Sunday, July 27, 2008

PLN dan privatisasi

Teringat ketika saya masih kanak di Desa. Dijalan melintasi jalan setapak saya melihat para pekerja membangun tiang tinggi. Mereka membentangkan kabel dari satu tiang ketiang berikutnya. Kadang harus mengambil resiko melintasi jurang yang dalam. Mendaki bukit. Saya tidak tahu berapa investasi ini semua. Yang saya tahu keluarga saya hanya mampu membeli listrik 450 Watt dengan tagihan tidak lebih Rp. 2000. Itu 35 tahun lalu. Sekarang mungkin Rp.30,000. Sekarang saya baru menyadari bahwa apabila dulu pemerintah berpikir laba rugi untuk PLN maka jaringan listrik dikampung saya tidak akan pernah ada. Bagaimana mungkin layak bila investasi besar hanya untuk melayani konsumen segelintir penduduk desa yang miskin. Hal ini ketika saya tanyakan kepada gur saya, dia menjelaskan tentang falsafah dari UUD 45 pasal 33. Kini saya terkejut bila ada suara yang menginginkan privatisasi PLN. Hanya karena masalah perlunya feasibility business PLN menarik dana dari luar.

Soal privatisasi ini, saya juga teringat dengan teman dari US. Dia fund manager yang mempunyai business jual beli PPA ( power purchase agreement) atau tepatnya adalah pedagang "anjak piutang" penjualan daya listrik. Sudah bukan rahasia umum lagi bila berbagai pemilik konsesi power plan didunia menjadikan PPA sebagai komoditi. Karena harga PPA selalu mengikuti trend kenaikan harga BBM international. Artinya semakin tinggi harga BBM semakin tinggi pula harga PPA. Hampir seluruh perbankan papan atas di AS dan Eropa ikut pula penjadi pendukung likuiditas PPA ini melalui facilitas refinancing. Itulah yang membuat saya terkejut bila PLN di privatisasi maka structure business PLN tidak bisa lagi diharapkan sebagai agent of development. Ini benar benar menempatkan sumber daya energi sebagai bagian dari pasar global. Sangat menyedihkan bila para pengambil kebijakan berpikir seperti itu.

Seperti biasanya , selalu alasan privatisasi adalah mengurangi tanggung jawab negara terhadap barang publik. System pengelolaan fiskal dan moneter negara memang membuat PLN terjebak. PLN dihadapkan masalah kekurangan daya listrik karena kurangnya pasokan power dari pembangkit listrik yang ada. Mau ditingkatkan terhadang masalah pendanaan. Mau disubsidi terus terhalang kebijakan fiscal. Mau di hemat , memperuwet ketahanan social dan memicu keresahan industri yang membutukan listrik. Mau diganti fuelnya dengan energi alternative selain BBM , terhalang oleh penguasaan sumber batu bara dan gas oleh asing /swasta yang menikmati harga export tinggi. Mau diganti termal ( panas bumi), investasi mahal dan uang tidak ada. Singkatnya semua masalah berakhir karena soal duit. Kita bertanya , bagaimana mungkin negara besar seperti Indonesia sebagai salah satu negera yang mempunyai populasi konsument listrik terbesar didunia tak punya uang untuk mensuplai kebutuhan listrik ?. Inilah masalahnya…

Keliatannya masalah ini sengaja diciptakan oleh mereka yang menginginkan sebuah privatisasi PLN. Tidak ada pilihan ,PLN harus diprivatisasi. Tanpa privatisasi , tidak mungkin PLN mendapatkan jalan keluar untuk mengatasi kebutuhan energi listrik dalam negeri. Mengapa privatisasi sebagai satu satunya solusi ? Ingatlah bahwa PLN salah satu perusahaan yang mempunyai jaringan transmisi terluas didunia. Jaringan kabelnya membentang sama seperti dari London ke SIberia. Tidak ada satupun lembaga business yang berani membangun jaringan transmisi kepelosok desa dengan tingkat daya beli rendah. Tidak ada. Tapi dulu dengan kebijakan berdasarkan UUD 45 pasal 33, itu dilakukan oleh PLN. Tidak ada bicara untung rugi kepada public service. Ini soal tanggung jawab negara yang diatur oleh UUD. Kini setelah reformasi, tidak ada penambahan daya listrik secara significant. Sementara tariff terus merangkak naik sesuai laju inflasi dan harga BBM.

Makanya ketika rapat umum pemegang saham (RUPS) PT PLN pada 8 Januari 2008. melahirkan keputusan RUPS tentang rencana restrukturisasi PLN berupa pembentukan 5 anak perusahaan distribusi (Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali) serta paling lambat akhir tahun 2008 membentukan satu anak perusahaan Transmisi dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali. Juga akan dibentuk dua BUMN Pembangkitan yaitu PT Indonesia Power dan PT Pembangkit Jawa Bali yang terpisah dari PLN. Dengan keputusan ini jelas sekali PLN menuju fase engineering untuk menuju privatisasi. Anak anak perusahaan itu akan melakukan aliansi dengan asing/swasta untuk bersama sama membangun pembangkit listrik dan sekaligus menjadikan business listrik sebagai open market minus subsidi.

Sebetulnya niat untuk melakukan privatisasi ini sudah ada sejak kejatuhan Soeharto dengan keluarnya UU No. 20/2002. tentang Ketenagalistrikan,yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena bertentangan dengan UUD 45 pasal 33. KIni apa dasar hukumnya? Yang pasti sekarang dasar hukum memang tidak ada namun bukan tidak mungkin situasi kelangkaan daya listrik akan memaksa Pemerntah untuk kembali mengajukan RUU ketenaga listrikan sesuai dengan tujuan privatisasi. Bagi pemerintah sangat jelas alasannya RUU itu harus disyahkan DPR karena tidak ada uang untuk membangunnya. Untuk itu perlu privatisasi. Terserah, mau tetap dengan UUD 45 pasal 33 dan terima pasrah kekurangan listrik atau privatisasi? Kira kira begitu. Padahal alasan itu terbantahkan ketika tahun 2006 PLN berhasil menarik dana melalui penerbitan obligasi senilai Rp. 24 Triliun (oversubscribed). Dari propektus yang diterbitkan dinyatakan bahwa PLN mempunyai ruang cukup dari sisi rasio keuangan untuk menarik pinjaman. Artinya tetap bankable. Kemudian berlanjut penerbitan obligasi USD 2,5 milliar dengan dukungan lembaga penjamin emisi UBS Securities, Dubai Islamic Bank, dan PT Danareksa Sekuritas.

Kalau soal dana , bukanlah alasan sehingga membenarkan PLN harus di privatisasi. Yang harus dilakukan adalah rasionalisasi dan restructurisasi internal. PLN harus merasionalisasi semua proses produksinya untuk menekan biaya dan sekaligus menghapus praktek korupsi serta memperbaiki system pengendalian pasokan dan cadangan. Restructure hutang PLN melalui program penyertaan modal pemerintah secara langsung, Sehingga membuat debt service ratio dan Likuiditas PLN sebagai Badan Usaha menjadi sehat. Dengan demikian PLN menjadi bankable melakukan raising fund untuk membiayai fungsinya sebagai agent of development. Pemerintah sudah seharusnya merubah cara berpikir market oriented soal anti subsidi. Selagi tarif ditetapkan berdasarkan golongan dan regional maka sebetulnya adalah cross subsidi.Yang kaya membantu yang miskin. Inilah idealisme ekonomi kita: gotong royong.

Hanya saja pemerintah dan DPR enggan untuk melakukan rasionalisasi PLN dan terus berharap adanya privatisasi untuk akhirnya biarlah konsumen membayar , tentu dengan tariff sesuai pasar international dan hukum ekonomi. Yang juga menyedihkan adalah bila kelak kenyataannya privatisasi PLN hanya menempatkan PLN sebagai pengurus transmisi dan distribusi yang lebih besar sosial costnya, sementara pihak swasta/asing sebagai provider power mendapatkan kepastian pembelian (PPA) dari PLN dengan harga floating. Lihatlah nanti buktinya. Maka kedaulatan negeri hilang dan kumpulan puluhan juta konsumen dalam negeri menjadi sapi perahan kapitalis. Semuanya karena pemodal melihat potensi pasar kita sangat besar untuk mendatangkan laba dan laba. Itu saja.

Sunday, July 20, 2008

LNG Tangguh

Anda semua sudah tahu tentang kilang tangguh yang terletak di Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat, Indonesia dan proyek  fasilitas produksi gas lepas pantai dengan kapasitas produksi LNG sebesar 7,6 mtpa. Proyek kilang tangguh ini selalu mendiskreditkan Megawati. Terutama kerika harga LNG naik di Pasae dunia, sementara kotrak jangka panjang penjualan gas ke china dengan harga murah sekali. Pengamat dan politisi mengatakan yang bertanggung jawab adalah Megawati sehingga negera dirugikan. Saya akan uraian secara sederhana duduk persoalannya.


Dari awal memang project ini mengalami kendala serius soal pendanaan karena negara dalam posisi downgrade yang puncaknya krisis 1998. Beberapa financial resource international tidak tertarik untuk membiayai proyek ini karena syarat suku bunga yang ditetapkan pemerintah Gus Dur dan kemudian Megawati LIBOR +0,5 %. Di samping itu pemerintah tidak boleh memberikan jaminan resiko atas hutang itu. Keadaan inilah yang membuat pembiayaan mega proyek ini menjadi terkendala.


Ketika Megawati jadi presiden, Megawati tegas bersikap. Jangan serahkan ke asing pengelolaannya tetapi kita kelola sendiri. Kalaupun hutang jangan pakai negara menjamin. Darimana duit ? cari dan pikirkan ! sikap itu diterjemahkan oleh team kabinet. Maka solusi pembiayaan menerapkan skema dikenal dengan TBS (Trustee Borrowing Scheme), dimana pinjaman dibayar dari porsi penjualan kotor hasil LNG yang telah disetujui dengan Offtake kontrak. Pihak pembeli membayar secara langsung ke Trustee Account and Paying Agent. Trustee merupakan peminjam dari Lender dan pembayaran akan debt service dibayarkan melalui Trustee Account. ( lihat Photo Skema dibawah).



Jadi kalau dianalogikan secara awam. Skema pembiayaan itu sama dengan ijon. Pemodal ( kreditur  ) biayai semua kebutuhan investasi dan operasi, dan pengembalian modal dari hasil penjualan. Artinya kalau memang ada produksi. Kalau gagal ya resiko kreditur. Paham ya. Kembali ke LNG tangguh. Karena skema TBS itu keamanan lender ada pada kepastian penjualan, maka diperlukan market off taker atau jaminan penjualan jangka panjang. Tanpa itu engga ada kreditur mau beri pinjaman. Waktu Megawati jadi presiden, harga gas sedang murah. Tapi tidak ada negara mau beli kontrak jangka panjang.


Akhirnya Megawati terbang ke china. Berkat lobi dansa antara Megawati dengan Jiang Zemin, kotrak penjualan LNG senilai USD 10 miliar ditanda tangani. Dengan demikian skema pembiayaan TBS dapat dilaksanakan. Konsorsium terdiri dari Bank of China USD 950 juta, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) USD1,2 miliar, Asian Development Bank (ADB) USD350 juta, dan komersial bank lainnya 1 miliar dolar. Proyek bisa dimulai kontruksi. Tapi belum proyek selesai dibangun, Megawati sudah tidak jadi presiden. 


Proyek selesai dibangun dan mulai beroperasi tahun 2009. Tapi entah mengapa skema pembiayaan berubah jadi Skema PSC, yang saham proyek dibagi bagi ke BP memegang 37,16% saham di proyek tersebut. Mitra-mitra kontrak Tangguh lainnya adalah MI Berau B.V. (16,30%), CNOOC Muturi Ltd. (13,90%), Nippon Oil Exploration (Berau), Ltd. (12,23%), KG Berau/KG Wiriagar (10,00%), Indonesia Natural Gas Resources Muturi Inc. (7,35%), dan Talisman Wiriagar Overseas Ltd. (3,06%). Padahal kalau menggunakan skema PSC para kontraktor itu harus bailout skema hutang TBS dulu dan harga gas tentu mengikuti harga pasar. Sehingga negara bisa dapat sharing. Tetapi mengapa harga kontrak skema TBS masih diterapkan ? 


Apa artinya ? SDA diserahkan ke Asing dan haega ditetapkan dari awal murah. Agar skema bagi hasil ( SPC) merugikan negara. Kontraktor dapat selisih harga kontrak dengan market di luar negeri. Ya semacam transfer pricing. Agar pajak juga rendah. Jadi dari semua sisi negara tekor karena diperlakukan tidak adil oleh kontraktor.  Yang jahatnya politik, malah Megawati di fitnah. Padahal perubahan dari TBS ke PSC itu siapa ? Ya SBY. 


Edited 2010.

Sunday, July 13, 2008

Robert Mogabe

Inggeris dan AS meradang marah ketika DK PBB membatalkan resolusi kepada Zimbabwe. China dan Rusia mem veto resolusi DK PBB yang menginginkan adanya embargo senjata dan larangan perjalanan bagi Robert Mugabe, dan 13 sekutu dekatnya. Sejak terpilihnya Robert Mugabe dalam pemilihan tahap kedua yang diboikot pihak oposisi, kritik dari kalangan internasional terhadap Zimbabwe memang semakin marak. Kalangan media massa yang pro barat terus saja meblow up tentang tidak becusnya Robert Mogabe mengatasi keadaan ekonomi Zimbabwe yang hancur. Inflasi mencapai 150,000 %. Upah minimum regional sebesar 120.000 ZWD (nilai 1 US Dollar saat ini berkisar 68 juta Zimbabwean Dollar (ZWD). Sementara harga sebungkus roti tawar adalah 15,000,000 ZWD. Hitunglah berapa bulan orang bekerja untuk mendapatkan sebungkus roti.

Pemilu talah usai dan Robert Mogabe kembali terpilih sebagai President. Walau parlemen mayoritas dikuasai oleh kelompok oposisi yang didukung Barat/ asing. Namun pemberitaan miring terus saja menginginkan Robert Mogabe lengser. President hanya diam. Ada usulan diadakannya pemilu ulang karena si penantang, Morgan Tsvangirai, gagal memenangkan suara mayoritas. Mogabe tidak bergeming. Dia berpendapat bahwa sejak tahun 1980 setelah Zimbabwe merdeka , pihak asing telah berperan besar membuat situasi politik dalam negeri tidak pernah stabil. Hingga berbagai program pembangunan terhambat. Pihak oposisi yang mendominasi oleh para cerdik pandai ikut berliansi dengan penduduk kulit putih untuk menciptakan system negara yang korup. Hampir semua lini birokrat dan penegak hukum larut dalam konpirasi kotor ,yang sehingga membuat program pro rakyat miskin kandas ditengah jalan.

Publik international menyalahkan Robert Mogabe yang gagal mengurus rakyatnya. Dia dituding KKN dan pantas untuk dijatuhkan dalam system demokrasi. Tapi tidak ada satupun pihak dan media massa yang mengungkapkan akar masalah dari krisis Zimbabwe. Akar masalahnya adalah ketidak adilan system yang sengaja di create oleh pihak asing.. Ketika negeri ini merdeka , hanya mengganti rezim dari asing ke lokal. Namun substansinya tetap saja terjajah. 48 juta hektar tanah diberikan kepada 40,000 orang asing dan 28 juta hektar diberikan kepada 1 juta petani. Disisi lain, seluruh sektor produksi dikuasai Asing dan bebas mengatur perputaran modalnya tanpa menetes kepada rakyat. Perjuangan kemerdekaan yang memakan korban rakyat miskin , ternyata hanya menguntungkan pihak asing. Ini disebabkan oleh kesalahan sikap elite politik paska kemerdekaan yang terlalu berharap bantuan asing agar Zimbabwe dapat cepat makmur. Justru jebakan hutang luar negeri itulah biang masalah yang membuat ekonomi Zimbabwe stagnan sampai sekarang. Sementara janji negara Maju untuk menghapus hutang tak kunjung terealisir.

Mungkin itulah sebabnya Robeth Mugabe terus berjuang mati-matian untuk tetap berada bersama rakyat walau terjebak dalam system politik cara asing. Dia tegar melawan system itu, agar rakyatnya bisa mencapai cita-cita kemerdekaan, kehidupan yang adil dan makmur tanpa ada pengaruh asing.Tahun 2000 , pengadilan mengalahkan rakyat yang didukung oleh Robert Mogabe untuk menduduki lahan pertanian milik asing. Lagi lagi system politik demokratis telah membuat cita cintanya kandas. Karena pengadilan yang korup dan tidak berpihak kepada rasa keadilan rakyat. Itulah sebabnya bukan dia yang mendapatkan Hadiah Nobel, tetapi justeru Nelson Mandela. Karena Mandela tidak peduli dengan siapa yang memiliki tanah di Afrika Selatan, dia hanya peduli siapa yang memimpin negara itu. Tetapi Mugabe tidak perduli dengan siapa yang memimpin negara itu, tetapi siapa yang memiliki dan menikmati kemerdekaan dalam negara Zimbabwe. Dan perjuangan Mugabe lebih berbobot mati daripada kadar pengaruh perjuangan Mandela. Pekerjaan Mugabe bisa merubah peta politik di afrika untuk mengusir dominasi pihak barat dibidang penguasaan sumberdaya alam disana.

Bagi Robert Mogabe ada satu keyakinan bahwa apabila sumber daya alam dikuasai asing maka apa arti kemerdekaan dengan korban mati para pejuang. Apa artinya sebuah negara yang “merdeka” di Zimbabwe? Kalau hasil kemerdekaan itu tidak dinikmati oleh orang yang sudah menderita banyak waktu perang revolusi, buat apa negara itu ada? Yang pasti perlawanan Robert Mogabe terhadap hegemoni asing dan upaya untuk menegakkan keadilan akan terus menghadapi tekanan politik arogansi Barat untuk membuat negeri ini hancur secara systematis dan akhirnya membuat Robert Mogabe tersingkir. Korban rakyat yang miskin adalah saksi betapa kejamnya system neocolonialism untuk menguasai sebuah negeri dan menjatuhkan rezim yang tidak disukai. Bagi rakyat Zimbabwe dan Robert Mogabe, nasionalisme adalah segala galanya dan hanya itulah harga diri yang harus dibela sampai mati. Bagaimana dengan kita ?

Monday, July 7, 2008

G8

Seminggu sebelumnya, menjelang berlangsungnya pertemuan KTT G8 di Hokkaido aparat keamanan Jepang meningkatkan keamanannya dengan menggelar puluhan ribu polisi, baik di Tokyo, maupun Hokkaido, serta beberapa bandara internasionalnya. Dua hari menjelang berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G8 di Hokkaido pada 7-9 Juli 2008 mendatang, ribuan pengunjukrasa tumpah ruah di Sapporo, ibukota Hokkaido, Sabtu.Sedikitnya 2.500 demonstran yang berasal dari berbagai LSM dan organisasi buruh lainnya dari Jepang dan sejumlah negara lainnya ikut terlibat dalam aksi yang menentang KTT G8 tersebut. Dengan mengusung berbagai spanduk yang intinya mendesak negara-negara G8 untuk memperbaiki taraf kehidupan buruh. Mereka juga meneriakkan slogan-slogan yang berisi kecaman mengenai dampak buruk yang diakibatkan negara-negara maju tersebut, seperti meluasnya kemiskinan dan terjadinya pemanasan global. Dari kalangan petani yang ikut berunjukrasa bahkan meneriakkan tudingan bahwa kaum petani tidak bakal bertahan dalam globalisasi ekonomi yang kini sedang menerjang dunia yang didorong oleh G8. Demikian keadaan yang mewarnai setiap ada KTT G8.

Mengapa ?

Dunia mencintai Dollar. Walau ada arus besar yang memaksa beralih ke Euro namun dollar tetaplah menjadi primadona. Semua komoditi dunia dihargai dalam mata uang dollar. Kita kembali bertanya,bagaimana dollar ini di create dan akhirnya menjadi kekuatan dunia. Maka perhatian kitapun tertuju kepada lembaga yang bernama The fed atau bank sentral AS. Sebagian public menganggap bahwa the fed adalah lembaga negara yang sama dengan lembaga bank sentral lainnya didunia. Tapi senyatanya the FED bukanlah lembaga negara. Ini adalah lembaga swasta. Keberadaanya tidak lebih sebagai lembaga outsourcing negara AS untuk mengatur implasi dan suku bunga serta mencetak uang. Selanjutnya dalam perjalanan sejarahnya, the fed menjadi penentu arus perpolitikan AS didalam maupun diluar negeri.

Siapakah pemilik the FED ? The fed dikuasai oleh lembaga keuangan yagn tergabung dalam financial community dari gerakan premason untuk menguasai dunia. Mereka itu pada awalnya adalah Rothschild Bank of London , Rothschild Bank of Hamburg , Lehman Brothers of New York , Lazard Brothers of Paris, Kuhn Loeb Bank of New York , Israel Moses Seif Banks of Italy , Goldman Sachs of New York , Warburg Bank of Amsterdam , Chase Manhattan Bank of New York. Belakangan tahun 2004, Lehman brothers, Rothschild keluar. Kini Inilah raksasa keuangan yang mengontrol the fed. Merekalah elite yang menjadi real power dunia dan menjadi fuel bergeraknya bursa regional maupun international, sekaligus perusak. Keberadaan mereka tidak diinginkan oleh rakyat AS namun tak berdaya karena system moneter yang mereka ciptakan mampu membuat bangsa AS menjadi negara besar dan polisi dunia.

Kekuatan the Fed tidak hanya terbatas kepada penguasaan bank sentral AS , tapi juga pada system keuangan global. Mereka juga menguasai saham hampir mayoritas pada Bank International for Settlement yang juga merupakan induk bank sentral dunia. Dari ranah transaksi pasar uang, mereka juga menciptakan ( sebagai part of fed system) DTCC ( deposit Trust Clearing Corporation ) New York. DTCC terkoneksi kepada clearing perdagangan logam mulia dan surat hutang ( global Bond /MTN) melalui Euroclear di London dan Clearstream di Luxemburg. Lembaga ini menjadi gateway bagi offshore fund yang ada di Offshore Financal Center (OFC) untuk terjadinya perpindahan asset, dana, secara Over The Counter (OTC), hingga tak terlacak oleh legitimasi negara dimanapun . Termasuk oleh pemerintah AS yang tak berdaya dibuat bulan bulanan oleh kekuatan resource financial ini.

Group financial resource ini juga hampir menguasai sebagian besar saham saham perusahaan TNC yang bergerak dibidang Pertambangan ( BP, Cevron dll ), Jaringan retail raksasa , Industri Persenjataan, Media Massa, Industri Pharmasi, Trading House untuk komoditi , Industry otomotive. Hampir sebagian besar dari mereka menjadi ATM bagi perkembangan industri china yang rakus untuk membanjiri pasar AS yang tolol. Namun dihadapan public lembaga ini nampak humanis sebagai penyokong terbesar dana dana yayasan amal. Mereka berada dibalik United Nation Foundation, Ford Foundation, Rotchild Foundation dan banyak lagi. Tak bisa disangkal , yayasan amal ini juga berperan strategis membanjiri rak rak buku dikampus kampus terbaik dunia untuk pencerahan tentang kapitalisme dan neo liberal. Berbagai pusat research yang mendedikasikan tentang perlunya neoliberal, privatisasi pelayanan publik, demokratisasi, Globalisasi dibiayai oleh yayasan ini.

Berbagai krisis ekonomi sejak tahun 1932 sampai sekarang tidak terlepas dari ulah group ini. Setiap krisis menentukan arah strategy mereka untuk memaksa negara negara diunia mengikuti apa yang mereka mau. Atau tepatnya , mereka menciptakan krisis dan akhirnya mendulang hasil dari krisis itu. Tentu setiap krisis menciptakan korban tak terbilang bagi rakyat banyak. Sementara mereka hanya bermain main dari sisi debit dan kredit dalam neraca keuangan mereka, yang semua diatur untuk meningkatkan eksistensi mereka dihadapan dunia.

Mengharapkan G8 untuk berbuat banyak bagi kesejahteraan dunia tidak ada gunanya karena kekuatan group ini tak tersentuh oleh tangan tangan politisi. Kecuali menerima patuh perlunya kemiskinan , kelaparan, penyakit, sebagai bagian dari strategy global group ini untuk mengurangi ledakan pertumbuhan penduduk planet bumi dan menciptakan tiran untuk mengontrol dunia yang hanya menghamba kepada uang. Itulah sebabnya George Washington the founding country AS menginginkan agar pada setiap uang dollar AS dincantumkan satu kalimat “ In god we trust”

Thursday, July 3, 2008

Solusi Hutang Luar negeri

Tahun 2008. Tahun start kampanye Pemilu. Semua Partai yang sudah lebih dulu menikmati sejuknya AC disenayan , juga sudah siap ancang ancang untuk mempertahankan korsinya. President dan Wapres yang ada di Istana juga siap melakukan konsolidasi dengan seluruh jajaran Partai yang ada dipusat maupun di daerah. Tak ketinggalan para pensiunan Jenderal dan mantan pejabat ORBA serta professional muda yang kecipratan rezeki di era reformasi, juga mulai membangun jaringan untuk membuat partai. Kita patut berbangga. Apalagi, tak ada satupun para pejabat, elite ,Kiyai, tentara yang bosan dengan kekuasaan. Seakan memang nampak mereka cinta kekuasaan atau mungkinkah juga cinta dengan negeri ini; Ingin berbuat lebih. Ingin menyumbangkan sesuatu bagi negeri yang dicintainya. Kalau ada orang lain bilang “ sudah cukup, gentian dong” mereka tentu akan tersinggung.

Negeri ini seakan begitu banyaknya orang yang peduli untuk memimpin dan memikirkan nasip bangsa. Benarkah ? Kita tidak bisa menyumbangkan nilai positip bagi mereka para rezim yang pernah berkuasa. Kenyataannya adalah negeri ini hanya berhasil mengusir penjajah asing namun tidak pernah bisa keluar dari kekuatan asing. Keliatannya para pecinta kekuasaan hanya pandai membangun emosi rakyat untuk mendukungnya tapi tidak mengerti menterjemahkan arti “Kekuasaan bagi sebuah negeri MERDEKA. Bagaimanapun hutang luar negeri adalah bentuk lain dari system neocolonialism. Lihatlah hutang luar negeri sejak era Soekarno sampai SBY , hutang tidak pernah turun. Terus meningkat. 1945-1967 adalah 2,5 miliar dollar AS, maka pada era Soeharto 1967-1998 jumlah hutang meningkat menjadi 54 miliar dolar. Di akhir pemerintahan Habbibie US $. 74 milyar dan menjadi US $. 76 milyar di akhir pemerintahan Megawati. Posisi hutang luar negeri sekarang di era SBY , keseluruhannya mencapai 155,29 miliar dollar AS. Ini terdiri atas pinjaman yang diperoleh dengan perjanjian utang senilai 64,34 dollar AS dan penerbitan obligasi negara sebesar 90,95 miliar dollar AS. Itu prestasi mereka,

Data tersebut diatas dapat kita lihat dengan mudah di situs Departemen Keuangan atau laporan dari Media Massa. Publik mungkin tidak banyak tahu dan tetap percaya bahwa hutang bukanlah masalah besar. Karena mungkin rakyat tidak pernah merasa berhutang dan memang pemerintah selalu berkata bahwa seluruh hutang tidak akan membebani rakyat. Bahkan , para ekonom yang duduk di kabinet merasa bangga bila mereka berhasil mendapatkan hutang luar negeri melalui penjualan global bond. Mereka berkata “ Ini bukti tingkat kepercayaan asing kepada kita semakin tinggi”. Cukupkah kepercayaan asing ini sebagai modal membangun sebuah negeri. ? Mari kita lihat kenyataan yang ada. Menurut kalkulasi sederhana bahwa apabila tidak ada penambahan hutang baru ditahun tahun mendatang maka hutang luar negeri baru akan lunas tahun 2056!. Selama tahun tahun itu pula , kita harus rela menyumbangkan lebih dari 40% APBN untuk membayar hutang dan bunga. Artinya lebih hampir 40% alokasi APBN untuk kesejahteraan rakyat ( termasuk subsidi ) dikorbankan untuk rezim hutang masa lalu. Belum lagi efek inflasi yang ditimbulkan akibat APBN yang difisit. Semua itu yang bayar adalah rakyat dan terasa berat bagi rakyat yang tidak punya akses kepada keadilan ekonomi

Ada sebuah pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur oleh semua mereka yang pernah berkuasa dan yang akan mengejar kekuasaan. Mengapa hutang luar negeri begitu digemari ? Mungkin karena visi kekuasaan yang hanya sebatas usia jabatan. Atau rasa tidak percaya diri akan terus berkuasa. Maka selama ada kekuasaan , cara mudah untuk menarik dana sebanyak mungkin digunakan. Termasuk satu satunya cara adalah menarik hutang luar negeri. Cara ini akan efektif untuk membayar janji kepada rakyat agar tetap berkuasa. Walau sebetulnya tidak lebih membawa negeri ini kedalam lubang masalah besar bagi generasi mendatang. Mereka tidak peduli. Disamping itu, lingkaran dalam maupun luar dari kekuasaan mempunyai perasaan sama. Aji mumpung. Gunakan kekuasaan selagi ada dan tarik uang sebanyak mungkin selagi mungkin. Makanya tidak aneh , rezim berganti tidak bisa merubah rezim hutang.

Selama sekian rezim berganti dan pemerintahanpun berganti , yang berhasil hanya menciptakan kemakmuran bagi lingkaran dalam mapun luar kekuasaan. Para elite ini beraliansi secara langsung maupun tidak langsung dengan para petualang , sehingga menciptakan komunitas orang kaya baru yang super rakus dan melebihi dari kapitalis. Mereka inilah yanag membanjiri bandara ketika liburan sekolah. Yang memenuhi antrian beli apartement mewah. Yang selalu memburu mobil mewah. Bahkan tingkat inden tertinggi mobil import ada di Indonesia. Yang membuat mall super mewah terus bermunculan dikota kota besar. Mereka inilah yang sebetulnya ikut berperan membuat negera terpuruk dalam jebakan hutang. Merekapun menjadi elite negeri ini dan berada jauh sekali dari komunitas muram anak bangsa yang berada di pelosok desa, digubuk gubuk reot perkotaan.

Untuk mengetahui resource financial mereka ini baiklah kita lihat indikator keuangan ini. Data menyebutkan bahwa Per Juni 2006, total dana pihak ketiga di perbankan mencapai Rp 1.175 triliun dengan jumlah rekening sebanyak 96 juta. Dari jumlah tersebut 86 jutanya adalah mereka yang memiliki simpanan dibawah Rp. 100 juta atau 90% dari total simpanan diperbankan yang nilanya RP. 240 triliun. Sementara data LBH menyebutkan bahwa pemilik deposito diatas Rp. 5 miliar lebih berjumlah 14,000 orang lebih, yang tidak jauh berbeda dari data Merrill Lynch dan Capgemini dalam laporan tahunannya menyebutkan bahwa tingkat pertumbuhan tertinggi orang yang memiliki harta diatas USD 1 milliar di Asia Tenggara adalah Indonesia dengan HNWIs (High Net Worth Individuals/Individu = Nilai Kekayaan Bersih Tinggi) sebanyak 23,000 orang. Mungkin itu pula sebaab sejak penyusunan LKPP ( laporan keuangan Pemerintah Pusat ) dimulai tahun 2004, selama empat tahun berturut BPK memberikan "opini disclaimer" terhadap hasil pemeriksaan LKPP. Padahal, Indonesia telah empat tahun memberlakukan paket undang-undang keuangan negara tahun 2003-2004, delapan tahun pemberlakuan otonomi daerah yang luas dan 10 tahun gerakan reformasi. Artinya memang tidak ada transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Itulah faktanya.

Bila melihat data tersebut diatas , rasanya kita kesal dan marah. Tapi kemarahan yang terus terjadi akan mengawatirkan timbulnya revolusi sosial. Ini tidak boleh terjadi. Bangsa ini akan semakin terpuruk. Penyelesaiannya adalah keikhlasan para elite negeri ini untuk memutihkan hartanya untuk kepentingan pembangunan nasional tanpa hutang luar negeri. Cara ini dinilai elegant karena tidak menganeksasi uang deposan. Tapi melakukan SWAP deposito kepada Surat Hutang Negara. Lebih konkritnya adalah deposito diatas Rp. 5 miliar ditukar dengan Surat Hutang Negara berjangka waktu 25 tahun dengan tingkat bunga 0,5% pertahun. Para pemilik SUN dapat tetap menggunakan uangnya asalkan melalui skema pinjaman bank. SUN tersebut sebagai collateral utama dengan project sebagai underlying. Dengan cara ini akan memaksa orang berduit untuk masuk kesektor riel. Jangan ada lagi orang kaya hidup senang dari bunga bank. Sudah saatnya mereka menggunakan uang tersebut untuk kepentingan nasional. Dengan demikian ankatan kerja dapat ditampung dan potensi alam dalam diolah untuk kejayaan negeri.

Patut dicatat bahwa bahwa dana hasil SWAP ini tidak kecil Jumlahnya bisa diatas Rp. 900 triliun atau USD 100 miliar. Lebih dari cukup sebagai kekuatan ekonomi nasional untuk menggerakan sector riel tanpa harus berhutang lagi keluar negeri. Dana hasil SWAP ini juga digunakan untuk mendukung perekonomian yang berbasis sumber daya alam yang secara teknis dikuasai oleh rakyat sambil terus memacu riset pengembangan technology tepat guna. Apakah ada yang berani dan punya konsep untuk mengimplementasikan itu ? Kalau tidak ada yang berani maka percayalah bahwa PEMILU hanyalah pesta para elite untuk berbagi bagi kekuasaan tanpa ada keikhlasan berkorban untuk masa depan bangsa yang lebih baik. .

Media Massa

Philosopy Yahudi " Kuasai media massa maka kita akan menentukan arah suatu bangsa...Itu yang dikatakan oleh sahabat saya dari Beijing yang berkunjung ke Jakarta. Dia mengatakan itu ,bertepatan ketika menonton tayangan telivisi di Kamar Hotelnya. Itulah sebabnya China tidak mengizinkan asing menguasai saham Media Massa. Itupula sebabnya Bolivia dan Venezuela menasionalisasi Media massa. Itu semua demi menghindari infiltrasi budaya asing yang akan merusak indentitas bangsa. Negara berperan untuk mendidik rakyat dan mengharuskan tetap digaris idiologi dan budaya. "Apa arti kebebasan pers bila pada akhirnya media massa dikuasai oleh tiran kapitalis. Kebebasan suatu kebohongan. Tidak lebih." Itu katanya kepada saya. " Negara tidak boleh dikalahkan oleh kekuatan asing yang sehingga seenaknya membuat berita dan acara yang merusak kehidupan budaya dan spiritual bangsa. " sambungnya.

Hal tersebut mengingatkan saya pada tahun 2005, Raja Media dunia Rupert Murdoch langsung beraksi cepat ketika pemerintah mengizinkan asing menguasai saham media massa 20%. Maka TV 7, Star TV, ANTV, Lativi , sahamnya dikuasai 20% secara langsung dan 30 % lebih secara tidak langsung. Selain TV umum juga, bisnis Pay TV (televisi kabel, terresterial, satelit) juga tak ketinggalan dicaplok asing.. Astro TV yang menjadi Raja TV Kabel di dunia – juga bermitra dengan Grup Lippo ( yang sudah dikuasai asing ) untuk mengembangkan Kabelvision. Semetara Indosiar dan SCTV merger. . Begitupula dengan Media Nusantara Citra (MNC) yang memiliki 3 stasiun televisi (RCTI, TPI, dan Global TV). . Hebatnya mereka sudah listing di bursa yang artinya asing dapat menguasai saham secara tidak langsung lewat bursa sampai 100%.

Yang mengejutkan adalah dibulan juni 2008, Republika yang merupakan Harian Umum , didirikan oleh Ikatan Cenderkiawan Muslim Indonesia (ICMI) akhirnya melepaskan sahamnya sebesar 20% kepada
The Independent News Media Group (INM). Perusahaan ini dimiliki oleh konglomerat Yahudi , Sir Anthony O'Reilly, dan termasuk pendukung utama dari program Jewish Studies. Suatu program yang menebarkan paham dan semangat yahudi bagi para intelektual dimanapun berada. Setelah pengambil alihan saham itu , Gavin O’Reilly , salah satu putra dari Anthony O'Reilly masuk dalam jajaran Komisaris dan bergabung dengan KH. Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym dan lainnya, Keberadaan Gavin O Reilly akan bertindak sebagai watchdog, untuk memastikan republika tumbuh sebagai lembaga business yang mencetak laba bukan moral.

Di negeri dimana demokrasi menjadi dogma maka siapapun menikmati kebebasan untuk melakukan apa saja asalkan ada uang dan bayar pajak. Negara memberikan akses seluas mungkin untuk berkreasi dan berprestasi walau pada akhirnya spirit moral dan budaya menjadi absurd bila sudah menyangkut kepentingan modal. Ini sebuah realita dan juga sebuah pilihan bagi negeri kita sekarang. Tidak ada yang aneh bila akhirnya , pemodal berpikir tidak hanya sebatas meningkatkan akumulasi modal tapi juga menguasai emosi public dan mengarahkan emosi public sesuai tuntutan mereka agar public menjadi mesin pencetak uang dan sekaligus menjadi loyalis. Itulah yang dapat dicermati ketika tuntutan kebebasan Pers diundangkan dan akhirnya pemerintah memberikan konsesi bagi asing untuk menguasai business media massa. Walau jumlah saham dibatasi sebesar 20% dari total saham namun jelas sekali keberadaan 20% dengan power cash ditangan , mereka bukan hanya bertindak sebagai share holder tapi juga stakeholder untuk menjadi lending resource mengembangkan perusahaan yang berbasis LABA tentunya.

Ketika kekuatan modal masuk kemedia massa , maka fungsi Pers sebagai alat perjuangan rakyat menegakkan kebenaran akan menjadi ilusi. Media massa akan bergerak secara lambat namun pasti bermetamorfosa menjadi alat menciptakan laba. Fungsi social tentu akan terkubur atau termanifulasi dalam kreatifitas informasi tanpa ada unsur edukasi tentang moral dan akhlak mulia. Media Massa akan bergerak semakin liar ;menciptakan program acara atau berita yang mendulation moral kebangsaan , kesetiaan, kehormatan indentitas bangsa. Seorang Wimar Witular yang juga sebagai pejuang pro demokrasi harus mengelus dada ketika “Perspektif Wimar " di ANTV harus dikurangi jam tayangnnya hanya karena masalah rating. Maklum saja, rating berkaitan dengan iklan dan iklan berkaitan dengen cash in. Banyak program bermutu edukasi bangsa diberbagai media massa pada akhirnya tentu akan tersingkir dengan sendirinya bila rating nya jatuh. Apalagi bila media massa itu sudah berada dalam cengkraman asing.

Wimar tentu kecewa karena demokrasi yang dulu diperjuangkannya akhirnya memakan dirinya sendiri. Wimar lupa tentang demokrasi beranak kapitalis yang merupakan anak haram ibu pertiwi. Mungkin kelak itupula yang disesali oleh para pengelola Republika ketika “space “ islami harus dikurangi atau dihapus dari republika demi membela rating…

Wednesday, July 2, 2008

Sektor Riil...

Apa yang terjadi selama lima tahun belakangan ini disektor perbankan adalah bermain main dengan neraca akibat kebijakan soal CAR ( Capital Adequate Ration ) oleh Bank Indonesia sebagai bagian dari kepatuhan terhadap ketentuan dari Bank International for Settlement. Fungsi bank sebagai intermediary mandul total. Padahal banyak negara maju tidak begitu memperdulikan soal CAR ini demi menjaga pertumbuhan sector rielnya. Tapi di negeri kita CAR adalah segala galanya untuk menilai kesehatan perbankan. Makanya yang terjadi adalah permainan manajemen illusi melalui akuntasi. Lihatlah kenyataanya kini, CAR bank dalam negeri rata rata berada diatas ketentuan dari BIS ( 8%). Sementara dana pihak ketiga (DPK) juga terus mengami peningkatan yang mengindikasikan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.Begitupula dengan angka Non-Performing Loan (NPL) yang cenderung membaik. Benarkah dan bagaimana fungsinya sebagai pendukung sector riel?

Buktinya, membaiknya kinerja perbankan tersebut tidak dibarengi semakin tingginya LDR ( Loan to Deposit Ratio ). LDR masih jauh dibawah harapan memacu pertumbuhan ekonomi diatas 6%. Kalaupun ada peningkatan LDR perbankan maka itu lebih banyak dipicu oleh meningkatnya kredit konsumsi yang tidak ada hubungannya dengan peningkatan sector riel kecuali memicu laju inflasi. Disamping itu , lemahnya penyaluran kredit juga sangat dirasakan oleh usaha kecil dan bahkan cenderung stagnasi. Padahal sector ini mendukung hamper 80 % penyedia lapangan pekerjaan dinegeri ini. Dari sejak era orba selalu saja sector UKM terpinggirkan.

Tingginya akselerasi pertumbuhan dana masyarakat di bank (DPK/Dana Pihak Ketiga) yang tidak dibarengi oleh pertumbuhan kredit kesektor riel menyebabkan perbankan mengalami over liquid, yang terindikasi dari semakin banyaknya dana bank yang disimpan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Sejak tahun 2000 SBI sudah menjadi tujuan utama business perbankan untuk mengamankan cost of money. Ini adalah fakta ketidakmampuan bank-bank untuk menyalurkan dana yang dihimpunnya ke dalam bentuk kredit dan atau aktiva produktif lainnya, sehingga tidak memilki alternatif penyaluran dana lain di luar SBI. Padahal penempatan dana yang besar pada SBI tidak hanya memperkecil penyaluran kredit ke sektor riil, tapi juga akan membawa dampak tersendiri bagi bank. Karena tingkat imbal hasil atas selisih bunga deposito dengan SBI jauh lebih kecil bila bank menyalurkan kredit kesektor riel. Tapi penyaluran kredit memang ada resiko. Seharunya itulah yang dilakukan bank dengan memperkuat risk managementnya.

Sebelum kenaikan Harga BBM , BI telah berupaya menurunkan SBI agar suku bunga perbankan dapat diturunkan. Sehingga sector riel dapat bangkit. Benarkah ? Lihatlah apa yang terjadi. penurunan suku bunga deposito tidak sebesar laju penurunan suku bunga kredit, sehingga dapat dikatakan bahwa suku bunga kredit mengalami rigiditas, yang seringkali dianggap sebagai penghambat kelancaran transmisi aliran kebijakan moneter dan pergerakkan sektor riil. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan bank untuk bermain aman karena sumber fix income dari SBI dan obligasi selalu tersedia. Kalau ada indikasi penyalurkan kredit kesektor riel maka preminya dan bunga tetap tinggi.

Sebetulnya Bank masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga kredit dengan berbagai cara, antara lain melakukan penyesuaian target laba (ROE), perhitungan risiko kredit debitur yang lebih akurat dengan menerapkan assesmen yang berdasarkan risiko dll. Namun perbankan lagi lagi tidak peduli dengan caranya plays save demi CAR. Makanya tidak aneh bila berbagai intervensi BI untuk menekan inflasi melalui kenaikan bunga SBI adalah berkah bagi perbankan nasitonal untuk meningkatkan profitabilitasnya dan kini terbukti perbankan Indonesia memiliki laba tertinggi di Asia ! dengan tingkat intermediasi terendah di Dunia. Paradox.

Apalagi adanya pengaruh pada tingkat global, berlanjutnya tightening cycle oleh The Federal Reserve (Bank Sentral AS) sebagai akibat meningkatnya ekspektasi inflasi AS karena tingginya harga minyak di pasar internasional menjadi faktor utama peningkatan tingkat bunga di negara tersebut. Dampaknya ialah dalam rangka menjaga interest rate parity antara suku bunga AS dan Indonesia dan stabilitas nilai tukar, maka kenaikkan suku bunga domestik diperkirakan akan berlanjut. Yang mengkhawatirkan kini adalan kecenderungan publik berduit untuk menanamkan uangnya kesektor perbankan karena kenaikan suku bunga SBI akibat menjaga inflasi dari kenaikan BBM, sedangkan disisi lain pertumbuhan penyaluran kredit tidak signifikan karena sektor riil macet, maka akan semakin berdampak buruk bagi angka LDR. dan BI harus menambah volume SBI agar bank tidak bleeding akibat beban bunga deposn yang tinggi. Lagi lagi paradox. Kalau ini tidak dilakukan akan memaksa bank meningkatkan suku bunga bagi debitur existing, yang tentu akan berdampak pada peningkatan NPL dalam jangka panjang.

Keadaan ini disebut sebagai jebakan mematikan sector perbankan akibat kebijakan moneter yang tidak didukung oleh kebijakan sector riel Sebuah realita tentang sector riel adalah lemahnya kondisi struktural, seperti rentannya ketahanan pangan, lemahnya struktur produksi industri, lemahnya sarana distribusi dan transportasi di dalam negeri dan resiko usaha baik yang berasal dari dalam negeri sendiri maupun luar negeri menyebabkan tingginya ketidakpastian berusaha. Yang pasti selagi masalah structural sector riel tidak dibenahi maka akan membuat setiap kebijakan moneter menjadi bagaikan menyiram api dengan bensin. Ending nya akan terjadi bencana sector moneter, yang jauh lebih dahsyat dibandingkan kredit macet tahun 1998. Semua itu karena ketentuan CAR dan kebijakan moneter untuk menekan inflasi melalui suku bunga.

Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...