“ Ale, kenapa lue bisa pahami hal rumit menjadi sederhana. “ Kata Florence. Dia tanya itu karena tahu saya hanya tamat SMA. Saya jawab, itu karena literasi. Saya tidak pernah masuk universitas, tetapi saya dididik orang tua saya haus akan ilmu. Dari sanalah kekayaan literasi saya tabung tahun demi tahun lewat membaca, menulis, seminar, kursus dan tentu pergaulan dengan banyak orang dari berbagai bidang.
Makanya usia 21 tahun saya berani business trip ke China. Kalau saya miskin literasi mana mungkin saya punya nyali ke LN. Apalagi tahun 80an Indonesia masih belum ada hubungan diplomatik dengan China. Saya perlu exit permit untuk bisa ke China. Teman provokasi saya “ awas loh. China itu komunis. Bisa masuk engga bisa keluar. “ Ada lagi yang katakan. “ China itu jahat.
Tahun 2000an, tahun awal saya berbisnis di China dan dalam kondisi terpuruk. Teman teman dekat saya di Indonesia memprovokasi saya” Kan udah gua bilang, China itu jahat dan tukang tipu” Berkat kaya literasi, saya tidak terbenam dalam paranoia itu. Saya tetap melangkah dengan keyakinan saya. Dan terbukti saya bisa lewati bisnis maklon. Sehingga saya punya modal besar untuk membangun investment holding.
Kekayaan literasi bisa membuat kita berpikir jenih dalam memahami fenomena. Sains berkata, untuk menghubungkan antar wilayah secara efisien, bagi Negara continental yang dibangun jalur kereta. Untuk negara kepulauan, ya angkutan kapal. Itu disebut infrastruktur publik atau Public Service Obligation (PSO). World bank memperkenalkan PPP ( Public Private Partnership ). Kita langsung anggap itu sebagai solusi mengatasi keterbatasan anggaran membiayai jalan interconnection wilayah.
Padahal program PPP itu adalah business model : Interconnection Kawasan Ekonomi Khusus dengan pusat logistic yang berasal dari investasi swasta. Artinya jalan tol itu jalan alternatif yang di-design terintegrasi dengan program pusat pertumbuhan ekonomi baru. Bisnis nya bukan dari tarif jalan toll tetapi dari peningkatan value Kawasan khusus. Sementara dikita bisnis tol hidup dari tarif, yang justru membuat ekonomi nasional tidak efisien. Makanya ruas jalan tol yang tidak ada pusat ekonomi baru, semua merugi.
Mengapa ? lagi lagi jawabannya karena persepsi yang salah akibat kemampuan literasi yang rendah. Tidak bisa membedakan mana PPP dan mana Public Service Obligation (PSO). Dampaknya sangat luas terutama meningkatnya ICOR. Walau para birokrat dan elite berpendidikan tinggi namun system pendidikan kita tidak mendidik orang gemar membaca memperkaya literasi. Orang dengan miskin literasi tidak bisa open minded dan tidak mampu berdialektika. Ya karena wasasan rendah.
Sementara rakyat Indonesia sebagian besar memang IQ nya rendah, yang berkorelasi dengan miskin literasi. Di dunia kita masuk ranking 95 daftar negara dengan IQ tertinggi. Tingkat literasi kita rendah dibandingkan dengan China yang mencapai 96%, dan Iran sekitar 87%. Kedua negara ini masuk 10 besar negara dengan IQ tertinggi. Padahal kedua negara itu mengharamkan Facebook dan Youtube.
Data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2024 menunjukkan lebih separuh atau 52,73% pekerja aktif di dalam negeri memiliki pendidikan hanya sekolah menengah pertama atau SMP. Dari angka itu, lulusan sekolah dasar mendominasi pasar kerja dengan persentase sebesar 23,83% atau 34,47 juta orang. Nah bayangkan, walau populasi kita nomor 4 terbanyak di dunia tetapi bukan asset yang bisa menggerakan mesin ekonomi berdaya saing global. Justru mereka liabilities bagi negara.
Makanya engga aneh kalau mereka berkata" ah siapapun yang berkuasa sama saja. “ itu contoh factual miskin literasi. Seperti itu banyak. Mereka engga punya kekayaan literasi untuk memhami bahwa pemimpin qualified diukur dari kompetensi dalam hal ide gagasan. Kecerdasan spiritual dan intelektual. Sangat ngenes bila memikirkan 80 tahun indonesia merdeka sebagian besar rakyat masih miskin literasi dan jadi korban politik populis akibat tidak cerdas memilih pemimpin
No comments:
Post a Comment