Dalam satu pertemuan dengan
teman seorang analis invetasi global, dia sempat berkata yang sesuatu membuat
saya termenung. Dia mengatakan bahwa jangan pernah menyalahkan factor international
bila terjadi krisis didalam negeri. Karena itu hanyalah excuse dari pejabat Negara
yang asal bunyi. Penyebab yang sebenarnya adalah kesalahan dalam mengambil
kebijakan nasional khususnya dibidang ekonomi. Dia mengatakan hal ini karena
melemahnya permintaan komoditi andalan eksport Indonesia akibat melemahnya
permintaan dari China, Eropa dan AS. Disisi lain sejak beberapa tahun
belakangan ini arus import masuk ke Indonesia terus meningkat. Bahkan produk
pangan sempat membuat petani kehilangan daya bersaing dengan produk import.
Sangat ironi bila mengingat negeri ini adalah negeri agraris. Karena menurut
dia, konsumsi yang tinggi dari rakyat akibat pertumbuhan ekonomi tidak diikuti
oleh kebijakan mendasar untuk lahirnya produktifitas disemua lini. Akibatnya Indonesia tak lebih hanya pemakaian dari
kemelimpahan produksi Negara lain, pada waktu bersamaan SDA kita dijual untuk
mendapatkan devisa belanja, yang konyolnya dari tahun ketahun deficit perdagangan
terus meningkat. Hal ini sangat mengkawatirkan.
Lantas kebijakan apa yang
seharusnya pemerintah lakukan agar bisa memicu produksi seperti China.? Tanya saya.
Menurutnya, kehebatan china bukanlah melulu karena etos kerja yang tinggi tapi
lebih dari kehebatan membuat kebijakan monter yang sehingga mata uang China
sangat murah dan pada waktu bersamaan produk import menjadi sangat mahal dan
produk eksport menjadi sangat murah. Inilah trigger yang memicu pertumbuhan dua
digit selama 20 tahun lebih. Dan buktinya ketika mata uang china menguat akibat
melemahnya mata uang utama dunia, negeri itu tak nampak hebat menggenjot
pertumbuhan ekonominya. Banyak pabrik yang tutup. China akan melambat namun
kesempatan pertumbuhan ekonomi selama dua puluh tahun bekalangan ini sudah
berhasil membangun banyak infrastruktur ekonomi untuk bertahan ditengah badai
krisis dunia saat ini. Saya mendapatkan
pencerahan akan ulasan teman ini. Namun bagaimana china bisa menekan inflasi? Karena
terbukti selama dua dasawarsa di china , inflasi dikelola dengan baik. Inflasi
itu akan naik bila produksi turun dan konsumsi meningkat. China mampu
menggenjot produksi dengan significant dan menekan import.
Jadi ada hubungan antara peningkatan
produksi dengan melemahnya mata uang? Tanya saya. Contoh Indonesia, ketika mata
uang terjun bebas akibat krismon tahun 1998, yang paling dintungkan adalah
produksi yang nol import. Mereka adalah para petani dan pengusaha perkebunan.
Faktanya yang kini masuk dalam top perusahaan di Indonesia adalah perusahaan
yang bersandarkan kepada produksi hasil pertanian itu. Semakin melemah rupiah,
semakin melimpah pendapatan mereka.Inilah candu yang memaksa orang ketagihan
untuk ber produksi. Pertumbuhan ekonomi yang kini dicapai oleh Indonesia hingga tergabung dalam G20 adalah berkat produktifitas dari hasil SDA dan Perkebunan. Seharusnya pertumbuhan itu digunakan dengan cerdas untuk memperkuat riset dan insentif ,
perluasan infrastruktur ekonomi agar dimasa depan peningkatan
produksi bukan hanya disektor produk andalan seperti Perkebuhan dan Migas tapi industry
dan manufaktur juga. Jadi tidak ada salahnya pemerintah mengakaji ulang strategi moneter khususnya kebijakan soal kurs rupiah agar berdampak pada peningkatan produksi dalam negeri
dan pada waktu bersamaan akan membuat produksi Indonesia berjaya dipasar dalam negeri
maupun international. Saat sekarang momentum itu sangat tepat. Biarkan rupiah melemah. Kata teman itu dengan yakin.
Menurutnya saya, bila rupiah
melemah akan beresiko terhadap laju inflasi. Maklum sebagian besar barang konsumsi
rakyat didapat dari import. Untuk terjadinya kemandirian produksi butuh waktu
tidak cepat. Ya namanya business tentu membutuhkan waktu untuk proses
membangun. Selama proses itu, rakyat akan menjerit karena pendapatan mereka
tergerus oleh inflasi. Teman saya itu tersenyum. Mana ada pembangunan tidak
mendulang korban. Ini soal pilihan. Dan lagi menurut dia, tidak akan berdampak
terlalu luas. Karena sebagian besar yang doyan konsumsi adalah middle class
yang dikenal solid secara financial. Sementara rakyat kebanyakan , mereka tidak
begitu banyak berkosumsi produk import, kalaupun ada, itu bukanlah kebutuhan
primer atas dasar alasan keinginan tak terpuaskan. Jadi daripada pemerintah
mengeluarkan dana resiko untuk mengelola mata uang rupiah dari kejatuhan, lebih
baik dana itu digunakan untuk perluasan infrastruktur dan biarkan saja rupiah
melemah secara alamiah. Mengapa ? ya karena ketika rupiah melemah pada waktu
bersamaan dunia international akan melakukan penyesuaian terhadap Indonesia,
khususnya tidak lagi menjadikan Indonesia sebagai target eksport tapi target
investasi untuk berproduksi. Kelak bila produksi meningkat maka inflasi akan terkoreksi dengan sedirinya dan rupiah akan menguat kembali, lihatlah china kini.
Tapi satu hal yang harus
diketahui, kata saya, bahwa keliatannya sulit bagi pemerintah untuk menerapkan
kebijakan longgar terhadap mata uang, walau mereka tahu itu baik untuk
menggenjot produksi. Masalahnya adalah karena jebakan hutang pada APBN. Inilah
yang membuat pemerintah tidak berdaya. Ketika rupiah melemah maka pos anggaran
untuk membayar hutang akan meningkat. Apalagi saat kini pos pembayaran hutang
dan bunga bermata uang asing sudah diatas 25%. Teman itu menjawab dengan
tangkas. Bahwa masalah itu bukanlah masalah besar asalkan ada kemauan politik
untuk me restruktur APBN dengan dukungan perencanaan yang terinci dan terukur.
Indonesia sangat kaya dan punya segala pontesi untuk melakukan itu. Yang pasti
semakin tergantung Indonesia akan produk import, produksi akan melemah dan
sampai mati , Indonesia tidak akan pernah mandiri. Terjajah secara sistematis
oleh kapitalisme dunia yang dimotori oleh TNC. Do it now…
No comments:
Post a Comment