Realisasi kuartal III-2024, ekonomi nasional tumbuh 4,95%. Konsumsi rumah tangga sebagai pemberi andil terbesar hanya mampu tumbuh 4,91%. Itu laporan BPS yang menjadi acuan kinjerja pemerintah. Dan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati disadarii adanya fenomena yang berbeda antara situasi lapangan dengan data makroekonomi. Misalnya pertumbuhan ekonomi terjaga tinggi tapi data daya beli masyarakat menunjukkan pelemahan.
Menurut saya, pemerintah dan BPS berusaha beropini lewat narasi positif tapi misleading terhadap data yang ada. Seharusnya engga mungkin salah persepsi kalau membaca data dengan jujur. Data itu kan Akademis. Dan tidak mungkin menyimpulkan adanya fenomena perbedaan data makroekonomi dengan situasi lapangan. Mari saya terjemahkan data BPS secara sederhana.
Pertama. Industri pengolahan hanya tumbuh 4,72%, lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi nasional. Kalau pabrik tumbuh di bawah pertumbuhan PDB artinya pabrik rata rata tekor atau tidak mendapatkan akses atas pertumbuhan dari sektor lainnya. Engga bisa ekspansi, terbukti dari data index PMI memang kontraksi. Udah pasti engga ada bonus karyawan. Bahkan mengurangi kapasitas yang berujung kepada PHK. Dampaknya sangat significant terhadap daya beli. Itu engga perlu S3 untuk paham.
Kedua. Sektor pertanian merupakan mayoritas rakyat Indonesia dan pencipta lapangan kerja terbanyak. Nah data usaha sektor pertanian tumbuh 1,69%. Lagi lagi dibawah PDB 4,95%. Tahu artinya ? mayoritas rakyat Indonesia semakin jauh gab nya dengan pertumbuhan PDB. sektor lainnya. Makanya yang menikmati pertumbuhan belanja konsumsi rumah tangga, pasti bukan petani, tetapi orang kaya.
Ketiga. Sektor perdagangan tumbuh 4,82%. Perhatikan pertumbuhan Industri 4,72%. Ada selisih 0,10%. Selisih itu bukan berasal dari Produksi dalam negeri tetapi dari Impor. Karena faktanya pertumbuhan industry lebih rendah dari perdagangan. Siapa yang bisa menikmati barang impor ? ya orang kaya. Tumbuh, tapi karena mereka segelintir, makanya pertumbuhanya tidak significant. Konsumsi rumah tangga di bawah PDB pertumbuhannya.
Keempat. Kalau terjadi pertumbuhan dibidang kontruksi (7,48%), transportasi dan pergudangan (8,64%) Infokom (6,86%), jasa keuangan ( 5,49) , akomodasi dan makan minum (8,33%). Jasa lainnya ( 9,95). Itu non tradable.. Itu hanya sorak kelas menengah atas yang minoritas. Namun karena volume nya besar, tentu berpengaruh significant terhadap PDB. Artinya pertumbuhan PDB tidak berkualitas dan tidak sesuai dengan amanah konstitusil, keadilan sosial
Kalau SMI tidak paham. Dan yang lain juga tidak paham, itu wajar. Tapi saya yakin mereka sangat paham. Hanya itulah yang namanya politik. Pemerintah perlu berbohong agar rakyat tolol terhibur dengan retorika. Terbukti laporan hasil evaluasi Bappenas membuktikan dari 16 target pembangunan Jokowi sampai dengan tahun 2024, yang sukses hanya 2. Artinya selama ini sukses ekonomi karena kebohngan pubik.
Yang ikut berdosa adalah Lembaga survey yang mengukur tingkat kepuasaan rakyat atas kinerja Jokowi. Ternyata datanya misleading. Jadi sudahilah bermain main dengan kata kata. Dan tidak semua orang tolol mau percaya begitu saja kata kata. Karena data tetaplah data. Terimakasih kepada Menteri Bappenas, Rachmat Pambudy yang telah membedah kinerja Jokowi. Kebenaran harus diungkapkan walau pahit sekalipun.
***
SMI mengatakan ada 3 strategi yang akan dilakukan pemerintah untuk mencapai pertumbuhan 8%, yaitu meningkatkan konsumsi rumah tangga, investasi dan ekspor. SMI juga memberi catatan atas kegagalan masa lalu mencapai pertumbuhan maksimal. Karena masalah ICOR yang masih tinggi. Sehingga investasi selama ini tidak efisien. Saya akan membahas soal 3 strategi ini.
Apa yang dikatakan oleh SMI itu ada dalam teori ekonomi. Di pelajari oleh Mahasiswa FE tingkat persiapan. Jadi apa yang disampaikan SMI itu sangat akademis. Namun sejak SMI jadi Menteri keuangan dan berkarir di pemerintahan target pertumbuhan ekonomi tidak pernah mencapai diatas 6%. Artinya antara teori dan praktek berbeda. Mengapa ?
Pertama. Dalam literasi ekonomi jelas dikatakan bahwa tidak ada pertumbuhan ekonomi yang sustain tanpa melalui industrialisasi. Sejak era Soeharto sampai sekarang, ekonomi kita tidak beranjak dari berbasis SDA ke industry. Artinya selama ini kita tidak mengalami transformasi ekonomi. Masih seperti monyet di hutan yang hidup dari SDA.
Kedua. Selama ini kita memisahkan antara teori pertumbuhan ekonomi dengan teori sosial dan budaya. Hal ini menyebabkan ilmu ekonomi semakin menjauhkan diri dari integrasi interdisipliner, mendorong masalah sosial dan ekologi ke pinggiran, dan mendorong pandangan pembangunan yang terkotak-kotak yang menekankan mekanisme pasar daripada kesejahteraan holistik.
Akibatnya antara teori dengan realitas tidak bertemu. Seharusnya terintegrasi. Mengapa ? Pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan peradaban. Kalau tidak berakar pada sosial dan budaya, ya sama dengan monyet di hutan. Tidak mungkin ada kebijakan negara yang bisa melahirkan inspirasi kolektif untuk tumbuhnya masyarakat kreatif yang punya daya innovasi berbasis sains.
Ketiga. Kita terjebak dengan teori ekonomi neoliberal. Nilai sosial dan lingkungan tidak dianggap sebagai nilai itu sendiri, tetapi hanya sebagai nilai pasar. Kebijakan sosial dan lingkungan diperlakukan sebagai biaya. Akibatnya apapun diukur dari aspek ekonomi. Maka nya PDB tumbuh tapi sebagian besar rakyat tidak merasakannya. Yang terjadi malah semakin rakus mengeksploitasi SDA bersifat rente. Sains dipunggungi.
Akibat tiga hal tersebut diatas, kalau ada goncangan ekonomi, kita selalu salahkan pasar. Penerimaan pajak tidak tercapai target. Yang disalahkan harga komoditas batubara dan CPO turun di pasar dunia. Rupiah melemah, yang disalahkan kebijakan the fed rate. Trumps terpilih sebagai presiden AS. Ancaman perang dagang AS-China. Daya beli domestic turun, yang disalahkan rakyat engga mau belanja. Deindustrialisasi terjadi, yang disalahkan barang impor. Selalu melihat keluar. Tidak pernah melihat ke dalam. Makanya tersesat. Tanpa ada perubahan, 8% growth hanya omong kosong.