Wednesday, July 2, 2008

Sektor Riil...

Apa yang terjadi selama lima tahun belakangan ini disektor perbankan adalah bermain main dengan neraca akibat kebijakan soal CAR ( Capital Adequate Ration ) oleh Bank Indonesia sebagai bagian dari kepatuhan terhadap ketentuan dari Bank International for Settlement. Fungsi bank sebagai intermediary mandul total. Padahal banyak negara maju tidak begitu memperdulikan soal CAR ini demi menjaga pertumbuhan sector rielnya. Tapi di negeri kita CAR adalah segala galanya untuk menilai kesehatan perbankan. Makanya yang terjadi adalah permainan manajemen illusi melalui akuntasi. Lihatlah kenyataanya kini, CAR bank dalam negeri rata rata berada diatas ketentuan dari BIS ( 8%). Sementara dana pihak ketiga (DPK) juga terus mengami peningkatan yang mengindikasikan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.Begitupula dengan angka Non-Performing Loan (NPL) yang cenderung membaik. Benarkah dan bagaimana fungsinya sebagai pendukung sector riel?

Buktinya, membaiknya kinerja perbankan tersebut tidak dibarengi semakin tingginya LDR ( Loan to Deposit Ratio ). LDR masih jauh dibawah harapan memacu pertumbuhan ekonomi diatas 6%. Kalaupun ada peningkatan LDR perbankan maka itu lebih banyak dipicu oleh meningkatnya kredit konsumsi yang tidak ada hubungannya dengan peningkatan sector riel kecuali memicu laju inflasi. Disamping itu , lemahnya penyaluran kredit juga sangat dirasakan oleh usaha kecil dan bahkan cenderung stagnasi. Padahal sector ini mendukung hamper 80 % penyedia lapangan pekerjaan dinegeri ini. Dari sejak era orba selalu saja sector UKM terpinggirkan.

Tingginya akselerasi pertumbuhan dana masyarakat di bank (DPK/Dana Pihak Ketiga) yang tidak dibarengi oleh pertumbuhan kredit kesektor riel menyebabkan perbankan mengalami over liquid, yang terindikasi dari semakin banyaknya dana bank yang disimpan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Sejak tahun 2000 SBI sudah menjadi tujuan utama business perbankan untuk mengamankan cost of money. Ini adalah fakta ketidakmampuan bank-bank untuk menyalurkan dana yang dihimpunnya ke dalam bentuk kredit dan atau aktiva produktif lainnya, sehingga tidak memilki alternatif penyaluran dana lain di luar SBI. Padahal penempatan dana yang besar pada SBI tidak hanya memperkecil penyaluran kredit ke sektor riil, tapi juga akan membawa dampak tersendiri bagi bank. Karena tingkat imbal hasil atas selisih bunga deposito dengan SBI jauh lebih kecil bila bank menyalurkan kredit kesektor riel. Tapi penyaluran kredit memang ada resiko. Seharunya itulah yang dilakukan bank dengan memperkuat risk managementnya.

Sebelum kenaikan Harga BBM , BI telah berupaya menurunkan SBI agar suku bunga perbankan dapat diturunkan. Sehingga sector riel dapat bangkit. Benarkah ? Lihatlah apa yang terjadi. penurunan suku bunga deposito tidak sebesar laju penurunan suku bunga kredit, sehingga dapat dikatakan bahwa suku bunga kredit mengalami rigiditas, yang seringkali dianggap sebagai penghambat kelancaran transmisi aliran kebijakan moneter dan pergerakkan sektor riil. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan bank untuk bermain aman karena sumber fix income dari SBI dan obligasi selalu tersedia. Kalau ada indikasi penyalurkan kredit kesektor riel maka preminya dan bunga tetap tinggi.

Sebetulnya Bank masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga kredit dengan berbagai cara, antara lain melakukan penyesuaian target laba (ROE), perhitungan risiko kredit debitur yang lebih akurat dengan menerapkan assesmen yang berdasarkan risiko dll. Namun perbankan lagi lagi tidak peduli dengan caranya plays save demi CAR. Makanya tidak aneh bila berbagai intervensi BI untuk menekan inflasi melalui kenaikan bunga SBI adalah berkah bagi perbankan nasitonal untuk meningkatkan profitabilitasnya dan kini terbukti perbankan Indonesia memiliki laba tertinggi di Asia ! dengan tingkat intermediasi terendah di Dunia. Paradox.

Apalagi adanya pengaruh pada tingkat global, berlanjutnya tightening cycle oleh The Federal Reserve (Bank Sentral AS) sebagai akibat meningkatnya ekspektasi inflasi AS karena tingginya harga minyak di pasar internasional menjadi faktor utama peningkatan tingkat bunga di negara tersebut. Dampaknya ialah dalam rangka menjaga interest rate parity antara suku bunga AS dan Indonesia dan stabilitas nilai tukar, maka kenaikkan suku bunga domestik diperkirakan akan berlanjut. Yang mengkhawatirkan kini adalan kecenderungan publik berduit untuk menanamkan uangnya kesektor perbankan karena kenaikan suku bunga SBI akibat menjaga inflasi dari kenaikan BBM, sedangkan disisi lain pertumbuhan penyaluran kredit tidak signifikan karena sektor riil macet, maka akan semakin berdampak buruk bagi angka LDR. dan BI harus menambah volume SBI agar bank tidak bleeding akibat beban bunga deposn yang tinggi. Lagi lagi paradox. Kalau ini tidak dilakukan akan memaksa bank meningkatkan suku bunga bagi debitur existing, yang tentu akan berdampak pada peningkatan NPL dalam jangka panjang.

Keadaan ini disebut sebagai jebakan mematikan sector perbankan akibat kebijakan moneter yang tidak didukung oleh kebijakan sector riel Sebuah realita tentang sector riel adalah lemahnya kondisi struktural, seperti rentannya ketahanan pangan, lemahnya struktur produksi industri, lemahnya sarana distribusi dan transportasi di dalam negeri dan resiko usaha baik yang berasal dari dalam negeri sendiri maupun luar negeri menyebabkan tingginya ketidakpastian berusaha. Yang pasti selagi masalah structural sector riel tidak dibenahi maka akan membuat setiap kebijakan moneter menjadi bagaikan menyiram api dengan bensin. Ending nya akan terjadi bencana sector moneter, yang jauh lebih dahsyat dibandingkan kredit macet tahun 1998. Semua itu karena ketentuan CAR dan kebijakan moneter untuk menekan inflasi melalui suku bunga.

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...