Saturday, December 14, 2024

Bukan sistem yang salah tapi moral.

 



Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pemilu. Bahkan dikenal sebagai Pemilu paling jujur dan paling tinggi partisipasi publik. Mengapa? Karena memang proses demokrasi dalam Pemilu tidak mahal. Semua dibiayai sendiri oleh masyarakat secara gotong royong. Dalam konteks demokrasi lebih luas, sebenarnya juga tidak perlu ongkos mahal. Karena adanya keterlibatan atau emansipasi public dalam menyelesaikan masalah keseharian.


Nah menjadi mahal demokrasi itu, kalau ada kepentingan ingin berkuasa dengan cara tidak jujur. Atau rakus kekuasaan. Sehingga menghalalkan segala cara. Tentu partisipasi public bukan kesadaran demokratif tetapi kesadaran kapitalistik. Ada uang kita mendengar dan memilih.  Ada uang kita kerja. Saya dapat apa,  kamu dapat apa. Jadi kekuasaan itu sudah seperti komoditas. Transaksional sekali. Makanya seperti kata Prabowo. Kalau orang mau calonkan gubernur. Yang pertama dia tanya adalah ada uang engga. Kalau engga ada uang. Pintar gimanapun engga laku.


Kalau ingin mengubah system pemilihan gubernur atau  kepala daerah secara tidak langsung, yaitu lewat DPRD. Maka yang patut dipertanyakan, apakah itu solusi mengurangi ongkos politik? Kan kekuasaan tend corrupt. Segelintir orang di DPRD akan melahirkan kartel dan dagang sapi. Lagi lagi money politik bermain. Sama saja mahalnya. Hanya bedanya. Demokrasi langsung, ongkos terdistribusi ke  rakyat banyak atau pemilih. Sementara demokrasi tidak langsung berbagi hanya diantara anggota DPRD/dan partai tentunya.


Jadi esensinya bukan pada system politik pemilu langsung atau tidak langsung. Demokrasi atau totalitarian. Tetapi ini soal moral elite politik. Elite politik harus menyadari bahwa kekuasaan itu amanah yang harus dipertanggung jawab secara moral di hadapan rakyat dan dipertanggung jawabkan secara keimanan kepada Tuhan. Maka kekuasaan dan jabatan itu akan mensejahterakan.  Dan proses politik dalam pemilu pun jadi murah. Peran publik lewat akar rumput masing masing partai  akan terlibat langsung bergotong royong mengatasi biaya. Pemilu akan benar benar jadi pesta rakyat.


Sekali lagi saya tegaskan. Bahwa sistem itu hanya metodelogi mencapai tujuan. Bukan esensi. Esensinya adalah moral dan etika para Elite politik. Nigeria di Afrika dan Venezuela di Amerika Selatan adalah negara kaya SDA minyak dan gas. Keduanya Negara demokrasi. Kalah dengan Arab Saudi dan Emirat Arab yang kaya minyak menganut monarki absolut. China tidak menerapkan demokrasi langsung tetapi sosialis komunis. Partai tunggal. China menjadi kekuatan ekonomi kedua di dunia setelah AS.  Tentu ada juga contoh buruk system totalitarian seperti Kurea Utara. Negara demokrasi yang makmur tentu lebih banyak daripada yang gagal. 


Daripada berwacana soal perubahan system politik. Lebih baik focus kepada perbaikan mental dan mindset para elite. Karena apa engga lelah, sejak merdeka kita gonta ganti system terus. Sementara SDA kita semakin menipis dan dimasa kini kita terjebak hutang. Lucunya kita masih anggap solusi ada pada perubahan system.  





Tuesday, December 3, 2024

Negara puritan tidak bisa jadi negara maju.

 



Anggaran dana Research and Development ( R&D) Indonesia tahun  2021 sebesar 2 miliar dollar AS, naik menjadi 8,2 miliar dollar AS (2022), kemudian naik lagi menjadi 12,10 miliar dollar AS (2023), lalu kembali turun menjadi 4,5 miliar dollar AS (2024).  Rasio anggaran riset selama 10 tahun terakhir juga masih sangat rendah, yaitu antara 0,2 persen-0,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini kalah jauh dibandingkan China (2,08 persen), Singapura (1,98 persen) ataupun Malaysia (1,15 persen) (World Bank, 2023).


Hampir semua akademisi dan politisi sangat paham bahwa prasyarat untuk jadi negara maju ada pada  Riset dan pengembangan ( R&D). Tahun 2004, IMF Working Paper yang berjudul “ R&D, Innovation, and Economic Growth: An Empirical Analysis,” memaparkan sejumlah penelitian yang membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan produktifitas terkait erat dengan R&D. Tentu pertumbuhan inklusif yang dimaksud. Bukan sekedar pertumbuhan untuk segelintir orang.


Pertanyaan sederhana adalah mengapa para birokrat dan politisi Indonesia tidak punya pollical will mengalokasikan anggaran R&D minimal sebesar 1% dari PDB. Sementara untuk anggaran yang dibakar setiap hari, yaitu subsidi BBM dari tahun 2011-2022 mencapai rata rata 2,4% dari PDB. Padahal  kata kunci kemajuan ada pada R&D. Jawaban awam sebagai berikut. 


Pertama. Struktur bangun politik kita itu feodalisme. Ini juga harus dimaklumi karena kita negara ex jajahan. Walau kita sudah merdeka namun belum bisa lepas dari feodalisme. Feodalisme memang enggan membuka mata, telinga dan pikiran rakyat awam akan pengetahuan atau sains. Maklum masyarakat yang melek sains, tidak pernah menghormati feodalisme. Masyarakat yang terbelakang sains, selalu memuja penguasa dan sampai mati tidak pernah mandiri di hadapan politik.


Kedua. Struktur bangun ekonomi kita juga feodalisme. Akses kepada sumber daya ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Makanya peningkatan SDM bagi dunia usaha tidak begitu menjadi perhatian. Tidak ada kompetisi kreatifitas berdasarkan sains ditingkat lokal apalagi global. Kompetisi dunia usaha terfocus kepada perebutan sumber daya ekonomi yang dikuasai negara. Dan itu ditentukan sejauh mana mereka bisa mengakses kekuasaan. Jangan kaget bila segelintir korporat yang menyumbang 80% pajak pada APBN bersifat rente.


Ketiga. Ditataran elite terjadi kompetisi antara akademisi dan penguasa. Keduanya saling berebut pengaruh. Ini konflik feodalismes yang dari dulu kala selalu terjadi. Kalau akademisi kalah, yang menang penguasa. Maka yang jadi korban adalah Lembaga Pendidikan. Metode Pendidikan tidak dirancang untuk lahirnya masyarakat egeliter yang peduli kepada sains. Tetapi dirancang sebagai pekerja yang tingkat kreatifitas dan produktifitasnya rendah. 


Keempat. Karena feodalisme itulah makanya arsitektur kelembagaan R&D yang terdiri dari Riset Dasar, Riset terapan dan Riset Pengembangan tidak terbangun secara terintegrasi. Apalagi kolaborasi R&D dengan pihak dunia usaha sector industry hampir hampri tidak ada. Karena tidak ada insentif pajak terhadap pelaku industry yang melakukan R&D. 


Empat hal itulah jawabanya. Menjawab pertanyaan ini jauh lebih penting daripada membahas alasan pemerintah atas rendahnya anggaran R&D. Intinya negara ini tidak di-design menjadi negara modern. Tetapi negara puritan yang masyarakatnya masih tunduk kepada feodalisme dan patronisme. Kalau ingin berubah dan bercita cita jadi negara maju, ya ubahlah paradigma politik. Yaitu berubah dari feodalisme menjadi egaliter.  Awalilah dengan sikap, jangan apriori dengan kritik dan dialektika. Stop money politik! 


***

Kita percuma biayai riset di kampus hasilnya hanya kertas dan tumpukan paper ( jurnal ilmiah). Kata teman pejabat. 


“ Kamu tahu ini” Kata saya perlihatkan hape saya. Dia mengngaguk. “ Tadinya hape ini hanya alat bicara tapi belakangan bisa jadi smartphone. Itu karena ditemukan microchip yang bisa menyimpan dan mengolah data. Sudah seperti computer. Tanpa riset dasar Fisika, tidak akan ditemukan materi keempat yang bernama plasma. Sampai hari ini kita masih pakai hape jadul “ Kata saya.


“ OK. “ Teman mengangguk. “ Apa plasma itu dan untuk apa ?'


“ Materi yang bermuatan listrik. Digunakan untuk membuat struktur kecil pada wafer silikon pada proses produksi mikrocip. Itu akan meningkatkan kinerja microchip walau processor menimbulkan efek termal. Sehingga Hape bisa bertahan lama. “ Kata saya. 


Saya mengerutkan kening. Betapa tidak. Seorang politisi sampai berpikir seperti itu. Saya prihatin kalau itu dijadikan alasan rendahnya anggaran riset nasional. Sedih kalau karena itu BPPT dibubarkan dan turun tahta jadi Lembaga semacam BRIN. Apalagi kini menjadi bagian dari kementrian. Mengapa ?


BPPT itu menggabungkan riset dasar, dan terapan. Itu menjadi Lembaga terintegrasi dalam bangun besar visi negara menguasai IPTAK. Visi Pak Harto adalah  IPTAK ( Ilmu Pengetahuan  tekhnologi dan akhlak.). Makanya Peran LIPI lebih berfocus kepada riset tentang social, ekonomi  dan budaya. Ini menjadi sumbangan penting dalam kebijakan negara merumuskan setiap rencana penguasaan tekhnologi. Agar tidak menimbulkan paradox.


Dalam penerapan tekhnologi, Pak Harto tahu tidak mungkin swasta berani ambil resiko. Karena proses penguasaan tekhnologi butuh waktu Panjang dan dana besar. Makanya pak Harto bentuk 9 Industri strategis ( BUMN), bidang high tech ( IPTN),  Elektro ( LEN), Telekomunikasi (PT. Telkom). Persenjataan ( PINDAD dan Dahana), Baja ( KS) dan Permesinan ( Barata dan BBI), Perkereta apian (PT, KAI), Perkapalan ( PAL). Ya negara lead menghala perubahan menuju masyarakat yang ber-IPTAK. Pada waktu bersamaan BPPT mengirim banyak mahasiswa Indonesia ke luar negeri.


Anda mungkin tidak percaya. Karena visi riset itulah. Tahun 90 kita sudah menguasai 1% pangsa ekspor dunia. Bayangkan, India dulu hanya 0,3% dan China 0,8%. Di Asia kita lead dalam manufaktur elektro.  Bahkan China belajar dari Indonesia bagaimana membangun jalan tol dan Kawasan Industri Batam. Begitu hebatnya visi pak Harto dalam hal riset.


Menjelang krisis, pak Harto undang IMF mengatasinya. Karena kita salah satu pemegang saham IMF. Pak Harto marah besar dalam sidang cabinet. LOI IMF mensyaratkan, menghapus program IPTAK. Alasannya pemborosan. Para Menteri yang mayoritas Golkar maksa Pak Harto patuhi LOI IMF itu. Bahkan sebelum pak harto teken. Para Menteri tidak mau datang di panggil. Itu sudah pembangkangan. Akhirnya pak Harto menyerah. Teken LOI IMF, namun setelah itu diapun tidak ngotot pertahankan kekuasaan. Inilah takdir bangsa Indonesia.


Setelah reformasi, kita sudah tertinggal jauh dari India dan China dalam hal ekspor non migas. Apalagi soal infrastrtruktur. Dalam hal IPTEK dengan Malaysia saja kita kalah. Peran BAPPENAS tidak lagi strategis. Kalah dengan Menko serba bisa. Program hanya bersifat pragramatis dan tidak holistic. Tidak berspektrum jauh kedepan. Dana riset terendah di antara anggota G20. Pak Harto jatuh, visi IPTEK juga terhalau. Dan anehnya masih aja percaya mimpi Indonesia emas. Orang dungu memang doyan onani.


Sunday, November 24, 2024

Kepada YMP : Usulan status BULOG

 



YMP Prabowo sudah membuat keputusan terhadap peran Bulog yang tidak lagi sebagai Lembaga komersial berbadan hukum Perum dibawah Meneg BUMN. Tetapi dikembalikan fungsinya seperti sebelum reformasi, yaitu Badan Urusan Logistik. Jadi kembali menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Selanjutnya BULOG bertanggung jawab langsung dibawah Presiden. 


Bahwa peran BULOG nantinya yang diinginkan YMP adalah sebagai offtaker market ( penampung produk pertanian). Dengan adanya offtaker, petani dapat kepastian pasar dan harga. Sehingga bisa mendorong petani lebih productif dan tidak dirugikan oleh mekanisme pasar. Pada waktu bersamaan, subsidi pupuk dan BLT kepada petani dapat efektif mencapai tujuan swasembada pangan. 


Saya akan memberikan tiga catatan terhadap rencana pemerintah mengubah status BULOG itu.


Pertama. Di Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Perpres Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional, BULOG masih dibawah Bapanas.  Tentu  dengan BULOG jadi LPND, akan saling berbenturan dengan tugas Bapanas. Tujuan swasembada pangan dan ketahanan pangan akan jadi costly dan tidak efektif. Mismanagement.


Kedua.  Sebagai catatan bahwa perubahan peran BULOG jadi Perum karena perubahan paradigma tehadap  system ekonomi dan moneter kita paska reformasi. Kita menganut moneterisme dimana segala sesuatu ditentukan oleh pasar dan dinilai dari pasar. Nah kalau kita kembalikan BULOG sebagai offtaker itu bertolak belakang dengan system ekonomi kita. 


Misal, kalau terjadi disparitas harga dalam negeri dengan harga impor sangat lebar. ? Katakanlah harga impor beras lebih murah daripada harga dalam negeri. Seperti sekarang. Apakah pemerintah ( BULOG)  tetap membeli harga tinggi dari petani?  Kalau itu dilakukan, APBN akan bleeding. Bagaimanapun itu adalah subsidi harga. Pada waktu bersamaan konsumen membeli dengan harga lebih tinggi dari impor. Itu sudah distorsi terhadap hukum pasar. Sistem ekonomi kita jadi paradox, tidak efisien.


Ketiga. Swasembada pangan menjadi sangat sulit dicapai karena faktor iklim dan bertambahnya jumlah populasi, yang pada waktu bersamaan lahan dan komunitas petani semakin berkurang. Situasi itu tidak pernah dipetakan dengan tepat sejak awal reformasi saat kita mengadobsi neoliberal. Cenderung responsif terhadap demand atau pragmatis. Tidak berorientasi kepada produksi tetapi kepada ketersedian pangan (impor), dengan mendorong peningkatan kemampuan daya beli ( ekonomi) masyarakat akan pangan yang berizi. Contoh, kita lebih memilih BLT agar rakyat bisa berkonsumi daripada program  kemandirian produksi.


Atas tiga hal masalah diatas, dan mendukung program besar YMP Prabowo Subianto untuk menyukseskan swasembada pangan. Usulan  saya dan sekaligus masukan adalah sebagai berikut.


Pertama. Harus ada perubahan paradigma ekonomi dari pro pasar ke system pasar terpimpin atau market regulated. Engga bisa abu abu. Harus jelas hitam putih. Regulated atau free market. Mengapa ? pasar butuh kepastian atau konsitensi kebijakan. Caranya? Mudah saja. Batalkan UU Omnibus law dan UU BUMN. Kembalikan fungsi BUMN sebagai agent of development. Engga lagi business oriented. Yang kadar PSO nya rendah, ya di privatisasi saja. Ngapain negara ngurus bisnis.


Kedua. Batalkan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Perpres Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional. Revisi UU itu dengan penguatan peran dan fungsi BULOG sebagai Badan Urusan Logistik, dan sekaligus sebagai stabilisitor harga dan regulator niaga pertanian.


Ketiga.  Kalau saran pertama dan kedua, tidak mungkin. Karena APBN kita terjebak hutang dan harus patuh dengan OECD, IMF ya sebaiknya lakukan reformasi Tata niaga Pertanian dengan jadikan BULOG sebagai supply chain business pertanian. Atas dasar UU Resi Gudang No 9/2011, Bulog bangun warehouse ecommerce market place yang dilengkapi Supply chain financial untuk minimal 9 komoditas pertanian unggulan. Kemudian perkuat infrastruktur  Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). 


Kalau dikelola dengan professional, BULOG akan jadi supply chain pangan berkelas dunia, yang tentu akan mendorong tumbuhnya peluang usaha pertanian. Potensi ekonomi lahan pertanian kita yang luas akan menjadi potensi financial. Yang tentu akan menjadi magnit bagi masuknya investor dalam dan luar negeri (FDI).


***


Kita sepakat bahwa populasi Indonesia sebanyak 280 juta perlu pangan. Pasti makan. Artinya ada demand market pangan yang sangat besar. Kita konsumsi gandum 8 juta ton lebih per tahun dan itu akan terus meningkat. Maklum semakin bokek orang semakin doyan makan mie instant. Belum lagi beras, gula, garam dan lain lain. Demand besar banget.


Yang jadi masalah adalah gandum kita impor 100%. Kedelai 97 persen kita impor, bawang putih 100 persen impor, gula 70 persen impor, susu sapi 80 persen impor. 10 tahun Jokowi berkuasa. Malah impor komoditas pangan telah mengalami kenaikan hampir dua kali lipat, terutama besar dipenghujung kekuasaanya meningkat pesat.


Lalu bagaimana cara swasembada pangan? Kalau anda berpikir linear. Pasti tidak mungkin bisa tercapai swasembada pangan. Karena begitu jauhnya kemampuan berproduksi untuk memasok demand market domestic. Sementara demand terus meningkat dari tahun ke tahun. Kalau kita tidak cerdas  menghadapi situasi ini, bukan tidak mungkin pada saat usia emas Indonesia, kita jadi importir 100% semua kebutuhan pangan.


Lantas dimana kita harus bermain ditengah situasi ini? Dan tidak jadi korban pasar. Setidaknya kita bisa dapatkan keuntungan, yang pada waktu bersamaan bisa memacu produksi dalam negeri. Sederhana aja caranya. Kita harus jadi player dan untuk itu negara harus lead. Engga bisa lagi diserahkan kepada swasta. Karena begitu besarnya kepentingan nasional terhadap pangan. Jadikan BULOG sebagai supply chain pangan secara nasional, tentu dilengkapi infrastruktur supply chain berkelas dunia.


Gimana bisnisnya? Contoh. Kita impor Gandum 8 juta ton setahun. BULOG yang impor. Engga boleh swasta. BULOG juga yang berhak jual ke pasar. Sehingga peluang bisnis pabrik makanan olahan seperti mie, kue bisa diakses bukan hanya oleh pengusaha besar tetapi juga oleh UKM.  Karena engga perlu beli dalam jumlah besar dan tidak perlu stok besar. Begitu juga dengan gula, kedelai, jagung, dan lain lain. 


Dengan adanya system supply  chain pangan, Otomatis kita akan jadi bursa pangan ke lima terbesar di dunia. Kita key player yang diperhitungkan. Nah karena demand dan supply dikendalikan negara, ada rente dari proses itu. Tapi yang menikmati rente itu negara. Tentu cuan nya gede banget. Itu bisa digunakan untuk program swasembada pangan. Pertanian tidak lagi dikelola secara tradisional, tetapi dengan mindset industry. Maklum Supply chain institusi itu bagian dari GSCI ( Global Supply Chain  Industry).


Demikian usulan dari saya.


Wednesday, November 13, 2024

ERA Jokowi, dari 16 target yang tercapai hanya 2

 


Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. Itu laporan BPS yang menjadi acuan kinjerja pemerintah. Dan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati disadarii adanya fenomena yang berbeda antara situasi lapangan dengan data makroekonomi. Misalnya pertumbuhan ekonomi terjaga tinggi tapi data daya beli masyarakat menunjukkan pelemahan. 


Menurut saya, pemerintah dan BPS berusaha beropini lewat narasi positif tapi misleading terhadap data yang ada. Seharusnya engga mungkin salah persepsi kalau membaca data dengan jujur. Data itu kan Akademis. Dan tidak mungkin menyimpulkan adanya fenomena perbedaan data makroekonomi dengan situasi lapangan. Mari saya terjemahkan data BPS secara sederhana.


Pertama. Industri pengolahan hanya tumbuh 4,72%, lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi nasional. Kalau pabrik tumbuh di bawah pertumbuhan PDB artinya pabrik  rata rata tekor atau tidak mendapatkan akses atas pertumbuhan dari sektor lainnya. Engga bisa ekspansi, terbukti dari data index PMI memang kontraksi. Udah pasti engga ada bonus karyawan. Bahkan mengurangi kapasitas yang berujung kepada PHK.  Dampaknya sangat significant terhadap daya beli. Itu engga perlu S3 untuk paham. 


Kedua.  Sektor pertanian merupakan mayoritas rakyat Indonesia dan pencipta lapangan kerja terbanyak. Nah data usaha sektor pertanian tumbuh 1,69%. Lagi lagi dibawah PDB 4,95%. Tahu artinya ? mayoritas rakyat Indonesia semakin jauh gab nya dengan pertumbuhan PDB. sektor lainnya. Makanya yang menikmati pertumbuhan belanja konsumsi rumah tangga, pasti bukan petani, tetapi orang kaya.


Ketiga. Sektor perdagangan tumbuh 4,82%. Perhatikan pertumbuhan Industri 4,72%. Ada selisih 0,10%. Selisih itu bukan berasal dari Produksi dalam negeri tetapi dari Impor. Karena faktanya pertumbuhan industry lebih rendah dari perdagangan. Siapa yang bisa menikmati barang impor ? ya orang kaya. Tumbuh, tapi karena mereka segelintir, makanya pertumbuhanya tidak significant. Konsumsi rumah tangga di bawah PDB pertumbuhannya.


Keempat. Kalau terjadi pertumbuhan dibidang kontruksi (7,48%),  transportasi dan pergudangan (8,64%) Infokom (6,86%), jasa keuangan ( 5,49) , akomodasi dan makan minum (8,33%). Jasa lainnya ( 9,95). Itu non tradable.. Itu hanya sorak kelas menengah atas yang minoritas. Namun karena volume nya besar, tentu berpengaruh significant terhadap PDB. Artinya pertumbuhan PDB tidak berkualitas dan tidak sesuai dengan amanah konstitusil, keadilan sosial


Kalau SMI tidak paham. Dan yang lain juga tidak paham, itu wajar. Tapi saya yakin mereka sangat paham. Hanya itulah yang namanya politik. Pemerintah perlu berbohong agar rakyat tolol terhibur dengan retorika. Terbukti laporan hasil evaluasi Bappenas membuktikan dari 16 target pembangunan Jokowi sampai dengan tahun 2024, yang sukses hanya 2. Artinya selama ini sukses ekonomi karena kebohngan pubik. 


Yang ikut  berdosa adalah Lembaga survey yang mengukur tingkat kepuasaan rakyat atas kinerja Jokowi. Ternyata datanya misleading. Jadi sudahilah bermain main dengan kata kata. Dan tidak semua orang tolol mau percaya begitu saja kata kata. Karena data tetaplah data.  Terimakasih kepada Menteri Bappenas, Rachmat Pambudy yang telah membedah kinerja Jokowi. Kebenaran harus diungkapkan walau pahit sekalipun.


***

SMI mengatakan ada 3 strategi yang akan dilakukan pemerintah untuk mencapai pertumbuhan 8%, yaitu  meningkatkan konsumsi rumah tangga, investasi dan ekspor. SMI juga memberi catatan atas kegagalan masa lalu mencapai pertumbuhan maksimal. Karena masalah ICOR yang masih tinggi. Sehingga investasi selama ini tidak efisien. Saya akan membahas soal 3 strategi ini.


Apa yang dikatakan oleh SMI itu ada dalam teori ekonomi. Di pelajari oleh Mahasiswa FE tingkat persiapan. Jadi apa yang disampaikan SMI itu sangat akademis.  Namun sejak SMI jadi Menteri keuangan dan berkarir di pemerintahan target pertumbuhan ekonomi tidak pernah mencapai diatas 6%. Artinya antara teori dan praktek berbeda. Mengapa ?


Pertama. Dalam literasi ekonomi jelas dikatakan bahwa tidak ada pertumbuhan ekonomi yang sustain tanpa melalui industrialisasi. Sejak era Soeharto sampai sekarang, ekonomi kita tidak beranjak dari berbasis SDA ke industry. Artinya selama ini kita tidak mengalami transformasi ekonomi. Masih seperti monyet di hutan yang hidup dari SDA. 


Kedua. Selama ini kita memisahkan antara teori pertumbuhan ekonomi dengan teori sosial dan budaya. Hal ini menyebabkan ilmu ekonomi semakin menjauhkan diri dari integrasi interdisipliner, mendorong masalah sosial dan ekologi ke pinggiran, dan mendorong pandangan pembangunan yang terkotak-kotak yang menekankan mekanisme pasar daripada kesejahteraan holistik.


Akibatnya antara teori dengan realitas tidak bertemu. Seharusnya terintegrasi. Mengapa ?  Pertumbuhan  ekonomi  adalah pertumbuhan peradaban. Kalau tidak berakar pada sosial dan budaya, ya sama dengan monyet di hutan. Tidak mungkin ada kebijakan negara yang bisa melahirkan inspirasi kolektif untuk tumbuhnya  masyarakat kreatif yang punya daya innovasi berbasis sains.


Ketiga. Kita terjebak dengan teori ekonomi neoliberal. Nilai sosial dan lingkungan tidak dianggap sebagai nilai itu sendiri, tetapi hanya sebagai nilai pasar. Kebijakan sosial dan lingkungan diperlakukan sebagai biaya. Akibatnya apapun diukur dari aspek ekonomi. Maka nya PDB tumbuh tapi sebagian besar rakyat tidak merasakannya. Yang terjadi malah semakin rakus mengeksploitasi SDA bersifat rente. Sains dipunggungi. 


Akibat tiga hal tersebut diatas, kalau ada goncangan ekonomi, kita selalu salahkan pasar. Penerimaan pajak tidak tercapai target. Yang disalahkan harga komoditas batubara dan CPO turun di pasar dunia. Rupiah melemah, yang disalahkan kebijakan the fed rate. Trumps terpilih sebagai presiden AS. Ancaman perang dagang AS-China. Daya beli domestic turun, yang disalahkan rakyat engga mau belanja. Deindustrialisasi terjadi, yang disalahkan barang impor.  Selalu melihat keluar. Tidak pernah melihat ke dalam. Makanya tersesat. Tanpa ada perubahan, 8% growth hanya omong kosong.



Monday, November 11, 2024

Memahami pasar uang secara idiot

 



Anda mungkin hanya tahu uang itu adalah yang ada ditangan anda berupa lembaran dan yang ada di bank dalam bentuk rekening tabungan. Itu ada benarnya. Namun uang dalam dimensi moneter dapat dipahami sebagai  M0, yang merupakan ukuran terkecil dan paling likuid. M1 dalam arti uang lebih luas dari M0 dan M2 uang dalam arti luas daripada M1. Gabungan M0, M1 dan M2 itu disebut juga uang beredar. Karena uang tidak lagi dijamin emas, tetapi oleh neraca moneter, maka kurs dan jumlah uang beredar dipengaruhi oleh neraca moneter. 


***

Kita perhatikan kurs Rupiah turun naik atau terjadi volatilitas. Itu bukan gamebling. Engga perlu ruwet amat lewat Analisa yang canggih untuk tahu jawabannya dan penyebabnya. Karena itu memang mekanisme pasar yang mudah diketahui sebagaimana hukum demand and supply. Saya akan beri gambaran sederhana soal pasar uang ini.


Pergerakan kurs rupiah terhadap valas, itu dipengaruhi oleh pasar dan pasar melihat dari indicator neraca PII. Misal pada semester pertama 2024. Aset financial Luar negeri ( sudah termasuk Cadev) sebesar 491,5 miliar dolar AS. Sementara kewajiban financial Luar negeri sebesar 738,7 miliar dolar AS. Maka selisihnya kewajiban sebesar USD 247 miliar. 


Mari pahami neraca PII itu.  Karena kewajiban financial luar negeri jauh lebih besar dari asset financial luar negeri. Artinya uang Rupiah di kantong anda itu, 100% jaminan valas nya berupa utang ( pasar). Dengan demikian maka volatilitas Rupiah dipengaruhi oleh  keluar/masuknya modal asing ( uang). Kalau lebih besar keluar, rupiah akan melemah. Kalau lebih besar masuk, rupiah akan menguat. 


Jadi BI sebagai otoritas moneter harus menjaga jangan sampai terjadi capital outflow netto. Kalau ada yang keluar, harus diupayakan ada yang masuk. Ya cash flow harus dikelola. Caranya? Ya BI gunakan instrument SRBi (Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia). SBRI ini instrument structure dari SBN yang ada pada BI. Lewat mekanisme lelang (bid/ask) SBRI di tawarkan kepada investor. Tentu bunga harus lebih tinggi dari bunga negara lain, misal the fed-rate.  Spread atau jarak bunga dengan negara lain dikelola.


Berapa rate lelang SRBI, tergantung pasar.  Tidak sepenuhnya bergantung kepada BI-Rate.  Misal, walau BI- rate 6% namun bunga SRBI diatas 7%.  Pasar yang berkuasa. BI harus patuh. Kalau engga, lelang SRBi tidak diserap pasar. Maka seketika kurs rupiah melemah. Sekali melemah dalam kondisi BI gagal dalam lelang SRBI, itu dampaknya sangat significant menjatuhkan kurs rupiah. Makanya BI selalu hadir di pasar. Jagain terus biar Rupiah engga tumbang. 


Bagi pemain forex kakap, lelang SRBI ini sangat diperhatikan untuk pasang posisi. Mereka tidak terkecoh dengan Analisa pasar yang bias. Apalagi retorika pejabat yang menjanjikan kurs rupiah akan dibuat Rp 5000/1USD. Mereka focus kepada data. Lagian data pergerakan demand and supply SBRI ini bisa dimonitor setiap waktu. Jadi tahu pergerakannya. Juga laporan PII dibuat BI setiap kwartal. Mereka jadikan itu dasar Analisa. Engga sulit dapat cuan dari pasar uang.


Siapa yang menanggung biaya intervensi BI itu? Kan bunga harus dibayar. Apalagi SRBI kan tenornya dibawah 1 tahun tergolong hot money. Ya, yang menanggung adalah negara Indonesia. Siapa yang menikmati ? ya orang kaya. Mengapa negara mau saja berkorban demi jaga kurs? Karena pelemahan kurs berkorelasi langsung dengan index pasar modal dan inflasi.


Kebayang engga. Hampir semua LQ 45 itu saham gorengan yang udah bubble. Kalau terjadi goncangan kurs, akan sangat mudah index bursa terjun bebas. Dampaknya sistemik. Yang korban bukan hanya orang kaya sebagai pemegang saham mendadak asset nya susut, tetapi dana pension, asuransi akan susut asset nya, NPL bank akan meningkat dan tentu PDB kita juga menyusut. 


So, apa kesimpulannya? Selagi PII kita negative karena mechanism pasar bebas, maka selama itu juga volatilitas rupiah terjadi dan selama itu juga orang kaya ogah invest di pabrik yang menyerap Angkatan kerja luas. Lebih baik menikmati bunga tinggi. Dan kalaupun ada investasi langsung, orang kaya hanya tertarik  dapatkan fasiltas bisnis rente. Misal bisnis minerba atau non tradable. Lewat skema off take market dan inkind loan via trader di Singapore atau HK, Resiko kecil dengan investasi minim, tapi cuan besar. Nah cuan itu mereka gunakan lagi goyang SBRI lewat capital flow (in/out). 


Volatilitas kurs terjadi, mesin uang terus bekerja datangkan laba. Tapi tidak ada industri terbangun luas. Yang terjadi justru deindustrialisasi dan index PMI kontraksi. Bahkan perbankan juga ogah biayai sektor real. DPK mereka ditanamkan ke SBN juga. Nikmati spread bunga SBN dan tabungan. Apalagi BI sediakan kanal likuiditas lewat fasiltas REPO. Nah, itu akan berhenti setelah likuidits mengering dan pemerintah surrender. Karena udah engga kuat bayarin ongkos operasi moneter. Yang ujungnya memaksa uang dicetak, dan tissue toilet lebih berharga daripada uang.



Bukan sistem yang salah tapi moral.

  Kita pertama kali mengadakan Pemilu tahun 1955. Kalaulah pemilu itu ongkosnya mahal. Mana pula kita negara baru berdiri bisa mengadakan pe...