. Apa solusinya?Tidak ada.! Kecuali patuh akan nasehat Fund Provider bahwa pemerintah harus focus
terhadap komitmen hutang pada APBN dengan cara mengurangi pos subsidi secara significant.
Apakah dengan pengurangan subsidi
lantas ekonomi Indonesia akan selamat? Hari hari kedepan bagi Indonesia tidak akan seindah dulu ketika likuiditas banjir dan daya beli komoditas tinggi. Mekanisme pasar akan menghukum Indonesia dalam jeratan masalah yang menyakitkan, seperti Eropa dan AS. Akibatnya Indonesia dalam kondisi No Alternative To Objection untuk mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh kapitalisme. Segala beban sosial dalam APBN harus dikurangi termasuk subsidi dan dialihkan kepada pembangunan insfrastruktur ekonomi agar modal dapat optimal menghasilkan laba. Jangan lagi bicara negara pengurus. Itu sudah lewat. Itu hanya mimpi kemerdekaan. Kenyataan kini negara harus memastikan rakyat mampu membayar hutang lewat harga yang melambung, SDA yang semakin bebas dikuasai asing, upah yang murah. Inilah era neoliberal untuk melegitimasi neocolonialism bahwa
modal yang berkuasa dan pasar mendikte harga agar laba tercipta. Soal rakyat
tak mampu membeli, itu bukan urusan Negara. Free entry free fall. Pasar punya
cara tersendiri menempatkan rakyat yang gagal bersaing. Mereka tidak tersingkir
namun juga tidak sejahtera. Mereka sama seperti hewan, Pagi bangun, bekerja
dan mati tanpa makna.
No comments:
Post a Comment