Wednesday, September 5, 2012

Produksi dan Rupiah


Dalam satu pertemuan dengan teman seorang analis invetasi global, dia sempat berkata yang sesuatu membuat saya termenung. Dia mengatakan bahwa jangan pernah menyalahkan factor international bila terjadi krisis didalam negeri. Karena itu hanyalah excuse dari pejabat Negara yang asal bunyi. Penyebab yang sebenarnya adalah kesalahan dalam mengambil kebijakan nasional khususnya dibidang ekonomi. Dia mengatakan hal ini karena melemahnya permintaan komoditi andalan eksport Indonesia akibat melemahnya permintaan dari China, Eropa dan AS. Disisi lain sejak beberapa tahun belakangan ini arus import masuk ke Indonesia terus meningkat. Bahkan produk pangan sempat membuat petani kehilangan daya bersaing dengan produk import. Sangat ironi bila mengingat negeri ini adalah negeri agraris. Karena menurut dia, konsumsi yang tinggi dari rakyat akibat pertumbuhan ekonomi tidak diikuti oleh kebijakan mendasar untuk lahirnya produktifitas disemua lini. Akibatnya  Indonesia tak lebih hanya pemakaian dari kemelimpahan produksi Negara lain, pada waktu bersamaan SDA kita dijual untuk mendapatkan devisa belanja, yang konyolnya dari tahun ketahun deficit perdagangan terus meningkat. Hal ini sangat mengkawatirkan.

Lantas kebijakan apa yang seharusnya pemerintah lakukan agar bisa memicu produksi seperti China.? Tanya saya. Menurutnya, kehebatan china bukanlah melulu karena etos kerja yang tinggi tapi lebih dari kehebatan membuat kebijakan monter yang sehingga mata uang China sangat murah dan pada waktu bersamaan produk import menjadi sangat mahal dan produk eksport menjadi sangat murah. Inilah trigger yang memicu pertumbuhan dua digit selama 20 tahun lebih. Dan buktinya ketika mata uang china menguat akibat melemahnya mata uang utama dunia, negeri itu tak nampak hebat menggenjot pertumbuhan ekonominya. Banyak pabrik yang tutup. China akan melambat namun kesempatan pertumbuhan ekonomi selama dua puluh tahun bekalangan ini sudah berhasil membangun banyak infrastruktur ekonomi untuk bertahan ditengah badai krisis dunia saat ini.  Saya mendapatkan pencerahan akan ulasan teman ini. Namun bagaimana china bisa menekan inflasi? Karena terbukti selama dua dasawarsa di china , inflasi dikelola dengan baik. Inflasi itu akan naik bila produksi turun dan konsumsi meningkat. China mampu menggenjot produksi dengan significant dan menekan import.

Jadi ada hubungan antara peningkatan produksi dengan melemahnya mata uang? Tanya saya. Contoh Indonesia, ketika mata uang terjun bebas akibat krismon tahun 1998, yang paling dintungkan adalah produksi yang nol import. Mereka adalah para petani dan pengusaha perkebunan. Faktanya yang kini masuk dalam top perusahaan di Indonesia adalah perusahaan yang bersandarkan kepada produksi hasil pertanian itu. Semakin melemah rupiah, semakin melimpah pendapatan mereka.Inilah candu yang memaksa orang ketagihan untuk ber produksi.  Pertumbuhan ekonomi yang kini dicapai oleh Indonesia hingga tergabung dalam G20 adalah berkat produktifitas dari hasil SDA dan Perkebunan. Seharusnya pertumbuhan itu digunakan dengan cerdas untuk  memperkuat riset dan insentif , perluasan infrastruktur  ekonomi agar dimasa depan peningkatan produksi bukan hanya disektor produk andalan seperti Perkebuhan dan Migas tapi industry dan manufaktur juga. Jadi tidak ada salahnya pemerintah mengakaji ulang strategi moneter khususnya kebijakan soal kurs rupiah agar  berdampak pada peningkatan produksi dalam negeri dan pada waktu bersamaan akan membuat produksi Indonesia berjaya dipasar dalam negeri maupun international. Saat sekarang momentum itu sangat tepat. Biarkan rupiah melemah. Kata teman itu dengan yakin.

Menurutnya saya, bila rupiah melemah akan beresiko terhadap laju inflasi. Maklum sebagian besar barang konsumsi rakyat didapat dari import. Untuk terjadinya kemandirian produksi butuh waktu tidak cepat. Ya namanya business tentu membutuhkan waktu untuk proses membangun. Selama proses itu, rakyat akan menjerit karena pendapatan mereka tergerus oleh inflasi. Teman saya itu tersenyum. Mana ada pembangunan tidak mendulang korban. Ini soal pilihan. Dan lagi menurut dia, tidak akan berdampak terlalu luas. Karena sebagian besar yang doyan konsumsi adalah middle class yang dikenal solid secara financial. Sementara rakyat kebanyakan , mereka tidak begitu banyak berkosumsi produk import, kalaupun ada, itu bukanlah kebutuhan primer atas dasar alasan keinginan tak terpuaskan. Jadi daripada pemerintah mengeluarkan dana resiko untuk mengelola mata uang rupiah dari kejatuhan, lebih baik dana itu digunakan untuk perluasan infrastruktur dan biarkan saja rupiah melemah secara alamiah. Mengapa ? ya karena ketika rupiah melemah pada waktu bersamaan dunia international akan melakukan penyesuaian terhadap Indonesia, khususnya tidak lagi menjadikan Indonesia sebagai target eksport tapi target investasi untuk berproduksi. Kelak bila produksi meningkat maka inflasi akan terkoreksi dengan sedirinya dan rupiah akan menguat kembali, lihatlah china kini. 

Tapi satu hal yang harus diketahui, kata saya, bahwa keliatannya sulit bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan longgar terhadap mata uang, walau mereka tahu itu baik untuk menggenjot produksi. Masalahnya adalah karena jebakan hutang pada APBN. Inilah yang membuat pemerintah tidak berdaya. Ketika rupiah melemah maka pos anggaran untuk membayar hutang akan meningkat. Apalagi saat kini pos pembayaran hutang dan bunga bermata uang asing sudah diatas 25%. Teman itu menjawab dengan tangkas. Bahwa masalah itu bukanlah masalah besar asalkan ada kemauan politik untuk me restruktur APBN dengan dukungan perencanaan yang terinci dan terukur. Indonesia sangat kaya dan punya segala pontesi untuk melakukan itu. Yang pasti semakin tergantung Indonesia akan produk import, produksi akan melemah dan sampai mati , Indonesia tidak akan pernah mandiri. Terjajah secara sistematis oleh kapitalisme dunia yang dimotori oleh TNC. Do it now…

No comments:

Masa depan IKN?

  Jokowi mengatakan bahwa IKN itu kehendak rakyat, bukan dirinya saja. Rakyat yang dimaksud adalah DPR sebagai wakil rakyat. Padahal itu ini...