Friday, September 14, 2012

Jokowi-Foke ?


Seorang pejabat yang saya temui di China. Ukuran jabatannya adalah kepala Badan yang otoritasnya sama dengan Gubernur. Dikamar kerjanya tak nampak sama sekali map bertumpuk diatas meja atau kertas bertebaran. Meja kerjanya bersih. Dia membaca keterkejutan dari wajah saya melihat suasana kamar kerjanya. Dia mengatakan bahwa semakin bersih meja kerja kita semakin efektif kita memimpin. Atau semakin jarang staf minta pendapat atau restu kepada kita semakin hebat system yang kita bangun dalam organisasi. Harus dicatat, menurutnya,bahwa Pemimpin itu dituntut pemikirannya untuk melahirkan kebijakan strategis dan implemented. Dalam organisasi memang banyak sekali rencana kerja, banyak sekali beban kerja karena alur yang ditetapkan oleh system namun itu bukan alasan bagi pemimpin untuk larut dalam rutinitas organisasi. Bila pemimpin terseret dalam rutinitas itu maka dapat dipastikan tidak akan ada pembaharuan. Padahal keberadaan seorang pemimpin adalah menjawab setiap fenomena yang berkembang dan melakukan langkah strategis untuk terjadinya terobosan yang bersifat pembaharuan. Dari inilah organisasi semakin tajam mencapai tujuannya ditengah situasi yang berkembang.

Pejabat Negara terdiri dari dua, yaitu jabatan politik seperti President, Mentri, Gubernur, Walikota, Bupati. Dan satu lagi adalah jabatan birokrat seperti Sekjen, Dirjen dan dll. Dua jabatan ini punya karakteristik yang sangat berbeda secara prinsip. Walau keduanya mendapatkan gaji dari uang rakyat. BIla jabatan politik tanggung jawabnya kepada hasil yang langsung dirasakan oleh rakyat. Sementara jabatan birokrasi tanggung jawabnya secara administrative semata. Dia tidak bertanggung jawab kepada rakyat. Yang jadi masalah di Indonesia adalah pejabat politik ketika berkuasa dia akan bergaya seperti birokrat. Semua berdasarkan procedural. Hobinya dibelakang meja adalah memberikan catatan dan nota kepada setiap lembaran kerja bawahannya yang butuh petunjuk dan keputusannya. System ini menjebak pemimpin politik dalam dunia tekhnis birokrasi. Entah bagimana system bisa menjadikan potensi moral dan kualitas kepemimpinan akhirnya tak ubahnya seperti birokat. Padahal bila system di create baik maka banyak hal yang bisa dilakukan oleh pemimpin, khususnya melihat langsung dilapangan apa yang terjadi dan berdialogh dengan rakyat apa yang mereka inginkan.  Dari situlah muncul ide dan kreatifitas untuk membuat recana strategis untuk menjadikan mesin birokrasi bekerja efektif. Andaikan kebijakan pemimpin salahpun, tidak melanggar hukum kecuali kebijakannya itu membuat dia kaya raya.

Dalam debat Cagub DKI antara Jokowi dan Foke, ada pertanyaan yang diajukan kepada kedua pasangan. Pertanyaan itu berkaitan dengan seni memimpin. Jokowi menjawab dengan rilek bahwa pemimpin tidak perlu ada dikantor lebih dari satu jam. Selebihnya dia akan lebih banyak berada diluar untuk mencari tahu permasalahan yang ada dilapangan. Dia tidak ingin mengetahui permasalahan itu dari lingkungan organisasi PEMDA, Karena dia dipilih bukan sebagai administrator/birokrat yang melihat persoalan secara administrasi. Dia adalah pemimpin politik yang bertanggung jawab dengan karya nyata , yang langsung bisa dirasakan oleh rakyat, Ini janjinya yang harus dibayar tunai. Makanya keharusannya ia berada diluar untuk melihat sekian banyak persoalan DKI untuk bisa ditentukan factor strategis yang harus focus dihadapinya. Dengan itu dia akan menggunakan segala resource, kepiawiannya dalan bernegoasiasi untuk meyakin mereka yang ada diatas, dibawah, disamping kiri kanan. Dengan cara itu hampir tidak mungkin dia bisa terjebak dengan rutinitas administrasi belakang meja. Dia harus mobile. Dengan itu dia bisa meng claim, saya bekerja sesuai dengan tugas saya sebagai pemimpin bukan administrator/birokrat.

Apakah mungkin organisasi dijalankan tanpa pemimpin lebih banyak ada dikantor. Satu kesempatan saya bertemu dengan salah satu CEO venture capital. Dia punya banyak cabang diberbagai Negara. Organisasinya punya afiliasi dengan berbagai lembaga keuangan kelas dunia. Karyawan yang terlibat dalam organisasi perusahaannya lebih  6000 orang. Setelah asyik barang sebentar dengan Ipad nya dia tersenyum kearah saya. Menurutnya , dia baru saja mengambil keputusan yang melibatkan resiko dan dana tidak kecil.  Ketika keputusan diambil dia sedang di cafĂ© bersama saya. Sementara kantornya diseberang benua. Bagaimana dia dengan begitu mudahnya mengambil keputusan tanpa harus bertemu muka dengan direksinya. Menurutnya ini berkaitan dengan system yang berhubungan dengan pendelagasian wewenang terhadap anggota organisasi. Berkat IT yang mendunia saat ini, system database terpusat yang terhubung dengan extranet memungkinkan setiap anggota organisasi terhubung satu sama lain walau jarak berjauhan. System Information management yang canggih memungkinkan untuk itu. Katanya. Jadi, di era sekarang sangat aneh bila Pemimpin Negara atau Daerah buta IT dan doyan tatap muka untuk disembah oleh bawahannya.

Menurut teman saya itu, bahwa CEO diabad modern saat ini, tidak terlibat dalam pekerjaan administrasi atau managerial yang membosankan. Tugas CEO adalah melihat semua persoalan yang ada. Kemudian memilahnya berdasarkan  object kasus. Dari setiap object kasus itu , dipilah lagi skala prioritas nya. Dari skala prioritasi itu dipilah lagi berdasarkan faktor strategis. Dari factor strategis itulah, CEO berbuat untuk memberikan terobosan melalui kebijakan dan keputusan,serta mengawasinya secara langsung. Ini harus focus. makanya tidak bisa dibaur dengan kerja administrasi. Disinilah peran CEO sesungguhnya. Makanya CEO tidak perlu ada terus dikantor. Mobilitasnya harus tinggi untuk menjalin komunikasi dengan stake holder dan dia harus kreatif serta punya nyali  untuk melewati segala hambatan, dan pada waktu bersamaan memastikan kebijakannya bukan hanya dituruti oleh anggota organisasinya  tapi lebih dari itu adalah inspirasi bagi mereka untuk bekerja lebih baik. Keberhasilannya adalah keberhasilan dari sebuah system dan dia bagian dari pembaharuan yang berkelanjutan.

Mengapa harus focus pada masalah yang terbatas saja. Padahal begitu banyak masalah yang harus diselesaikan? Tanya saya. Teman ini memberikan analogi tentang Travelling bag. Bahwa jangan masukan semua barang dalam tas perjalanan anda. Kalau anda memikirkan begitu banyak rencana dan kebutuhan anda selama dalam  perjalanan maka yakinlah tas anda tidak akan cukup menampungnya. Atau mungkin anda butuh tas yang lebih besar. Akibatnya dapat dipastikan bahwa selama dalam perjalanan anda akan dibebani, Anda tidak bisa lincah untuk melewati waktu yang terus berpacu. Kita adalah pemimpin atas diri kita sendiri. Lingkungan kita adalah resource yang harus kita gunakan dalam seni memimpin itu. Kita harus focus kepada tujuan perjalanan yang menjadi prioritas kita dan jangan semua dimasukan dalam tas. Bahwa begitu banyak rencana kita, begitu banyak ambisi kita maka kadang tanpa disadari kita disibukan dengan begitu banyak persoalan dan akhirnya kita baru menyadari kita tidak pernah beranjak dari tempat kita. Waktu, dana terbuang sia sia. Itulah sebabnya berkali kali ganti gubernur masalah Jakarta tak pernah tuntas diselesaikan. Tak pernah beranjak dari masalah yang sama karena Gubernurnya terjebak sebagai birokrat, bukan pemimpin.

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...